Mohon tunggu...
Shitasatoe Soeripto
Shitasatoe Soeripto Mohon Tunggu... -

mengajar dan menulis, punya usaha sendiri. Suka baca, travelling dan makan.Ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deuxième: La Mystérieuse Maison (5)

9 Februari 2012   05:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:52 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak berbaring di tempat tidur lalu ke ruang tengah mengambil semua buku-buku tua yang kami temukan dan membawanya kembali ke kamar tidur dan terbaring bermasalasan di sana. Namun aku seperti merasa sepasang mata selalu mengawasi gerak-gerikku, yang tak jauh dari tempatku diam. Adakah perawan dalam bingkai foto itu? Matanya yang begitu hidup seolah bicara padaku dan bertanya, “Siapa kau berani menempati kamarku tanpa ijin?” Tapi itu pasti gila tak mungkin lukisan bicara.

Satu buku kuambil dari tumpukan paling bawah. Sedikit berdebu. Kubuka halaman pertama. Tulisannya rapi dan klasik, khas hasil didikan sekolah Belanda.

3 Agustus 1911.

Akhirnya aku tahu kini! Gadis cantik itu bernama BRAy Prabarini. Nama yang cantik, secantik orangnya. Semoga ia tak bernasib semalang istri Raja Kediri pada akhirnya. Aku menyukainya saat pertama, dan yang pasti ia dari golongan ningrat kelas atas, keluarga terhormat yang sedang menghadapi masa bangkrut akibat usaha batik yang menyuram. Aku harus mengenalnya.

8 Agustus 1911.

Aku rasa ia juga menyukaiku. Aku beberapa kali menangkap basah saat ia berusaha mencuri pandang. Bukankah aku memang tampan? Semua gadis tahu itu.

23 Agustus 1911

Keluarganya menerimaku dengan hangat. Tak seorang pun bisa menolak menantu bermasa depan cerah kurasa. Begitupun mereka. Sisa-sisa kejayaan itu masih ada, tapi kesuraman ekonomi yang melingkupinya pun tampak nyata. Baru kutahu, ternyata tak semua ningrat pun kaya. Tapi mereka, terbugkus keanggunan yang sempurna dalam menutupi ketakberdayaannya. Aku membuka lembaran buku itu satu demi satu dan menemukan satu foto hitam putih terselip di antaranya. Foto Sukresno bersama Prabarini kurasa. Perempuan itu memang cantik jelita meski terlihat polos tanpa riasan. Berkebaya kutubaru warna terang berdiri sejajar dengan Sukresno yang terlihat tampan dalam balutan jas abu-abu lengkap dengan dasi, sepatu licin mengkilat dan topi fedora. Lelaki flamboyan. Begitupun keluarganya yang ikut berfoto di belakangnya. Semua necis dan perlente. Beberapa lelakinya masih setia berbusana surjan dan memakai blangkon.

12 November 1911

Hari ini kami bertunangan, membawa semua perlengkapan terbaik untuk calon istriku yang cantik dan lembut. Bisa kulihat mulut mereka menganga dengan yang kami bawa. Tentu, anak tunggal Ngabehi Joyo Dokromo takkan membawa sembarang buah tangan. Semua keluarganya menunduk takzim kala bersalaman. Ku rasa aku telah membeli mereka dengan segala yang kupunya. Menyenangkan rasanya bukan menjadi seorang yang terpinggirkan. Aku bisa melihat tatapan tak tulus anggota keluargaku atas semua kejayaan yang kami miliki.

7 Januari 1912.

Tak sabar menunggu malam pengantin kami. Semua perlengkapan pesta tengah dipersiapkan. Dan calon istriku yang membuat semua lelaki di keluargaku memandang iri, tengah diruwat dan dirawat agar memancar kecantikannya di hari pernikahan kami. Sayang, aku tak bisa melihatnya beberapa hari ini padahal aku merindukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun