Korea Selatan, negara yang dikenal dengan kehidupan sosial yang dinamis dan budaya pernikahan yang kuat, kini menghadapi tantangan serius dalam bentuk menurunnya angka pernikahan. Dalam sepuluh tahun terakhir jumlah pernikahan di Korea Selatan anjlok sebanyak 40 persen.Â
Penurunan secara signifikan ini menyebabkan turunnya angka kelahiran di negara tersebut. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan tentang dampak sosial, ekonomi, dan budaya. Artikel ini akan menggali tentang menurunnya angka pernikahan di Korea Selatan serta faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena ini.
Setelah membaca beberapa artikel mengenai hal terkait, bisa disimpulkan dengan beberapa faktor dibawah ini:
- Perubahan nilai dan norma sosial: paradigma lama tentang pernikahan dan keluarga di Korea Selatan telah berubah. Hal ini bisa saja terjadi karena pengaruh globalisasi dan modernisasi. Budaya asing yang masuk melalui media massa, internet, dan interaksi internasional telah membawa perilaku dan nilai-nilai baru, termasuk perspektif yang lebih liberal tentang pernikahan dan keluarga. Pola hidup yang lebih mandiri dan individualistik diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga tekanan untuk menikah pun berkurang.
- Perkonomian yang tidak stabil: tingkat pengangguran yang tinggi dan sulitnya mencari pekerjaan yang stabil telah membuat banyak individu menunda pernikahan dan fokus pada karir dan stabilitas finansial.
- Biaya dan tekanan ekonomi: biaya untuk pernikahan di Korea tidaklah murah. Seorang netizen Korea, atau lebih kerap disapa dengan Knetz mengungkpakan, bahwa ia keberatan dengan standart biaya pernikahan yang ada di Korea Selatan. "Untuk persiapan saja bisa habis lebih dari 70 juta Won (829 juta Rupiah)." Lalu perusahaan informasi pernikahan Gayeon mengadakan survei kepada 2.100 pekerja kantoran mengenai biaya pernikahan. Sekitar 48 % pekerja kantoran berpendapat biaya tersebut dianggap mengabiskan biaya terlalu banyak. Sementara itu, survei menunjukkan rata-rata orang Korea menghabiskan 300 juta Won (3,5 miliar Rupiah) untuk biaya resepsi pernikahan dan lainnya. Dari total biaya tersebut, 79% nya digunakan untuk membeli rumah baru yang dibandrol dengan harga 241,76 juta Won atau setara 2,8 miliar Rupiah. Harga yang sangat fantastis.
- Perubahan peran gender: karena perubahan peran gender dan ekspetasi sosial lebih seimbang antara pria dan wanita, dinamika pernikahan telah berubah. Wanita lebih suka mengejar karir mereka sendiri daripada menjadi ibu rumah tangga konvensional. Selain itu, tekanan ekonomi juga mendorong wanita untuk mencari pekerjaan di luar rumah untuk membantu keluarga mereka. Hal inilah yang menyebabkan perubahan pada bagaimana peran gender di rumah tangga diatur. Para wanita memikirkan betapa sulitnya membagi prioritas antara pekerjaan dan keluarga, oleh sebab itu mereka memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali.
- Tingginya angka perceraian: pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak seimbang dan biaya hidup yang tinggi merupakan salah satu konflik rumah tangga yang kerap terjadi di Korea dan menyebabkan perceraian. Selain itu perbedaan kepribadian juga termasuk masalah serius dalam kehidupan rumah tangga di Korea. Ditambah untuk saat ini, wanita menganggap dirinya bisa melakukan apapun tanpa adanya seorang pria dalam hidupnya membuat meraka lebih berhati-hati dalam membuat keputusan untuk menikah.
Dampak
Setiap konflik atau masalah yang terjadi pasti ada implikasi yang ditimbulkan baik dari sisi positif ataupun negatif. Dilihat dari sisi positifnya, dengan menurunnya angka pernikahan di Korea Selatan, kesetaraan gender memiliki ruang untuk meningkat. Seperti yang kita ketahui bahwa Korea Selatan merupakan negara dengan kesenjangan gender yang tinggi meskipun negara ini merupakan negara maju.
Kesenjangan ini dapat dilihat dengan jelas dari gaji atau upah kerja antara pria dan wanita. Dengan beban kerja yang sama, besaran gaji perempuan hanya 68,9 persen dari total gaji laki-laki yang 100 persen.
Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari masalah ini adalah menurunnya tingkat kelahiran yang berakibat pada masyarakat Korea Selatan menghadapi tantangan demografis, seperti penuaan populasi, peningkatan beban bagi generasi muda, dan penurunan angkatan kerja. Penurunan jumlah anggota keluarga juga menjadi dampak negatif dari adanya masalah ini. Selain itu, kesejahteraan sosial dan ekonomi negara juga mengalami pemerosotan.
Upaya penanggulangan
Pemerintah Korea Selatan telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah tren menurunnya angka pernikahan, termasuk memberikan insentif finansial bagi pasangan yang menikah, meningkatkan dukungan yang seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta sosialisai tentang pandangan budaya terkait pernikahan dan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H