Ada beberapa diantara kita yang mungkin disaat penat karena aktivitas kuliah ataupun bekerja akan memilih untuk pergi menonton film, konser, pertandingan sepak bola, atau tontonan apapun yang dianggap bisa menghilangkan kejenuhan. bahkan ada di antaranya tontonan yang kita ikuti disiarkan secara live dan exclusive di salah satu stasiun TV.Â
Tentunya untuk menonton pertunjukan tersebut mesti harus membeli tiket alias tidak gratis (hari gini gratisan, mau buang hajat aja bayar, he). Hal tersebut mungkin dianggap lumrah sesuai dengan pelayanan yang diperoleh dan tidak sedikit diantara kita yang akan bela-belain untuk menggelontorkan ratusan hingga jutaan fulus demi melihat artis idola atau menonton jenis hiburan yang disukai dan bisa menghilangkan rasa galau yang melanda (ceeiileeh yang galau^^).
Terus bagaimana jika ada tontontan yang ditawarkan secara gratis? Hmm, mungkin akan bejibun yang antre, tapi ini juga sebenarnya hal yang masih biasa. Dalam kenyataannya, ada loh tontonan yang tidak biasa dan saat ini menjadi fenomena yang cukup hits di zaman now. Ketika kita menonton bukannya harus bayar tapi malah dibayar, atau yang dikenal dengan penonton bayaran.Â
Hal tersebut juga penulis rasakan dan finally menjadi salah satu bagian dari mereka, walaupun awalnya cuman sekedar ingin menghilangkan kejenuhan dari padatnya aktivitas perkuliahan (nyari alasan aja nih, he). Hal itu penulis alami dan rasakan sendiri bagaimana sensasi, suka dan duka menjadi penonton bayaran selama dua kali di pertunjukan The Amazing Magicians yang diliput pada tanggal 13 November dan 29 November 2017 berlokasi di Jiangsu Nanjing Broadcast Television Tower.
Asal muasal penulis terjerumus saat ada ajakan dari teman mahasiswa Indonesia yang juga menempuh pendidikan di Kota Nanjing, sebut saja inisialnya z.u.l.v.a.n, (Ups.. ketahuan yak, he) dia mengabari plus mensugesti (kayak dihipnosis aja^^) bahwa ada tawaran khusus bagi para mahasiswa internasional untuk menonton pertunjukan sulap dengan menghadirkan para magician dari berbagai belahan dunia, seperti; Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Tiongkok sebagai tuan rumah, bahkan Indonesia pun tak mau ketinggalan.Â
Waktu itu sang ilusionis Indonesia "Demian" tampil untuk ikut berkompetisi. Selain para pesulap, pertunjukan tersebut juga dihadiri oleh para artis ternama negeri tirai bambu sebagai dewan juri kompetisi sulap tersebut. Salah satu diantaranya yang cukup terkenal yaitu; Fan Bingbing, ketenarannya mungkin bisa disejajarkan dengan Raisa sebagai public figure di Indonesia (Subjektivitas penulis aja ini^^).
Menonton pertunjukan yang menghadirkan berbagai suguhan acara sulap yang menarik tersebut tentunya secara gratis.. tis.. tis, bahkan tak berhenti disitu, bagi para mahasiswa yang hadir akan mendapat pelayanan transportasi, makan siang dan malam, dan tak lupa uang saku yang akan diberikan oleh panitia di akhir acara. Â
Bahwa ternyata hampir disetiap kali acara tersebut berlangsung, dari puluhan hingga ratusan penonton khususnya penonton lokal yang berjejer di bangku sekitar stage acara, pasti ada orang yang sama di setiap perlehatan acara (batang hidungnya nongol lagi, he). Setelah mencoba menelusuri dan sedikit kepo dengan mencoba mengubek informasi dari panitia.Â
Ditemukan data dan fakta bahwa mereka ternyata adalah the real penonton bayaran yang menjadikan aktivitas yang menggiurkan ini sebagai ladang mencari nafkah alias sebagai sebuah profesi, sedangkan penulis dan beberapa teman mahasiswa yang hadir hanya sebagai penonton abal-abal untuk refreshing dari kejenuhan di kampus dan sekedar nambah uang saku (aji mumpung^^). Â Â Â
Jika dibandingkan di Indonesia, tidak sedikit orang yang memandang sebelah mata terhadap profesi ini. Tentunya sering kita dengar profesi ini sering dijadikan bahan cibiran, olokan, dan representasi dari potret anak alay cuci-cuci, jemur-jemur yang dianggap cenderung memalukan. Sedangkan di negeri Tiongkok, persepsi yang muncul bahwa profesi ini adalah hal yang tak hanya menarik tetapi juga menguntungkan.Â
Mungkin karena karakter orang Tiongkok juga yang sangat apatis dengan lingkungan. Dalam pandangan mereka "Terserah loe mau kata apa, bego amat, yang penting gua hepi and bisa dapat uang banyak". Tidak heran, penonton bayaran yang ada di Tiongkok tidak hanya diminati oleh para remaja alay saja tetapi kaum yang sudah berumur (baca; usia tua) pun juga ikut mencicipi tawaran menjadi penonton bayaran.Â
Sewaktu penulis menonton pertunjukan sulap, nampak ada rombongan ibu-ibu yang juga adalah para penonton bayaran.
Untuk menjadi penonton bayaran, mungkin ritme dan beban kerja terdengar sederhana dan santai, tapi ternyata ada kewajiban yang mesti dipenuhi. Para penonton bayaran harus hadir tepat waktu, tidak boleh meninggalkan tempat selama acara berlangsung, terus dituntut untuk pintar berakting dan berekspresi sesuai dengan suasana acara saat itu.Â
Seperti misalnya tertawa keras saat pembawa acara melucu, ekspresi berpikir saat menekan alat voting, tercengang saat ada pertunjukan yang mendebarkan, dan tidak membuat kegaduhan jika tidak diminta. Pokoknya harus mampu memeriahkan acara sesuai dengan petunjuk dari tim kreatif, selain itu mereka juga dilarang tidur, berfoto, dan bermain HandPhone selama acara berlangsung. Jika pun tetap ngebet mengabadikan foto dan ingin bermain HP mesti dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H