Perjalanan lintas desa di Kapuas Hulu yang menyita tenaga juga sekaligus menyuntikkan energi baru. Saya sempat bermalam di Desa Teluk Aur, yang ditempuh lewat perjalanan air dengan speed selama 3-4 jam. Dinar, Pengajar Muda yang bertugas di desa ini, langsung disambut oleh anak-anak dan warga begitu menjejakkan kaki di dermaga. Riuh sekali, seperti baru pulang setelah bertahun-tahun pergi. Namun akhirnya saya mengerti, dengan kontur demografis seperti ini, tidak semua orang punya kemewahan untuk sering-sering pergi lalu pulang kembali.
Teluk Aur adalah kumpulan rumah-rumah panggung yang tertata rapi. Anak-anak maupun tua renta lincah meniti jalan-jalan tinggi yang ditopang tanggul kayu. Menurut cerita orang lokal, desa ini pernah menjadi desa percontohan pelepasan Orang Utan versi WWF. Saya bertemu seorang penggerak pendidikan lokal, Bapak Dayat, yang tidak lulus SD tapi bekerja sebagai fotografer lepas untuk WWF.
“Prinsip saya, biar (saya) tidak bisa keliling dunia, yang penting karya saya bisa ke mana-mana,” kata Pak Dayat. Karya fotonya memang sudah sampai menembus pameran internasional sampai ke Jerman dan negara-negara tetangga. Teluk Aur yang ketika malam gelap gulita tanpa pelita ini, punya mutiara-mutiara cemerlang yang tumbuh dan bersinar dengan caranya sendiri.
Akar budaya dan sejarah yang lestari
Setiap orang punya akar. Kapuas Hulu mengingatkan saya dengan akar saya di Pulau Bangka. Girang sekali rasanya sekali ketika disuguhi kerupuk basah, makanan khas Kapuas Hulu yang terbuat dari ikan, tepung, dan bawang putih yang digulung jadi adonan dan direbus. Makanan ini seperti empek-empek khas Sumatera Selatan, hanya saja berbeda tekstur dan rasa. Bahkan beberapa frasa dan dialek daerah yang digunakan di sini juga mirip dengan bahasa Melayu yang digunakan di Bangka.
Dalam waktu kurang dari sehari, saya beradaptasi memaksa lidah menyelipkan beberapa kata lokal dalam percakapan seperti ‘aok’, ‘sepradik’, dan ‘dak’.
Bagian yang menyenangkan dari perjalanan ke daerah baru adalah melakukan observasi etnografi singkat. Belajar bahasa adalah salah satu metode efektif, terutama ketika pekerjaan menuntut untuk melakukan pendekatan dengan warga lokal untuk mengerti keadaan program di sana.
Tidak seperti Ibukota Putussibau yang sudah didiami sejumlah pendatang dari suku Tionghoa, Minang, dan lainnya, Suku Melayu dan Dayak menjadi suku yang dominan di daerah pinggir sungai dan pedalaman. Suku dan agama menjadi dikotomi yang tidak terpisahkan: Melayu pasti Islam, Dayak pasti Kristen. Saya sempat tergelak ketika diceritakan Dini, Pengajar Muda di Desa Kepala Gurung, alkisah ada orang Dayak yang pindah agama menjadi Islam. Kemudian dia mendeklarasikan dirinya pindah suku juga menjadi Melayu. Betapa suku dan agama telah menyatu jadi identitas yang saru.
Kemampuan beradaptasi dengan bahasa Melayu yang sudah familiar bagi saya ternyata lebih susah diterapkan untuk bahasa Dayak sangat beragam. Suku Dayak sendiri banyak rumpun; rumpun Kalimantan, Iban, Apokayan, Murut, Ot Danum-Ngaju, dan Punan. Setiap kelompok rumpun punya cabang dan berbeda-beda pula bahasanya. Kunjungan budaya yang menarik dari perjalanan bersama Lissa dan Dinar kali ini adalah kesempatan mengunjungi rumah adat khas masyarakat Dayak Kalimantan: Rumah Betang!