Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Rumah Sakit Jiwa

28 Maret 2017   10:14 Diperbarui: 29 Maret 2017   18:00 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa ragu aku langsung berjalan menuju tangga tersebut, ketika aku berjalan menuju tangga yang terbuat dari batu-bata itu, tiba-tiba ada suara di belakangku “Braaaaaaaak” bunyi itu bersumber dari pintu besar yang aku masuki. Pintu berat itu menutup seketika. Bunyinya yang mencekam membuat aku panik, dengan penuh ketakutan aku lari terbirit-birit menuju ke atas. Karena sangat panik, aku sampai tidak melihat sekelilingku. 

Aku berlari sekencang-kencangnya melewati lantai dua, kurasakan sekujur tubuhku penuh dengan keringat. Aku sempat mendengar bunyi seorang bayi menangis dari lantai dua. Bunyi itu semakin membuat diriku ketakutan. Dengan penuh rasa takut akhirnya sampailah aku dilantai paling atas. Aku ingin berlalari lagi, namun tidak ada satupun celah yang bisa kususuri, tidak ada satupun ruangan dilantai tiga.

Bunyi bayi yang menangis semakin terdengar jelas, aku benar-benar takut. Aku berusaha mencari celah untuk lari dan bersembunyi, namun tidak ada satupun ruang yang bisa kumasuki. Tetapi ada sebuah jendela tanpa tirai yang terbuka lebar. Tanpa beripikir panjang, aku segera menggerakan tubuhku berlari menuju kearah jendela tersebut dan aku melompat.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Nyut-nyut-nyut” kepalaku terasa sakit, berat.

Aku merasakan tubuhku lemas, terbaring di sebuah ranjang dengan selang di hidungku. Mataku tertutup rapat sehingga aku hanya bisa mengandalkan telingaku untuk mendengar. Sekilas ada pembicaraan antara dua wanita disamping ranjangku.

“Beri dia pengamanan yang ekstra, jangan biarkan dia kabur lagi dari tempat ini”

Hanya itu yang sempat aku dengar, segera setelah itu mereka kemudian keluar meninggalkanku sendiri di ruangan ini. Beberapa jam setelah itu, aku berusaha membuka mataku, dan upaya itu akhirnya berhasil, mataku akhirnya terbuka.

 Namun, kudapati sepucuk kertas di meja yang berada percis di samping ranjang 

“‘Bobi Septiano; Pengidap kelainan jiwa’”.  Sontak saja aku segera mengalihkan pandangan ke arah jendela yang ada dihadapanku dan aku melihat tulisan besar ‘Rumah Sakit Jiwa Darmawangsa’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun