Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Rumah Sakit Jiwa

28 Maret 2017   10:14 Diperbarui: 29 Maret 2017   18:00 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kereta yang aku naiki hari ini tidak seramai kemarin, pagi ini aku bisa merasakan kenyamanan duduk di bangku kereta. Suhu AC kereta membuat kulitku terasa dingin seperti sedang berada di benua Antartika ditambah lagi aku tidak membawa jaket dari rumah. Kulihat sekelilingku adalah para kepala rumah tangga pencari nafkah, tidak sedikit pula ibu-ibu perkantoran yang menunggu akan tujuan mereka. Hanya ada beberapa anak sekolah yang mengenakan seragam, termasuk diriku.

‘Sesaat lagi kereta anda akan tiba di Stasiun Jakarta Kota’ Terdengar bunyi dari saluran kecil pada atap kereta pertanda bahwa kereta yang ku naiki sejak dua jam lalu akan segera tiba di stasiun akhir Jakarta Kota. Aku segera bergegas merapatkan ranselku dengan penuh semangat mencari ilmu demi masa depan yang elok.

Dari stasiun kereta menuju sekolah kutempuh dengan berjalan kaki, sebenarnya ada angkutan umum yang bisa mengantarkanku tepat di depan sekolah, angkot bernomor 05, tetapi aku lebih memilih berjalan kaki karena aku berpikir bahwa itu bisa membuat tubuhku lebih sehat dan bugar, lagipula hal itu dapat menghemat uang saku, pikirku.

Jarak antara stasiun kereta dengan sekolahku berkisar 1 kilo meter. Di tepi sebelah kanan sekolahku adalah rumah sakit jiwa yang sudah ada sejak sekolahku belum didirikan, Rumah Sakit Jiwa Darmawangsa namanya. Kalau pulang sekolah biasanya aku sering main ke tempat itu, bermain bersama dengan beberapa anak.  Sedangkan bagian depan sekolahku berhadapan tepat dengan gedung tua peninggalan kolonial Belanda, konon gedung itu merupakan markas pasukan Belanda pada masa penjajahan di Indonesia.

Menurut cerita dari Pak Nana-satpam sekolah- gedung tersebut sangatlah angker, ia pernah mendengar suara dari jendela lantai tiga, suaranya seperti jeritan tangis seseorang. Awalnya aku tidak mempercayai hal itu, tetapi mendengar kisah Wisnu saat jam istirahat sekolah pikiranku menjadi berubah

“Kemarin aku mendengarnya dengan jelas, ada suara bayi menangis……...” Ucap Wisnu dengan penuh antusias menceritakan kejadian yang ia dapati kemarin tatkala ia melewati gedung tua itu. Rumah Wisnu memang tidak jauh dari lingkungan sekolahku, hanya dengan berjalan 5 menit.

Jika dilihat baik-baik gedung tua itu seperti memiliki aura tersendiri, membuat hatiku sering bertanya-tanya tentang isi di dalamnya. Pernah terpikir dalam benakku untuk masuk kedalam gedung itu, namun seringkali rasa takut dalam diri menghalangi keinginanku.

Hari itu, selepas pulang sekolah kira-kira pukul 15.30 aku hendak bertanya lebih dalam lagi kepada Wisnu tentang ceritanya mengenai gedung tersebut, tetapi ketika aku sudah sampai di depan gerbang sekolah, kudapati Wisnu sudah dijemput oleh ojeg jemputannya. Sirna sudah keinginanku untuk mengetahui cerita mengenai gedung tua itu. Namun, aku tidak tinggal diam, rasa penasaranku makin menjadi-jadi tatkala mataku tertuju kepada gedung tua itu.Kulihat dengan teliti gedung tua itu memiliki tiga tingkat, terdapat jendela di setiap tingkatnya, tampak jendela-jendela itu tertutup semua, namun ada satu jendela yang terbuka dan tepat berada di lantai tiga.

Lantas, jendela yang terbuka itu menggugah rasa penasaranku, aku terngiang kembali akan kesaksian Pak Nana tentang suara jeritan dari arah lantai tiga, hatiku benar-benar penasaran akan hal itu, ingin rasanya masuk kedalam gedung tua itu untuk mengetahui apa yang ada di sana. Di lain sisi aku juga merasa takut, aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku, karena setahuku, orang-orang di sekitar situ tidak pernah ada yang memasuki gedung tua tersebut.

Rasa penasaranku yang amat mendalam mengalahkan rasa takutku, tiba-tiba hatiku tergerak untuk melangkahkan kakiku menyebrangi jalan dan melangkah menuju gedung tua itu, perlahan aku melangkah sembari melihat ke arah kiri dan kanan jalan, pikiranku masih penasaran akan cerita dari Wisnu dan kesaksian dari Pak Nana. Perlahan aku berjalan sampai tibalah akhirnya dihadapan gedung tua yang sedari tadi aku tatap dari kejauhan. Aku berdiri dihadapan pintu besar yang menjulang tinggi ke atas, pintu yang terbuat dari besi yang tampak sudah berkarat dan agak sedikit terbuka “mungkin ini pintu masuknya” Pikirku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk kedalam, kulangkahkan kaki ku melewati pintu besar itu, aku sempat menoleh ke atas gedung sebelum masuk, terlihat jendela dilantai tiga masih tetap terbuka lebar.

Sesampainya di dalam gedung aku merasakan aura yang sangat luar biasa, aku berdiri tegak dengan kulit-kulit ari yang terasa kaku. Seluruh tubuhku merinding. Kepalaku tidak bisa diam, sulit sekali rasanya mengontrol kepalaku yang selalu menoleh ke setiap sudut gedung. Tembok-tembok disetiap sisi gedung berwarna hitam remang karena hanya diterangi oleh satu lampu besar di tengah-tengah atap gedung. Tidak ada satupun benda yang kudapati, namun di depan, di sudut depan ada sebuah tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai di atasnya.

Tanpa ragu aku langsung berjalan menuju tangga tersebut, ketika aku berjalan menuju tangga yang terbuat dari batu-bata itu, tiba-tiba ada suara di belakangku “Braaaaaaaak” bunyi itu bersumber dari pintu besar yang aku masuki. Pintu berat itu menutup seketika. Bunyinya yang mencekam membuat aku panik, dengan penuh ketakutan aku lari terbirit-birit menuju ke atas. Karena sangat panik, aku sampai tidak melihat sekelilingku. 

Aku berlari sekencang-kencangnya melewati lantai dua, kurasakan sekujur tubuhku penuh dengan keringat. Aku sempat mendengar bunyi seorang bayi menangis dari lantai dua. Bunyi itu semakin membuat diriku ketakutan. Dengan penuh rasa takut akhirnya sampailah aku dilantai paling atas. Aku ingin berlalari lagi, namun tidak ada satupun celah yang bisa kususuri, tidak ada satupun ruangan dilantai tiga.

Bunyi bayi yang menangis semakin terdengar jelas, aku benar-benar takut. Aku berusaha mencari celah untuk lari dan bersembunyi, namun tidak ada satupun ruang yang bisa kumasuki. Tetapi ada sebuah jendela tanpa tirai yang terbuka lebar. Tanpa beripikir panjang, aku segera menggerakan tubuhku berlari menuju kearah jendela tersebut dan aku melompat.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Nyut-nyut-nyut” kepalaku terasa sakit, berat.

Aku merasakan tubuhku lemas, terbaring di sebuah ranjang dengan selang di hidungku. Mataku tertutup rapat sehingga aku hanya bisa mengandalkan telingaku untuk mendengar. Sekilas ada pembicaraan antara dua wanita disamping ranjangku.

“Beri dia pengamanan yang ekstra, jangan biarkan dia kabur lagi dari tempat ini”

Hanya itu yang sempat aku dengar, segera setelah itu mereka kemudian keluar meninggalkanku sendiri di ruangan ini. Beberapa jam setelah itu, aku berusaha membuka mataku, dan upaya itu akhirnya berhasil, mataku akhirnya terbuka.

 Namun, kudapati sepucuk kertas di meja yang berada percis di samping ranjang 

“‘Bobi Septiano; Pengidap kelainan jiwa’”.  Sontak saja aku segera mengalihkan pandangan ke arah jendela yang ada dihadapanku dan aku melihat tulisan besar ‘Rumah Sakit Jiwa Darmawangsa’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun