Dalam era digital, konsep kebahagiaan telah mengalami pergeseran yang signifikan. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang berbagi cerita kini berubah menjadi panggung penampilan yang sering kali menyajikan kehidupan sempurna, penuh kebahagiaan dan kesuksesan. Fenomena oversharing—tindakan berbagi informasi pribadi secara berlebihan di platform digital—menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika ini. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah kebahagiaan yang dipamerkan ini benar-benar otentik atau hanyalah ilusi digital yang diciptakan untuk mendapatkan pengakuan dan validasi?
Oversharing dan Ilusi Kebahagiaan
Oversharing sering kali dipandang sebagai bentuk keterbukaan yang salah arah. Meskipun tampaknya seseorang berbagi momen kebahagiaan, tindakan ini kerap kali didorong oleh kebutuhan untuk diakui oleh orang lain. Media sosial memberikan kesempatan untuk menampilkan kehidupan dengan filter yang sempurna, menyembunyikan realitas di balik layar. Akibatnya, pengguna cenderung membentuk citra diri yang tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan mereka yang sebenarnya, menciptakan ilusi kebahagiaan.
Fenomena ini didorong oleh keinginan mendapatkan 'like', komentar positif, dan perhatian yang dianggap sebagai bukti validasi sosial. Seolah-olah, kebahagiaan tidak lagi menjadi perasaan yang murni dari dalam diri, melainkan sesuatu yang harus dipamerkan agar diakui oleh orang lain. Oversharing pun menjadi alat untuk menunjukkan versi ideal dari diri sendiri, bukan kenyataan apa adanya. Pengguna media sosial akhirnya terjebak dalam pola pikir bahwa kebahagiaan harus terlihat sempurna di mata orang lain, meskipun hal itu mungkin hanya ilusi.
Originalitas yang Tersisih
Di balik fenomena ini, ada pertanyaan besar mengenai hilangnya originalitas dalam kebahagiaan. Saat kebahagiaan dilihat sebagai sesuatu yang harus dibagikan dan disetujui oleh audiens digital, keasliannya pun dipertanyakan. Originalitas kebahagiaan adalah perasaan yang seharusnya muncul dari dalam, tanpa memerlukan pengakuan dari luar. Namun, di era digital, garis antara kebahagiaan sejati dan kebahagiaan yang dikonstruksi semakin kabur.
Pengaruh algoritma media sosial juga memperparah kondisi ini. Algoritma yang mendorong konten yang paling disukai dan dikomentari membuat orang terdorong untuk mengunggah hal-hal yang dianggap akan mendapatkan perhatian lebih, terlepas dari apakah konten tersebut mencerminkan kenyataan mereka atau tidak. Akibatnya, orisinalitas kebahagiaan sering kali hilang di balik tekanan untuk menampilkan kehidupan yang terlihat sempurna.
Konsekuensi Psikologis
Ilusi kebahagiaan di media sosial tidak hanya berdampak pada hubungan kita dengan orang lain, tetapi juga pada kesehatan mental kita sendiri. Orang yang terus-menerus terpapar citra-citra kebahagiaan palsu ini bisa merasa tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri. Ini menciptakan lingkaran setan di mana seseorang merasa perlu terus-menerus meningkatkan standar kebahagiaan mereka untuk menyaingi yang lain, tanpa menyadari bahwa banyak dari apa yang mereka lihat hanyalah permukaan yang sengaja dipoles.
Studi menunjukkan bahwa oversharing dan konsumsi berlebihan konten di media sosial dapat menyebabkan perasaan rendah diri, kecemasan, dan depresi. Ketika kebahagiaan dinilai dari apa yang kita lihat di layar, kita kehilangan kemampuan untuk mengenali kebahagiaan yang nyata dari dalam diri kita sendiri. Kita terjebak dalam siklus pembandingan sosial yang tak ada habisnya, di mana kita merasa gagal jika tidak dapat mencapai "kebahagiaan digital" yang sering kali tidak realistis.
Memaknai Kembali Kebahagiaan
Mengembalikan makna kebahagiaan yang sejati di era oversharing bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan kesadaran akan dampak negatif dari ilusi kebahagiaan di media sosial dan kemampuan untuk memisahkan diri dari tekanan untuk terus-menerus memamerkan kebahagiaan. Originalitas kebahagiaan harus diupayakan kembali sebagai pengalaman personal, yang tidak perlu dipublikasikan agar dianggap valid.
Kita perlu mengajukan pertanyaan penting: apakah kebahagiaan yang kita rasakan saat ini benar-benar milik kita, ataukah itu adalah sesuatu yang kita ciptakan agar orang lain melihat kita bahagia? Langkah pertama dalam memaknai kembali kebahagiaan adalah dengan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu memerlukan penonton. Kebahagiaan dapat ditemukan dalam momen-momen kecil, dalam ketenangan diri, dan dalam hubungan dengan orang-orang terdekat, tanpa harus mendapatkan pengakuan digital.
Akhir kata, di era digital ini, di mana oversharing dan pencarian validasi digital menjadi norma, penting bagi kita untuk kembali pada konsep kebahagiaan yang otentik. Kebahagiaan sejati tidak membutuhkan pengakuan dari dunia luar, dan tidak harus dipamerkan agar dianggap ada. Memaknai kembali kebahagiaan di era oversharing berarti menemukan kedamaian dalam kesederhanaan, menerima diri apa adanya, dan melepaskan kebutuhan untuk selalu tampil sempurna di mata orang lain. Hanya dengan begitu kita dapat meraih kebahagiaan yang asli, bebas dari ilusi digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H