"Semuanya sudah siap, Bu. Kita akan segera berangkat," ucap seorang wanita yang mengenakan kaca mata tersebut.
"Iya, terima kasih, Mega," balasan dari seorang wanita yang sedang berkaca di depan cermin panjang sembari merapihkan baju yang dikenakannya.
Pagi ini adalah pagi yang sangat spesial bagi Puspa Anindita atau yang lebih terkenal dengan P. Nindi. Dia yang sudah berkarir selama 17 tahun menjadi penulis dan motivator kini mengeluarkan karya terbarunya yang berjudul 'Memorable'. Dalam karya tersebut tertulis bagaimana awal dirinya menitih karir hingga sukses seperti sekarang. Kenangan akan masa-masa yang sangat mudah diingat itu membuat buku yang dia terbitkan lebih istimewa dari biasanya.
Puspa pun lalu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Dia berangkat ke salah satu tempat dimana perayaan untuk peluncuran buku barunya diadakan. Sepanjang perjalanan dirinya kembali mengenang masa-masa indah tersebut. Dirinya bahkan masih tidak bisa menyangka bahwa dia bisa melalui semua itu. Dahulu, hari demi hari dia habiskan untuk belajar dan bekerja, tidak ada kata lelah yang mengujam tubuhnya, yang ada hanya kata semangat yang selalu ada dalam benaknya. Tidak terlepas dari itu semua, dukungan orang tua pun patut dirinya dedikasikan sebab tanpa mereka mungkin dia kini bukanlah seorang P.Nindi yang terkenal. Walaupun memang terkadang mereka tidak ada di sampingnya, tetapi sebagian perkataan merekalah yang membuat dirinya seperti sekarang.
Mobil yang membawanya kini sudah berhenti di salah satu gedung dengan banyak rangkaian bunga. Banyak orang-orang yang sudah datang dan bisa dibilang cukup ramai hingga mengakibatkan beberapa harus menunnggu di luar. Puspa pun lalu turun dari mobilnya, dia melempar senyum pada orang-orang yang menyambutnya. Sesekali dia juga mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan beberapa orang tersebut.
Puspa memasuki gedung tersebut dan langsung diarahkan ke tempat duduk yang sudah disiapkan. Kali ini matanya begitu berbinar, rasa haru juga menyelimutinya sebab sekali lagi dia tidak menyangka jika sangat banyak yang menyukai karya-karyanya. Acara pun di mulai oleh sang MC. Beberapa sambutan telah dilalui dan kini giliran sang utama yaitu penulisnya sendiri. Puspa berdiri dan melangkahkan kakinya menuju panggung, tempat di mana dia akan memberikan sepatah atau dua patah kata pada hadirin. Tidak lupa dia juga mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sangat berjasa bagi dirinya selama berkarir dan akhir kata dia mendedikasikan karya tersebut untuk orang-orang yang sedang berjuang diluar sana untuk menggapai cita-citanya.
Setelah acara utama selesai, lalu dilanjut dengan acara penandatanganan buku. Wanita tiga puluh empat tahun itu menyapa penggemarnya dengan sangat ramah, dia juga kerap mengajak ngobrol mereka sebelum menandatangani buku yang sudah mereka bawa. Namun, salah satu wanita yang meminta tanda tangan padanya mengambil perhatiannya ketika nama yang wanita tersebut sebutkan sama dengan nama dirinya.
"Siapa namamu?" tanya Puspa sembari menatap buku yang ingin dia tanda tangan.
"Puspa Anindita," jawaban wanita tersebut membuat puspa mendongakkan wajahnya dan menatap lekat kearah wanita tersebut.
Puspa melihat lekat wanita yang ada dihadapannya. Wanita dengan pakaian kaos biru dan celana lepis panjang itu membuat dia teringat akan dirinya yang dahulu. Lamunannya pun terbawa saat dirinya pertama kali pergi ke toko buku dan membeli sebuah buku untuk tugas dari sekolah. Buku pertama yang dirinya beli dengan uang hasil jerih payahnya membantu sang tante yang bekerja di kantin sekolah.
Saat itu dia sangat bahagia, uang pertama yang dia hasilkan dapat bermanfaat untuk menunjang pendidikannya sendiri. Di umur yang baru tujuh belas tahun, dirinya sudah dipaksa untuk hidup mandiri dan membiayai sekolahnya sendiri. Keluarganya mengalami perceraian, sang ayah hidup dengan istri barunya sedangkan sang ibu sedang mencoba untuk bangkit dari keterpurukannya. Di masa yang sulit itu, dia tidak bisa membicarakan kebutuhannya atau bahkan perasaannya secara gamblang. Dia hanya bisa menulis kata demi kata di buku harian yang selama ini menemaninya.
Hari-hari semakin sulit, tetapi dia tidak pantang menyerah. Pagi hari dia bersekolah lalu siang hingga sore hari dia membantu tantenya berjualan di lapak jualannya dan juga kantin sekolah. Lalu di malam harinya dia megerjakan tugas dari sekolah, sembari sedikit bercerita pada buku hariannya. Meskipun begitu tidak ada butiran air mata yang menetes, bibirnya malah dipenuhi oleh lengkungan senyuman sembari mengingat rangkaian kegiatan yang telah dia lalui. Saat itu, dia hanya percaya jika suatu saat nanti hidupnya akan berubah menjadi lebih baik. Dia percaya bahawa dirinya masih memiliki Allah yang selalu menolong kapan pun dirinya butuh. Semua yang dia rasakan dan permasalahan yang dihadapinya, dia serahkan semuanya pada Allah. Setelah itu, biarkan jalur langit yang mengubahnya.
Satu tahun sudah dia lalui dengan sangat baik. Kini dia pun bertekad untuk masuk ke perguruan tinggi. Entah bagaimana caranya, tetapi apa yang dia inginkannya justru terwujud dengan sendirinya. Dia menerima beasiswa dari pemerintah untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Senang yang tidak terkira, dia pun memberitahukan hal ini pada sang ibu yang sedang bekerja di luar kota. Dia menelponnya seraya meneskan air mata kebahagiaan.
"Selamat, ya, Nak. Kejar cita-citamu sampai setinggi langit. Ibu yakin kamu pasti jadi orang yang sukses," ucapan sang ibu yang selalu terngiang dalam ingatannya.
"Iya, Bu. Aku pasti akan menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan ibu. Jadi, aku dan ibu tidak perlu berjauhan lagi," sambutnya dengan penuh semangat dan harapan.
Setelah menelpon sang ibu, Puspa pun pergi ke kamarnya dan duduk di meja belajarnya. Dia menulis hal yang dirinya lalui hari ini di buku hariannya. Namun, saat di lihat-lihat ternyata buku hariannya sudah hampir penuh. Dirinya pun berniat untuk membeli buku lagi untuk menyambung jalan ceritanya. Keesokan harinya, saat dia membeli buku di toko buku dekat rumahnya. Dia melihat pengumuman yang tertempel di toko itu mengenai agensi kepenulisan. Dia pun lalu mencatat nomor yang tertera di pengumuman tersebut dan berniat untuk menghubunginya nanti.
Sepulang kuliah, saat Puspa sedang mencatat hal yang dia lalui sekarang pikirannya tiba-tiba teringat akan pengumuman yang dia lihat kemarin. Dia pun lalu membuka ponselnya dan mengetik nomor tersebut serta langsung menghubunginya. Puspa berbicara pada pihak agensi tersebut dan segera mencatat hal yang diperlukan untuk bergabung ke agensi penulis itu. Puspa langsung menyiapkan semuanya dan mengirimnya melalui email. Beberapa hari kemudian dia mendapatkan balasan email yang menyatakan bahwa dia diterima dalam agensi tersebut dan di situ tertera letak agensi tersebut berada. Ternyata, selama ini kantor agensi kepenulisannya berada di dekat kampus di mana dia kuliah. Hal itu pun yang membuatnya semakin mudah dalam mengatur waktu antara perkuliahan dan juga belajar menulis. Tiga tahun kemudian, saat dirinya sedang bersiap-siap untuk skripsi, buku pertamanya terbit. Bukunya yang berjudul cinta sama dengan usaha itu cukup laris dan digandrungi oleh beberapa kaum muda pada jamannya. Mulai dari situ lah, karirnya semakin meroket hingga sekarang.
"Berapa umurmu?" tanya Puspa pada wanita yang mengenakan kaos biru dan celana jeans tersebut.
"Tujuh belas tahun," sahut wanita tersebut sembari memberikan senyuman manisnya.
"Apa cita-citamu?" seloros Puspa lagi sembari menandatangani buku yang sudah dia pegang.
"Menjadi seorang penulis," jawaban tersebut membuat Puspa tersenyum dan menatap lekat wanita tersebut lagi.
"Percayalah, kamu pasti akan menjadi orang sukses dan kejarlah cita-citamu setinggi langit," ucapan Puspa sama persis seperti yang pernah dia dengar 17 tahun yang lalu.
Wanita tersebut pun langsung tersenyum dan berjanji untuk mewujudkan cita-citanya. Dia lalu mengatakan sesuatu yang membuat Puspa tersenyum bahagia serta merasa yakin bahwa wanita yang ada dihadapannya merupakan cerminan dirinya.
"Terima kasih sudah bekerja keras selama ini, aku sangat menyukainya," ungkap wanita tersebut sembari tersenyum bahagia.
***
"Ibu ... Bu, apakah Ibu baik-baik saja?" pertanyaan tersebut membuat senyuman Puspa sedikit pudar.
"Ah, iya ...," ucapnya sambil menganggukkan kepala dan menatap asistennya tersebut.
"Ini buku selanjutnya yang akan ditanda tangani, Bu." Menyerahkan buku yang berjudul Memorable pada Puspa.
"Iya." Menatap buku yang dia ambil dan menaruhnya di meja.
Puspa pun langsung menandatangani buku tersebut dan memberikannya pada penggemar yang sedari tadi berada di hadapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H