Mohon tunggu...
Shofie Azzaki
Shofie Azzaki Mohon Tunggu... -

To be more "Dynamic" and "Succesfull"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuasa Politik Adalah Investasi

6 Desember 2011   11:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:45 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambaran kekinian Republik tercinta ini adalah korupsi dan manipulasi untuk kepentingan beberapa golongan dalam episentrum kekuasaan. Hal terseut sudah bukan lagi menjadi rahasia umum tapi telah menjadi tontonan setiap hari.

Reformasi pada akhirnya telah melahirkan kekuasaan yang masih bersifat oligarkis, oligarki partai politik. Demokratisasi yang ditandai dengan menjamurnya partai politik, ternyata tidak mengarah pada apa disebut dengan mekanisme Chek and balances antara eksekutif dan yudikatif,  Pemerintah dan DPR sebagai bagian upaya dalam menciptakan transparansi, akuntabilitas, kapabelitas dan integritas tata kelola negara yang mengarah pada peningkatan performa dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi yang terjadi adalah mekanisme kongkalikong, patgulipat, atau apapun namanya dalam menggerogoti dan memanipulasi pundi-pundi keuangan negara.

Negara ini kering akan keteladanan dan kepemimpinan karena perilaku  para elite tidak pernah menjadi teladan yang baik. Dari keadaan tersebut maka munculah persoalaan kolektif, yaitu persoalan moralitas bangsa yang melahirkan manusia-manusia tamak dan oportunis. Reformasi telah melahirkan kultur politik ekonomistik, bergerak secara diametral dan tak tentu arah.

Kultur politik ekonomistik adalah kultur politik yang memandang kekuasaan hanya sebagai investasi. Apa yang ada di benak para calon politisi bukan idealisme, melainkan nilai tukar. Seorang calon politisi rela membayar ratusan juta rupiah karena tahu betul bahwa investasinya itu akan membuahkan hasil lebih besar.

Munculnya gejolak dan protes sampai ke tingkat pengadilan dalam setiap proses pilkada di Indonesia merupakan indikator kuat untuk mengatakan kekuasaan dan uang bekerja di dalamnya. Apa yang disebut dengan kultur politik ekonomistik, kekuasaan adalah investasi menemukan wujudnya.

Paling tidak, daerah yang akan menggelar helat pilkada ini adalah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Belitung, dan Kabupaten Bangka. Beberapa kandidat sudah mendaftarkan dirinya ke KPU Daerah masing-masing. Selanjutnya, tentu saja mereka ini akan diverifikasi sesuai dengan aturan. Perjalanan menuju kursi kekuasaan politik, tentu saja bukan kerja seperti membalik telapak tangan. Untuk mencapai “kursi” nomor satu itu, investasi jangka pendek (paling kurang untuk masa 5 tahun bagi yang berhasil merebut kursi nomor satu dan dua) menjadi keniscayaan.

Malah, beberapa lembaga survei menjadikan bisnis dan usaha yang permanen dan dikelola secara profesional. Untuk menggunakan jasa lembaga ini, memang tak murah. Ratusan juta malah milyaran rupiah akan tersedot ke mereka. Mencari Ketiak Ular Maka, dari itu pula, politik kekuasaan yang dipresentasikan dalam pilkada dan pemilu menjadi ajang permainan kapital para kandidat yang berpunya. Dana besar identik dengan pencitraan kandidat dalam skala yang lebih luas. Kapital yang besar akan mampu memukau dan menguatkan citra di mata publik. Sepasang kandidat tampak “terbesarkan” jika mampu mengampanyekan dirinya di televisi-televisi, media cetak ternama, dan baliho-baliho besar dengan kualitas yang bagus.

Konsekuensi yang lain lagi adalah terbukanya peluang perilaku korupsi karena harga investasi politik yang demikian besar. Selain pengeluaran seperti itu, kontribusi dana pada satu partai politik pun harus menjadi objek limitasi. Seperti diketahui, kontribusi finansial adalah salah satu sarana paling efektif bagi kandidat atau kelompok guna mengekspresikan keyakinan politiknya.

Di dalam masyarakat yang masih terkonsentrasi dalam ekonomistik-politik dan belum kuatnya kesetaraan sosial dan ekonomi, kekuasaan yang masih cenderung berada dalam lingkaran kapital, apa yang disebut dengan demokratisasi seperti utopia. Ciri masyarakat demokrasi yang sebenarnya, paling tidak bisa dilihat dari proses pelaksanaan pilkada atau pemilu. Jika kekuatan kapital yang menguasai akses politik, informasi, dan tertutupnya partisipasi publik, maka demokratisasi masih dianggap sebagai “instrumen” menyela sebuah pesta yang bernama pilkada itu.

Kecenderungan dan polarisasi kekuasaan politik di Indonesia dari semua level seolah menjadi keniscayaan dianut bahwa untuk meraih kekuasaan perlu investasi yang tak kecil. Meruyaknya korupsi di level provinsi, kabupaten/kota, departemen-departemen, lembaga peradilan, Polri dan TNI, BUMN dan juga BUMD, tidak bisa dilepas dari keterpengaruhan politik kekuasaan adalah investasi dan kapital.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun