“Terima kasih ya, Zandy. Suratmu bagus sekali.” Rizka memeluk adik asuhnya di depan saya. Zandy hanya diam, tertunduk. Sedetik kemudian ia mulai terisak, menggulirkan butir-butir bening dari matanya yang mendung dan basah. Entah karena malu atau karena berharap suatu saat, ibunya yang mengirimkan surat dan memuji surat balasannya. Rizka ikut menitikkan air mata, sementara di luar hujan masih turun dengan derasnya.
Di sudut rumah yang dipenuhi mainan yang dikirimkan dari Hongkong, hari itu saya mencoba memahami, Zandy lebih suka bermain di luar, menerbangkan layangan sekaligus khayalan. Mungkin ada pesan yang tidak terucapkan dengan kata, yang hanya bisa dimengerti oleh angin dan dua musim di bawah langit Sebatang.
Senyap karena Zandy dan Rizka masih menangis tanpa suara, saya yang merasa canggung lalu menepuk-nepuk pundak mereka berdua sambil bersenandung pelan.
“Bermain… Berlari… Bermain layang-layang.
Bermain ku bawa ke tanah lapang.
Hati gembira dan riang…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H