Mohon tunggu...
Shitasatoe Soeripto
Shitasatoe Soeripto Mohon Tunggu... -

mengajar dan menulis, punya usaha sendiri. Suka baca, travelling dan makan.Ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

La première :Le Ciel Couve Par un Millier d'étoiles Magnifiques (1)

22 November 2011   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:21 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit gelap pekat melatari ratusan ribu bintang yang bersinar terang berkelipan memanja mata. Sebentang angkasa terhampar hanya kejora yang meraja. Kelip itu memukauku, membawaku tenggelam pada perasaan tenang. Selalu begitu, aku terendam dalam pesona bintang tiap galau meraja atau saat bahagia sedang menggumuli hati. Melihat bintang di angkasa sebersih ini yang hampa polusi adalah sebuah kemewahan yang selalu dengan sepenuh hati kuhayati. Bintang yang selalu membuatku tenang, mengingatkan betapa maha kuasa tuhan, sementara aku hanya sebutir debu yang bisa terhapus begitu saja tanpa jejak, tanpa ada yang menyadari kehilanganku.

Debur ombak yang tenang tetap mengalun di tengah malam , di antara udara pantai yang semilir menerawang aroma pantai melekati hidung dan mencumbui kulit terbukaku. Udara bersih, malam yang  hening dan hati yang bergejolak. Dia di dekatku, hanya diam namun terus menatap. Aku merasa itu, namun tak berusaha menoleh, memberi tanda permisi baginya untuk mendekati.

"Ini sudah malam..... aku rasa sudah waktunya bagimu tidur.."Akhirnya tak tahan ia membuka pembicaraan.

"Aku bukan Cinderella, tak ada yang melarangku berkeliaran hingga pagi menjelang."

"Kau selalu begitu. Tak bisakah sedikit bersikap hangat padaku? Donna Madonna...sulitnya bicara padamu.."

"Tidak juga..aku hanya tak suka kau mengusik kenikmatanku..." kataku sedikit berbisik dengan tetap menengadah menatap langit. Seolah aku takut ribuan bintang itu akan mendengar suara kami lalu lari berhamburan menyembunyikan diri.

"Tak baik seorang perempuan sendirian di pinggir pantai sunyi begini...nanti ada tangan jahat yang tergoda menyakiti.." Dia ikut berbisik seolah tahu ketakutanku, atau mungkin sengaja berbisik agar punya alasan untuk makin mendekatkan dirinya merapatiku. Aku diam tak bereaksi, selama kulitnya tak menyentuhku, aku masih bisa terima ruang gerak yang diciptakannya.

"Tak seorang pun akan berani mengusikku Tuan. Mereka tahu siapa aku di sini...Dan pekerja masih lal lalang di seberang sana...takkah kau lihat kedatanganmu justru membuat mereka berpikir yang bukan-bukan tentang kita?"

"Aku memang menyukaimu, apa salahnya mereka tahu? No problem. Tak seorang pun akan keberatan bukan?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun