Rumah Betang berbentuk panggung dan memanjang. Sangat panjang malah. Rumah yang saya kunjungi memiliki 37 pintu, yang dihuni oleh 47 Kepala Keluarga. Bayangkan saja keributan yang terjadi jika beberapa anak berkelahi, atau beberapa ibu bergunjing layaknya di kota-kota. Tapi siang itu para penghuni rumah sedang bekerja di ladang. Saya yang tidak bisa memastikan bayangan keributan macam apa yang terjadi dengan puluhan penghuni di bawah satu atap, memilih untuk berasumsi bahwa mereka hidup rukun sekali.
Untuk menyebrang ke sisi sebelah sungai Putussibau Selatan tempat Rumah Betang ini berada, kami harus memecahkan misteri yang rumit: bagaimana caranya mendapatkan tumpangan dari perahu nun jauh di seberang? Setelah hampir putus asa mencoba berteriak-teriak dari seberang sungai, untunglah Lissa (Pengajar Muda X Gudang Suai) menemui warga yang kemudian memberitahu mantera ajaib untuk menyebrang, yaitu berteriak "tambang..tambang!" Teriakan itu memang pada akhirnya didengar sebagai sandi yang dimengerti. Tak sampai lima menit, ada sampan yang menjemput kami ke seberang, ke Rumah Betang.
Kami bertemu dengan Bapak Stephanus Sakumpai yang menjaga rumah. Lewat beliau kami diperkenalkan dengan silsilah pohon keluarga Bai’Tii’ Piangdayu’ Tungo yang mendirikan rumah ini sejak tahun 1741. Lebih tua dari umur negara ini. Salah satu tetua yang masih hidup ternyata adalah veteran pejuang Dwikora pada masa itu.
Rumah Betang Malapi ini adalah satu-satunya Rumah Betang di sisi kiri sungai yang terdapat di Putussibau Selatan. Di sini, ritual dijaga dengan kuat. Jika ada tetua yang meninggal, alat musik kangkuang dipukul secara bertalu-talu untuk menandakan mulainya momen sakral. Lalu mulailah pesta potong kerbau, ritual tari, dan penyemayaman jenazah di tempat kehormatannya. Konon ceritanya, ritual ini bisa makan waktu berhari-hari.
Masyarakat Dayak Taman tidak lepas dari sejarah perbudakan yang melibatkan ritual kurban manusia pada musim paceklik, atau pada momen-momen ‘tolak bala’. Namun pada tahun 1860, moyang-moyang Suku Dayak menghapuskan perbudakan (ulun paangkam) sekaligus menegakkan hak asasi manusia dengan mengganti kurban dengan hewan peliharaan. Monumen tooras didirikan di depan Rumah Betang Malapi sebagai simbol pengingat sejarah yang mengubah hidup mereka.
Di sini, kami hanya sekelompok orang asing yang mengetuk pintu rumah mereka dengan ingin tahu. Bapak Stephanus dengan baik menanggapi ketukan itu tanpa curiga dan pamrih, seakan yang datang adalah teman lama. Akan lain jadinya jika yang kami ketuk adalah pintu-pintu rumah di Jakarta yang pagarnya tinggi melindungi diri. Dari sini saya bersyukur, masih ada titik-titik yang tersebar di seluruh Indonesia, di mana kepercayaan terhadap sesama bukan jadi barang langka.
Walau harus melintasi sungai, menunggu ada perahu warga yang menepi untuk ikut ke seberang, kunjungan ke Rumah Betang yang singkat ini sangat berbekas dalam ingatan. Ketika pulang, saya ingin tetap ingat bahwa perjalanan ini bukan hanya lintas ruang geografis, tapi juga ruang waktu.
Menyisiri aliran Sungai Kapuas. Di sepanjangnya, cerita kehidupan ikut mengalir...