Mohon tunggu...
Shofia Wildana
Shofia Wildana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Dibuat untuk memenuhi tugas pembuatan artikel mata kuliah pendidikan kewarganegaraan kelas 23

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tari Gandrung: Narasi Sejarah dan Identitas Budaya Banyuwangi

13 September 2024   22:35 Diperbarui: 13 September 2024   22:38 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Instagram Pilar_photograph

Identitas nasional secara umum

          Identitas nasional merupakan ciri khas yang dapat dijadikan pembanding atau pembeda dari suatu bangsa. Identitas nasional meliputi adat istiadat, kebudayaan, serta simbol-simbol negara seperti UUD 1945 serta Bendera Merah Putih. Identitas nasional merupakan local genius yang dapat menghadapi pengaruh budaya asing di era globalisasi. Identitas nasional dapat diartikan sebagai pandangan hidup serta jati diri bangsa yang bersifat dinamis sehingga dapat tercapai cita -- cita dan tujuan negara. Identitas nasional menurut Kaelan (2007), merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas, dan berbagai ciri khas tersebut yang menjadikan suatu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain. Nilai budaya yang terkandung dalam sebuah identitas bangsa merupakan nilai yang akan berkembang terus seiring dengan tujuan bangsa untuk semakin maju (Zulfa & Najicha, 2022).

Latar belakang & sejarah singkat Tari Gandrung

         Hingga sekarang, asal-usul kesenian Gandrung masih tetap belum diketahui dengan pasti. Beberapa versi mengungkapkan asal-usul seni gandrung. Meskipun awalnya hanya dipentaskan di lingkungan keraton, dengan semakin banyaknya peminat, kesenian Gandrung akhirnya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Saat era penjajahan Belanda, kesenian Gandrung kerap dipersembahkan untuk menghibur para pejabat dan karyawan Belanda.

        Selama masa pemerintahan bupati Djoko Supaat Slamet dari tahun 1966 hingga 1978, kesenian Gandrung mendapat perhatian serius. Serta citra Gandrung yang jelek di mata masyarakat mulai diperbaiki. Selama kepemimpinan bupati Samsul Hadi, seni Gandrung berkembang dengan cepat. Bupati Samsul Hadi menekankan pentingnya melestarikan seni Gandrung sebagai bagian dari identitas Banyuwangi. Untuk mengembangkan Gandrung sebagai ciri khas Banyuwangi, beberapa patung penari Gandrung dibangun, yang salah satunya adalah patung terbesar di daerah utara kota Banyuwangi, tepatnya di Wisata Watu Dodol.

Makna Tari Gandrung

        Tari Gandrung sendiri memiliki beberapa makna, di antaranya menggambarkan terpesonanya masyarakat Blambangan kepada Dewi Sri. Kata "gandrung" dalam bahasa Jawa berarti "tergila-gila" atau "cinta habis-habisan". Makna ini merujuk pada terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri, dewi padi yang membawa kesejahteraan. Selain itu, tari Gandrung juga sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil panen terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tari Gandrung merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat setelah panen yang melimpah. Pada masa penjajahan, Tari Gandrung khususnya Tari Gandrung Marsan dulunya merupakan simbol perlawanan masyarakat Banyuwangi terhadap penjajah dan tindakan asusila yang didapat oleh penari.

Festival Tari Gandrung

         Sebagai bentuk apresiasi yang luar biasa terhadap kesenian Tari Gandrung, pemerintah kabupaten Banyuwangi mengadakan festival tahunan khusus Tari Gandrung. Festival ini melibatkan kurang lebih 1.200 penari gandrung yang kemudian dikenal dengan Festival "Gandrung Sewu". Penari Gandrung sendiri diambil dari siswi dari jenjang SMP dan SMA di berbagai sekolah di Banyuwangi yang telah melewati seleksi sebelumnya. 

         Dikutip dari studi jurnal Universitas Jember, gagasan pertama diadakannya festival ini dimulai dari Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) pada tahun 2006. Namun ide tersebut mengalami hambatan karena keterbatasan anggota serta kostum penari. Kemudian, pada masa kepemimpinan bupati Abdullah Azwar Anas pada tahun 2012 Festival Gandrung Sewu mulai terselenggara dan masuk daftar festival tahunan kabupaten Banyuwangi.

         Festival ini diadakan di pesisir pantai Boom, yang telah dimulai sejak tahun 2012 dan masih menjadi langganan festival tahunan sampai sekarang. Setiap tahunnya, Festival "Gandrung Sewu" menyajikan tema yang berbeda. Yang terbaru, pada tahun 2023 Festival "Gandrung Sewu" mengangkat tema Omprog " The Glory of Art". Omprog sendiri merupakan aksesoris mahkota khas penari Gandrung. Sedangkan untuk tahun 2024, festival Gandrung Sewu akan diadakan pada tanggal 24-26 Oktober 2024, di tempat yang sama. 

Peran Tari Gandrung sebagai identitas budaya asli Banyuwangi

        Tari Gandrung merupakan salah satu kesenian asli masyarakat Osing Banyuwangi yang memiliki peran penting sebagai identitas budaya asli Banyuwangi. Peran Tari Gandrung sebagai identitas budaya asli Banyuwangi, antara lain: 

1. Identitas lokal: Tari Gandrung menjadi ciri khas yang membedakan Banyuwangi dengan daerah lain. Gerakan, kostum, dan musiknya menjadi penanda identitas Banyuwangi.

2. Warisan budaya: Tari Gandrung adalah warisan turun temurun yang menghubungkan antargenerasi. Tari Gandrung dilestarikan dan dijaga sebagai warisan budaya karena mengandung nilai-nilai budaya dan sejarah Banyuwangi. 

3. Ikon kota Banyuwangi: Tari Gandrung menjadi ikon kota Banyuwangi. Tari Gandrung juga menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan.

4. Nilai-nilai sosial dan kepahlawanan: Tari Gandrung mengandung nilai-nilai sosial dan kepahlawanan seperti gotong royong, keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kerja keras, dan nasionalisme.

Referensi:

 https://www.yukbanyuwangi.co.id/tari-gandrung-sejarah-dan-festival-pagelaran-gandrung-sewu.html

Dewi, A. T., Sumarjono, S., & Sugiyanto, S. (2019). Gandrung Sewu Festival in Banyuwangi from 2012 to 2018. Jurnal Historica, 3(1), 90-103.

Nurulita, H. N., & Widyasari, R. W. (2024). Geger Gandrung Banyuwangi pada masa orde baru (perspektif sejarah dan pemanfaatannya sebagai sumber belajar sejarah di sma). Jurnal Sangkala, 3(1), 18-33.

Zulfa, A., & Najicha, F. U. (2022). Urgensi Penguatan Identitas Nasional dalam Menghadapi Society 5.0 di Era Globalisasi. Jurnal Kalacakra, 3(2), 65-71.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun