Mohon tunggu...
Shofie Azzaki
Shofie Azzaki Mohon Tunggu... -

To be more "Dynamic" and "Succesfull"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Desa Membangun dan “Tiga Aras” Pendampingan Desa

6 Januari 2015   21:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:41 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-Undang Desa, Sumber Spirit Baru Perubahan

Kelahiran undang-undang desa yangn diundangkan menjadi UU No. 6/2014 telah menegaskan komitmen politik bahwa Negara telah hadir dan melindungi posisi desa dalam rangka mewujudkan cita-cita kesejahteraan, mewujudkan tatanan yang lebih kokoh dan demokratis dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan kata lain, bahwa Undang-Undang Desa telah membuka jalan luas yang terbentang menuju desa yang bertenaga secara social, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan berbudaya.

Berbicara tentang komitmen dan visi perubahan tentang artikulasi desa, UU No.6/2014 ini lahir pada saat yang tepat, pada tahun politik yang memberikan insentif dan mendorong para kelompok politik untuk berjuang melahirkan UU Desa sebagai jalan perubahan menuju cita-cita kesejahteraan yang sudah digariskan oleh UU Desa. Karena itu, bentuk regulasi turunan dari undang-undnag tersebut harus menghormati posisi desa dalam lanskap penyelenggaraan pemerintahan. Jangan sampai, desa diakui secara administratif, tapi tak dihiraukan keberadaannya secara konkret. Politik pembangunan dan anggaran, mesti sungguh-sungguh memperhatikan posisi desa.

Ada semangat dan harapan baru yang akan hadir di desa atas kelahiran undang-undang tersebut. Tentu semangat dan pengharapan itu bukan sesuatu yang berlebihan, sebab undang-undang ini telah menghadirkan paradigma dan pemahaman baru tentang cita-cita kesejahteraan desa. Beragam reaksi bermunculan atas lahirnya undang-undang tersebut, salah satunya adalah mengenai “redistribusi uang negara” (dari APBN dan APBD) kepada desa, yang menjadi hak desa. Namun jika dicermati lebih serius, Undang-Undang Desa bukan hanya soal redistribusi uang negara. Mulai dari misi, tujuan, asas, kedudukan, kewenangan, alokasi dana, tata pemerintahan hingga pemberdayaan, menunjukkan rangkaian perubahan desa yang dihadirkan oleh UU Desa.

Lebih jauh lagi, UU Desa ini telah memberikan kesempatan bagi desa dan senjata bagi masyarakat atau pemerintah desa untuk mengkonsolidasikan cita-cita perubahan. Akan tetapi jika undang-undang ini tidak dijalankan, maka undang-undang ini akan tertidur dan perubahanpun tidak akan terjadi. Oleh karenanya, jika masyarakat tidak menjadikan Undang-Undang Desa sebagai senjata, maka rakyat juga tidak berdaulat, dan desa juga tidak akan berubah.

Desa Sebagai Episentrum Perubahan

Dari sisi makna pembangunan desa, ada beberapa makna penting yang harus menjadi common sense bagi semua pihak tentang “konsep desa membangun”. Dalam konteks ini desa membangun berbeda dengan konsep “membangun desa”. Meski “membangun desa” memiliki makna pembangunan perdesaan (antar desa) yang berada di luar domain desa, namun praktik yang selama ini dilakukan adalah “intervensi negara” dalam membangun desa”. Cara yang ditempuh selama ini justru dapat melemahkan eksistensi desa.

Jika membangun desa mempunyai makna “negara hadir sebagai aktor utama”, maka “desa membangun” berarti Desa sebagai entitas yang mengurus dan mengatur dirinya sendiri. Dalam konteks “desa membangun”, institusi Negara berdiri di belakang desa, atau tut wuri handayani. Dengan demikian desa membangun berarti desa mempunyai kemandirian dalam membangun dirinya (self governing community).

Selanjutnya, desa membangun harus dilihat memposisikan desa sebagai alternatif pendekatan pembangunan”. Dengan penegasan posisi yang demikian, keberadaan desa mampu menjadi basis kehidupan dan penghidupan, sekaligus juga berdampak terhadap pengurangan urbanisasi. Desa bukan menjadi objek dan lokasi proyek pembangunan, melainkan desa menjadi basis, subjek dan arena pembangunan. Dari titik inilah pembangunan yang digerakkan oleh desa harus menempati posisi utama dalam penanggulangan kemiskinan dan varian lain tentang kesejahteraan desa dan masyarakat desa.

