“Kursi Kalstar penuh. Sudah tiga hari penerbangan ditunda karena asap.”
Vonis final petugas jaga di Bandara Supadio Pontianak itu mengirim kami melalui perjalanan darat ke Putussibau selama kurang lebih 15 jam. Memanggul tas backpack dan tas jinjing berisi peralatan amunisi sebagai fasilitator, Mbak Hety dan saya bergegas mencari tiket mobil travel yang bisa membawa kami secepatnya ke lokasi tujuan. Memang pagi itu adalah pagi pertaruhan bagi kami yang sedang site visit ke lokasi penempatan Indonesia Mengajar di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Kami sengaja tidak memesan tiket pesawat karena kondisi asap yang membuat jadwal penerbangan tidak menentu. Paling aman memang lintas kabupaten lewat jalur darat: walau menuntut kesabaran dan keiklasan untuk terantuk-antuk dan terguncang, jalur Lintas Kalimantan masih bisa diprediksi.
Tapi di pulau terbesar di Indonesia ini, daratan luas dan garang. Luas yang memanggil dan garang yang menantang.
Kalimantan, akhirnya kita jumpa juga!
(Duo site visitor IM)
Desa-Desa di Pesisir Sungai Kapuas
Sungai terpanjang di Indonesia, Sungai Kapuas, mengaliri sekat-sekat antar kecamatan di Kapuas Hulu. Perjalanan lintas desa ditembus dengan perahu dengan berbagai macam nama: speed, sampan, dan banyak lagi ragam transportasi air lainnya. Melintasi rumah kayu terapung yang disebut lanting, serta melalui warung transit tempat supir-supir speed mengisi bahan bakar kendaraan maupun perut. Pada musim kemarau, anak Sungai Kapuas yang sempit mengering dan dapat dilewati dengan kehati-hatian ekstra tukang ojek. Di musim saat debit sungai naik pun, berpindah tetap tidak gampang.
Untuk mencapai sebuah kampung di Bunut Hilir, Nanga Lauk, misalnya, kita harus menunggu sampai ada kuota penumpang perahu cukup untuk berangkat. Menunggu bisa dalam hitungan jam sampai hari. Jika ingin cepat, siap-siap merogoh kocek yang kira-kira setara membeli tiket ke Australia hanya untuk melakukan perjalanan pindah desa di kabupaten yang sama. Ke Semalah juga tak kalah menantang. Teman-teman saya yang ke sana butuh waktu sehari penuh yang dihabiskan dengan rute bis, jalan kaki, ojek dan perahu sekaligus!
Perjalanan lintas desa di Kapuas Hulu yang menyita tenaga juga sekaligus menyuntikkan energi baru. Saya sempat bermalam di Desa Teluk Aur, yang ditempuh lewat perjalanan air dengan speed selama 3-4 jam. Dinar, Pengajar Muda yang bertugas di desa ini, langsung disambut oleh anak-anak dan warga begitu menjejakkan kaki di dermaga. Riuh sekali, seperti baru pulang setelah bertahun-tahun pergi. Namun akhirnya saya mengerti, dengan kontur demografis seperti ini, tidak semua orang punya kemewahan untuk sering-sering pergi lalu pulang kembali.
Teluk Aur adalah kumpulan rumah-rumah panggung yang tertata rapi. Anak-anak maupun tua renta lincah meniti jalan-jalan tinggi yang ditopang tanggul kayu. Menurut cerita orang lokal, desa ini pernah menjadi desa percontohan pelepasan Orang Utan versi WWF. Saya bertemu seorang penggerak pendidikan lokal, Bapak Dayat, yang tidak lulus SD tapi bekerja sebagai fotografer lepas untuk WWF.
“Prinsip saya, biar (saya) tidak bisa keliling dunia, yang penting karya saya bisa ke mana-mana,” kata Pak Dayat. Karya fotonya memang sudah sampai menembus pameran internasional sampai ke Jerman dan negara-negara tetangga. Teluk Aur yang ketika malam gelap gulita tanpa pelita ini, punya mutiara-mutiara cemerlang yang tumbuh dan bersinar dengan caranya sendiri.
Akar budaya dan sejarah yang lestari
Setiap orang punya akar. Kapuas Hulu mengingatkan saya dengan akar saya di Pulau Bangka. Girang sekali rasanya sekali ketika disuguhi kerupuk basah, makanan khas Kapuas Hulu yang terbuat dari ikan, tepung, dan bawang putih yang digulung jadi adonan dan direbus. Makanan ini seperti empek-empek khas Sumatera Selatan, hanya saja berbeda tekstur dan rasa. Bahkan beberapa frasa dan dialek daerah yang digunakan di sini juga mirip dengan bahasa Melayu yang digunakan di Bangka.
Dalam waktu kurang dari sehari, saya beradaptasi memaksa lidah menyelipkan beberapa kata lokal dalam percakapan seperti ‘aok’, ‘sepradik’, dan ‘dak’.
Bagian yang menyenangkan dari perjalanan ke daerah baru adalah melakukan observasi etnografi singkat. Belajar bahasa adalah salah satu metode efektif, terutama ketika pekerjaan menuntut untuk melakukan pendekatan dengan warga lokal untuk mengerti keadaan program di sana.
Tidak seperti Ibukota Putussibau yang sudah didiami sejumlah pendatang dari suku Tionghoa, Minang, dan lainnya, Suku Melayu dan Dayak menjadi suku yang dominan di daerah pinggir sungai dan pedalaman. Suku dan agama menjadi dikotomi yang tidak terpisahkan: Melayu pasti Islam, Dayak pasti Kristen. Saya sempat tergelak ketika diceritakan Dini, Pengajar Muda di Desa Kepala Gurung, alkisah ada orang Dayak yang pindah agama menjadi Islam. Kemudian dia mendeklarasikan dirinya pindah suku juga menjadi Melayu. Betapa suku dan agama telah menyatu jadi identitas yang saru.
Kemampuan beradaptasi dengan bahasa Melayu yang sudah familiar bagi saya ternyata lebih susah diterapkan untuk bahasa Dayak sangat beragam. Suku Dayak sendiri banyak rumpun; rumpun Kalimantan, Iban, Apokayan, Murut, Ot Danum-Ngaju, dan Punan. Setiap kelompok rumpun punya cabang dan berbeda-beda pula bahasanya. Kunjungan budaya yang menarik dari perjalanan bersama Lissa dan Dinar kali ini adalah kesempatan mengunjungi rumah adat khas masyarakat Dayak Kalimantan: Rumah Betang!
Rumah Betang berbentuk panggung dan memanjang. Sangat panjang malah. Rumah yang saya kunjungi memiliki 37 pintu, yang dihuni oleh 47 Kepala Keluarga. Bayangkan saja keributan yang terjadi jika beberapa anak berkelahi, atau beberapa ibu bergunjing layaknya di kota-kota. Tapi siang itu para penghuni rumah sedang bekerja di ladang. Saya yang tidak bisa memastikan bayangan keributan macam apa yang terjadi dengan puluhan penghuni di bawah satu atap, memilih untuk berasumsi bahwa mereka hidup rukun sekali.
Untuk menyebrang ke sisi sebelah sungai Putussibau Selatan tempat Rumah Betang ini berada, kami harus memecahkan misteri yang rumit: bagaimana caranya mendapatkan tumpangan dari perahu nun jauh di seberang? Setelah hampir putus asa mencoba berteriak-teriak dari seberang sungai, untunglah Lissa (Pengajar Muda X Gudang Suai) menemui warga yang kemudian memberitahu mantera ajaib untuk menyebrang, yaitu berteriak "tambang..tambang!" Teriakan itu memang pada akhirnya didengar sebagai sandi yang dimengerti. Tak sampai lima menit, ada sampan yang menjemput kami ke seberang, ke Rumah Betang.
Kami bertemu dengan Bapak Stephanus Sakumpai yang menjaga rumah. Lewat beliau kami diperkenalkan dengan silsilah pohon keluarga Bai’Tii’ Piangdayu’ Tungo yang mendirikan rumah ini sejak tahun 1741. Lebih tua dari umur negara ini. Salah satu tetua yang masih hidup ternyata adalah veteran pejuang Dwikora pada masa itu.
Rumah Betang Malapi ini adalah satu-satunya Rumah Betang di sisi kiri sungai yang terdapat di Putussibau Selatan. Di sini, ritual dijaga dengan kuat. Jika ada tetua yang meninggal, alat musik kangkuang dipukul secara bertalu-talu untuk menandakan mulainya momen sakral. Lalu mulailah pesta potong kerbau, ritual tari, dan penyemayaman jenazah di tempat kehormatannya. Konon ceritanya, ritual ini bisa makan waktu berhari-hari.
Masyarakat Dayak Taman tidak lepas dari sejarah perbudakan yang melibatkan ritual kurban manusia pada musim paceklik, atau pada momen-momen ‘tolak bala’. Namun pada tahun 1860, moyang-moyang Suku Dayak menghapuskan perbudakan (ulun paangkam) sekaligus menegakkan hak asasi manusia dengan mengganti kurban dengan hewan peliharaan. Monumen tooras didirikan di depan Rumah Betang Malapi sebagai simbol pengingat sejarah yang mengubah hidup mereka.
Di sini, kami hanya sekelompok orang asing yang mengetuk pintu rumah mereka dengan ingin tahu. Bapak Stephanus dengan baik menanggapi ketukan itu tanpa curiga dan pamrih, seakan yang datang adalah teman lama. Akan lain jadinya jika yang kami ketuk adalah pintu-pintu rumah di Jakarta yang pagarnya tinggi melindungi diri. Dari sini saya bersyukur, masih ada titik-titik yang tersebar di seluruh Indonesia, di mana kepercayaan terhadap sesama bukan jadi barang langka.
Walau harus melintasi sungai, menunggu ada perahu warga yang menepi untuk ikut ke seberang, kunjungan ke Rumah Betang yang singkat ini sangat berbekas dalam ingatan. Ketika pulang, saya ingin tetap ingat bahwa perjalanan ini bukan hanya lintas ruang geografis, tapi juga ruang waktu.
Menyisiri aliran Sungai Kapuas. Di sepanjangnya, cerita kehidupan ikut mengalir...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H