Disitulah kedudukan (posisi) desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi antara negara, desa dan warga merupakan fokus dan lokus kebijakan implementasi UU Desa. Terutama jika dilihat bahwa tradisi dan kekayaan sosial masyarakat desa yang paling dasar dan utama tercermin pada tradisi kegotongroyongan. Fenomena tersebut menandaskan bahwa tradisi lokal semacam gotong royong merupakan level minimal yang bisa menjadi skema ketahanan pangan dan jaring pengaman sosial bagi kelompok yang paling rentan serta kekuatan untuk membangun kohesi sosial.

Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Desa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa termasuk produk undang-undang yang sangat istimewa. Salah satu keistimewaan tersebut karena undang-undang tersebut menempatkan Desa sebagai entitas masyarakat dan pemerintahan Desa yang memiliki otonomi dalam mengatur pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya harus dipantau agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Badan Permusyawaratan Desa sebagai unsur pemerintahan Desa harus bisa menjalankan tugas dan fungsinya sesuai amanat Undang-Undang agar Kepala Desa tidak terjebak dalam jeratan hukum. Sudah saatnya kita menancapkan di benak kita bahwa “Kepala Desa adalah Pemimpin Rakyat”, dan bukannya “birokrat Desa”. Masyarakat Desa diharapkan juga ikut mengawasi dan mengambil peran aktif melalui musyawarah desa agar pelaksanaan pembangunan bisa benar-benar efektif dan tepat sasaran.

Tiga Aras Pendampingan Desa
Inspirasi Desa Nusantara (IdeNU) sebagai lembaga yang concern terhadap pembangunan kesejahteraan masyarakat desa menggaris bawahi bahwa konsep “Desa Membangun” membutuhkan “Pendampingan Desa” dalam pelaksanaan Dana Desa (maksimal hampir 1,4 Milyar per Desa). Aktor pendampingan Desa menjadi kekuatan institusional utama bagi institusi Negara yang hadir dalam mengemban amanat UU Desa. Karena itulah kami berharap agar pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menunjukkan totalitas dalam Pendampingan Desa.

Pendamping Desa berada pada aras berjenjang yang memegang pitutur edukasi politik di masa pergerakan nasional. Pertama, pada aras pusat ke daerah, pendamping Desa bersama-sama dengan Kementerian Desa melakukan pendampingan dalam prinsip ing ngarso sung tuladha. Posisi pendamping Desa pada aras pusat ke daerah harus memberikan teladan kepemimpinan politik yang edukatif bagi Desa. Kedua, pada aras daerah (kabupaten/kota) ke Desa, para Pendamping Desa bersama-sama dengan Kementerian Desa, melakukan pendampingan dalam prinsip ing madya mangun karsa. Posisi pendamping Desa dalam posisi ini melakukan fasilitasi terhadap apa yang telah diputuskan Desa melalui Musyawarah Desa yang dijalankan atas prinsip Demokrasi Asosiatif. Praktek demokrasi ini tidak boleh diintervensi oleh kepentingan teknokratik yang mem-birokratisasi Desa. Pelaksanaan MusrenbangDes selama ini disatu sisi memberi harapan bagi Desa untuk berubah cepat, tapi disisi lain, pelaksanaan MusrenbangDes tidak menjamin aspirasi Desa maujud secara utuh. Justru, aspirasi Desa mengalami “mutilasi” oleh otoritas teknokratik. Ketiga, pada aras Desa, pendamping Desa bersama-sama dengan guidance dari Kementerian Desa, melakukan pendampingan terhadap Kader Pemberdayaan Desa yang eksis dan otonom di Desa. Pada titik inilah, para Pendamping Desa harus mempunyai daya adaptasi kultural dalam memfasilitasi Musyawarah Desa yang mengurus, mengatur dan menetapkan agenda Desa, mulai pembentukan BUM-Desa, unit-unit usaha BUM-Desa, sinergitas BUM-Desa dan Koperasi maupun Lembaga Keuangan Mikro, sampai dengan pelaksananaan kewenangan berdasar hak asal usul dan kewenangan lokal skala Desa.

Dapatlah dibayangkan, ribuan para pendamping Desa bersama-sama dengan Kementerian Desa di tingkat pusat dan provinsi, otoritas pemerintah di daerah otonom (kabupaten), serta jutaan Kader Pemberdayaan Desa pada 74.000 Desa berbareng bergerak membangun Desanya sendiri. Semoga dengan kehadiran undang-undang tersebut, posisi desa menjadi lebih kuat, mandiri dan lebih sejahtera.

Ahmad Shofie Azzaki
Sekretaris Umum Inspirasi Desa Nusantara (IdeNU)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun