Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Lainnya - Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menolong Hikikomori Move On

31 Agustus 2024   00:40 Diperbarui: 31 Agustus 2024   08:35 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku hikikomori disarankan minimal bekerja seminggu sekali sebagai upaya pemulihan mereka. (Foto: YT Java Discover)

Hikikomori. Istilah dalam bahasa Jepang ini tidak asing lagi bagi sebagian orang seiring dengan banyaknya media yang mengangkat fenomena ini. Hiki artinya "menarik diri" dan komori artinya "berada di dalam". Hikikomori merujuk pada orang-orang yang menarik diri dari masyarakat. 

Sebelumnya penulis pun mengetahui hanya sedikit dan sekilas tentang istilah ini, di mana hikikomori dikaitkan dengan gaya hidup menyendiri atau mengisolasi diri secara sadar dan sengaja. 

Setelah menonton dokumenter NHK yang ditayangkan tahun 2021 dengan judul "Dying out of sight, Hikikomori in aging Japan", penulis menyadari hikikomori bukanlah sekedar gaya hidup yang tidak mau berinteraksi secara sosial

Pelaku hikikomori disebut hermit atau pertapa modern. Namun penulis tidak setuju dengan istilah ini, karena pelaku hikikomori tidak mempunyai tujuan dan motif spiritual apapun dengan melakukan hikikomori. 

Apa yang ada di balik hikikomori sesungguhnya sangat kompleks. Jika Anda senang menyendiri, menyenangi kesunyian, itu belum dapat dikatakan hikikomori. Hikikomori juga bukan mengasingkan diri untuk mendapatkan ketenangan. 

Hikikomori adalah penarikan diri dengan level ekstrim dari kehidupan sosial. Pelakunya menarik diri secara total dari masyarakat. Selain tidak bekerja, mereka juga mengisolasi diri dalam rumah atau kamar. Mereka juga menolak berdialog dengan orang yang serumah dengan mereka. 

Pada kasus yang ekstrim, ada yang menggunakan botol untuk buang air untuk menghindari keluar dari ruangan dan hanya makan dari baki makanan yang dihantarkan ke ruangannya. Beberapa disediakan makanannya di luar ruangan dan mereka hanya keluar untuk makan dan urusan toilet. 

Kriteria Hikikomori

Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mendefinisikan hikikomori sebagai kondisi yang mempengaruhi seseorang sehingga ia menolak untuk meninggalkan rumah orang tuanya, tidak mau bersekolah, dan mengisolasi diri dari keluarga dan lingkungan sosial selama periode lebih dari enam bulan. 

Psikiater Tamaki Saito mendefinisikan hikikomori sebagai kondisi bermasalah yang muncul di usia 20-an akhir, di mana seseorang mengurung diri dan tidak berpartisipasi secara sosial selama enam bulan atau lebih, namun tampaknya tidak memiliki kondisi psikologis lain sebagai penyebab utamanya. 

Para peneliti psikologi klinis memiliki beberapa kriteria spesifik untuk mengidentifikasi prilaku hikikomori secara lebih akurat, antara lain dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya atau hampir setiap hari mengurung diri di rumah; apakah seseorang secara nyata menghindari kondisi dan hubungan sosial; apakah ada gejala-gejala penarikan diri secara sosial yang menyebabkan gangguan fungsional yang bermakna; apakah penarikan diri berlangsung selama lebih dari enam bulan; dan tidak ada penyebab fisik dan mental lain yang mengakibatkan gejala-gejala penarikan diri secara sosial. 

Para pelaku hikikomori dipastikan sebelumnya tidak mempunyai gangguan seperti cacat mental, penyakit skizofrenia, ataupun bipolar. 

Hikikomori yang ekstrim dapat terjadi sejak usia sekolah, di mana ia menolak untuk bersekolah (futoko atau tokokyohi). Perlu kita ketahui prilaku ini terjadi secara bertahap atau gradual. 

Beberapa hikikomori menyukai aktivitas di dalam ruangan, beberapa sesekali beraktivitas di luar ruangan. Penarikan diri dari masyarakat terjadi bertahap. 

Penarikan diri ini juga secara bertahap membuat mereka menjadi tidak bahagia karena mereka kehilangan teman, merasa tidak percaya diri, menjadi pemalu, dan kemudian semakin sedikit berbicara. 

Hikikomori (Foto:YT Immortality)
Hikikomori (Foto:YT Immortality)
Fenomena negara modern

Hikikomori tentunya tidak hanya terjadi di Jepang, walaupun Jepang mempunyai istilah khusus untuk orang-orang ini. Hikikomori memang cenderung ditemukan di kota-kota besar, tentunya juga di Indonesia. Hanya kita belum mempunyai data mengenai hal ini. Fenomena ini juga diketahui menyebar ke negara-negara dengan konektivitas digital global, termasuk Amerika Serikat, China, India, Brazil, dan negara-negara Eropa. 

Sebuah survei di Jepang pada tahun 2022 menemukan ada sekitar 1,46 juta orang yang menyendiri di Jepang dengan rentang usia 15-64 tahun. Survei sebelumnya di tahun 2019 mengindikasikan ada 613.000 orang dewasa Jepang usia 40-64 tahun adalah hikikomori dewasa.  

Pelaku hikikomori diketahui kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah dan menengah ke atas. Orang-orang tua terpaksa mendukung secara finansial anaknya yang melakukan hikikomori. 

Sejak akhir tahun 2010 ada istilah "80-50 problem" di media Jepang, di mana anak yang melakukan hikikomori sejak usia mudanya telah memasuki usia 50-an, dan orang tua di mana mereka bergantung hidup memasuki usia 80-an. Hikikomori ini akhirnya akan menjadi masalah sosial. Uang pensiun orang tua yang selayaknya digunakan untuk kehidupan mereka sendiri akhirnya harus digunakan untuk menghidupi anak mereka yang tidak lagi bekerja.

Pelaku hikikomori biasanya akan tidak lagi memperhatikan kesehatan dan usia harapan hidup mereka pun menjadi menurun. Mereka biasanya makan makanan instan yang tidak sehat. Mereka kemudian sering kali ditemukan meninggal karena sudah tidak mampu lagi memasak atau membeli makanan untuk diri sendiri. 

Selain menjadi beban keluarga, masalah sosial lain karena hikikomori adalah ketika mereka ditemukan telah meninggal dalam keadaan sendiri karena tidak sempat meminta bantuan. Hal ini karena kesehatan mereka biasanya semakin menurun setelah orang tua atau orang-orang yang masih mendukung mereka meninggal atau pergi. 

Di Jepang pada tahun 2019, diketahui ada 72 orang pelaku hikikomori yang dilaporkan meninggal dan sebelumnya mereka menolak bantuan dari pekerja sosial setempat yang mengunjungi dan menawarkan bantuan kepada mereka. 

Bukan soal kemalasan

Mungkin kita berpikir mereka adalah orang-orang yang malas. Namun investigasi mendalam akan fenomena ini memperlihatkan bahwa hikikomori bukanlah soal kemalasan. 

Dari dokumenter NHK, diketahui pelaku hikikomori hampir semuanya pernah bekerja. Salah seorang hikikomori yang telah meninggal sempat mempunyai beberapa pekerjaan sebelum kemudian memutuskan hidup mengisolasi diri. Bahkan banyak di antaranya sebelumnya adalah pekerja keras. 

Sang kakak mengetahui dari beberapa catatan dan tulisan di rumah adiknya yang telah meninggal tersebut bahwa sang adik telah berusaha keras dan serius selama masa ia bekerja. Namun pekerjaan 'sales' yang dijalaninya tampaknya tidak sesuai dengan jiwa sang adik, yang kemudian berpindah pekerjaan menjadi petugas rekam medis kesehatan. Namun pekerjaan barunya dengan jam kerja yang panjang membuat kesehatan adiknya itu terganggu sehingga tidak dapat lagi bekerja. 

Pelaku hikikomori lainnya adalah seorang yang tadinya pernah bekerja bahkan pernah melakukan perjalanan internasional ke luar negeri, sebelum kemudian berhenti bekerja karena sakit. Setelah empat dekade mengisolasi diri, ia meninggal dan di rumahnya ditemukan makanan terakhirnya adalah nasi dengan taburan bumbu instan. Ia meninggal tidak lama setelah ibu yang merawatnya meninggal. Diduga selama lima hingga sepuluh hari, ia tidak makan apapun. 

Tekanan hidup dan rasa rendah diri

Dari beberapa kesaksian mereka yang melakukan hikikomori dan masih hidup dari dokumenter ini, dapat disimpulkan orang-orang yang melakukan hikikomori memiliki semangat hidup yang rendah karena berbagai faktor. 

Tidaklah heran mereka pun rentan dengan perilaku bunuh diri. Perasaan tidak berharga dan merasa lelah dengan hidup membuat mereka memikirkan ide bunuh diri. 

Sesungguhnya mereka rindu untuk bisa berinteraksi dengan orang lain, namun mereka membutuhkan keberanian luar biasa untuk hal tersebut. Hal ini diketahui dari salah satu surat yang ditulis oleh pelaku hikikomori yang ditemukan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. 

Sulit bagi pelaku hikikomori untuk menemukan seorang teman di mana mereka dapat berbicara. Seorang pekerja sosial yang pernah berinteraksi dengan pelaku hikikomori yang sudah meninggal ini mengatakan mereka butuh seseorang yang dapat menerima mereka. 

Sang kakak dalam wawancara dokumenter mengatakan adiknya yang melakukan hikikomori tidak pernah mendapat pujian dari masyarakat dan tidak pernah membangun keluarganya sendiri. 

Fenomena hikikomori ini menegaskan bahwa betapa manusia merasa berharga bila mempunyai kontribusi yang nyata dalam masyarakat. 

Pelaku hikikomori diketahui meningkat tajam di Jepang setelah pandemi Covid-19 pada akhir tahun 2020 yang lalu. Banyak orang kehilangan pekerjaannya. Kehilangan penghasilan dan aktivitas, mereka juga kehilangan makna hidup. 

Salah satu fakta yang terang benderang adalah kebanyakan pelaku hikikomori adalah pria. Hal ini menegaskan pekerjaan adalah salah satu aspek yang utama dalam kehidupan seorang pria. Pekerjaan memang adalah bukti eksistensi bagi banyak orang, khususnya kaum pria. 

Hikikomori adalah masalah yang serius. Butuh orang-orang yang mempunyai hati untuk menjangkau mereka. Para pekerja sosial di negara-negara maju seperti Jepang, beberapa negara Eropa dan Singapura telah mempunyai perhatian khusus kepada mereka yang tinggal seorang diri karena faktor keadaan ataupun mereka yang sengaja melakukan hikikomori. 

Dugaan penyebab psikologis

Dilansir dari Psychology Today, menurut sebuah studi klinis tahun 2023 yang dipublikasi di Clinical Child and Family Psychological Review, hikikomori disebabkan oleh berbagai faktor. 

Faktor pemicu hikikomori antara lain kondisi psikis seseorang, kepribadian yang maladaptif (sulit atau tidak dapat beradaptasi), kondisi keluarga termasuk pola asuh yang merusak, pengalaman pertemanan yang negatif, tekanan sosial, dan penggunaan media digital dan internet yang berlebihan. 

Secara psikologis, hikikomori disebut mirip dengan perilaku menarik diri secara sosial pada individu dengan gangguan spektrum autisme. Hal ini membuat beberapa psikiater berpikir hikikomori mungkin dipengaruhi oleh kondisi spektrum autisme tertentu dan gangguan lain yang mempengaruhi integrasi sosial. 

Suwa dan Hara (2007) menemukan bahwa 5 dari 27 kasus hikikomori memiliki gangguan perkembangan yang disebut high-functioning pervasive developmental disorder (HPDD); 12 kasus memiliki gangguan atau penyakit mental lainnya yaitu 6 kasus gangguan kepribadian, 3 kasus gangguan obsesif-kompulsif, 2 kasus depresi, dan 1 kasus gangguan intelektual ringan; dan 10 adalah kasus hikikomori primer. 

Peneliti tersebut menggunakan suatu skema untuk membedakan hikikomori primer (tanpa gangguan mental yang jelas) dan hikikomori dengan HPPD dan gangguan lainnya. 

Beberapa ciri orang dewasa dengan HPPD antara lain kelemahan dalam kemampuan sosial dan komunikasi baik verbal maupun non-verbal (misalnya kontak mata), kelemahan perkembangan dalam hubungan pertemanan yang normal, adanya ketertarikan spesifik yang abnormal secara intensitas ataupun fokus misalnya pada aktivitas rutin tertentu dan atau perilaku motorik yang berulang, dan disfungsi dalam kehidupan sosial atau pekerjaan. 

Perlu diketahui HPDD dapat digolongkan menjadi gangguan autistik atau gangguan Asperger. Kedua kategori ini dibedakan apakah perkembangan kemampuan berbahasa seseorang terganggu atau tidak. Secara skor IQ, HPDD dapat dibagi menjadi "high functioning"(IQ di atas atau sama dengan 70), dan “low functioning” (IQ di bawah 70).

Mereka yang melakukan hikikomori setelah kehilangan pekerjaan atau berhenti bekerja, bukan karena adanya gangguan mental, digolongkan sebagai hikikomori primer. Contoh lain adalah remaja yang melakukan hikikomori setelah mendapat perundungan dari lingkungannya. 

Peneliti lain (Alan Teo dan rekan) melakukan evaluasi diagnostik yang detil pada 22 orang prilaku hikikomori dan menemukan kebanyakan memenuhi kriteria kondisi psikis yang beragam, 1 dari 5 kasus adalah hikikomori primer. 

Hingga saat ini, hikikomori belum dimasukkan dalam panduan diagnosis untuk gangguan mental DSM-5. Berdasarkan hal ini juga kita memberi perhatian lebih tentunya untuk penanganan dan pencegahan hikikomori primer. Namun kita memang perlu mengetahui bahwa faktor-faktor gangguan kepribadian juga tentunya mempunyai peranan pada beberapa individu. 

Menurut penulis buku 'Shutting Out the Sun: How Japan Created Its Own Lost Generation', Michael Zielenziger, sindrom hikikomori ini lebih berhubungan erat dengan gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder). Zielenziger mengatakan pelaku hikikomori yang ia wawancara untuk buku tersebut mengatakan telah menemukan cara berpikir 'mandiri' dan 'rasa diri' yang tidak dapat diakomodasi oleh lingkungan Jepang saat ini. 

Sindrom hikikomori juga disebut erat dengan gangguan kepribadian 'avoidant' (penghindar), gangguan kepribadian skizoid, gangguan kepribadian skizotipikal, agorafobia atau gangguan kecemasan sosial. 

Dugaan faktor sosial pendukung hikikomori

Sebagai salah satu permasalahan sosial, ada kemungkinan beberapa faktor sosial yang menyebabkan dan mendukung hikikomori. Salah satunya adalah kemakmuran pasca masyarakat industrial yang memungkinkan orang tua menopang anak-anaknya di rumah saja tanpa harus bekerja. Keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah tidak memungkinkan melakukan hal ini karena anak-anak muda secara sosial biasanya akan dipaksa untuk bekerja di luar rumah. 

Pola pengasuhan adalah faktor lain yang diduga mendukung fenomena ini. Ketidakmampuan orang tua untuk mengenali dan bertindak kepada anak yang menunjukkan perilaku mengisolasi diri, soft parenting, dan adanya pola kodependensi antara anak laki-laki dan ibunya (amae), menjadi faktor yang mendukung hikikomori. 

Sistem pendidikan, perumahan, dan ekonomi suatu negara juga dapat berdampak pada perilaku hikikomori. Ekspektasi sosial yang menitikberatkan pada peran khususnya anak laki-laki yang telah dewasa, anak tertua, dengan kelas sosial menengah hingga atas, dapat membuat kecenderungan prilaku ini, khususnya bila mereka mengalami sebuah atau beberapa kejadian traumatis yang berkaitan dengan kegagalan akademis ataupun sosial. 

Anak-anak muda yang mengalami kewalahan memenuhi ekspektasi peran sosial ini tidak mempunyai rumusan rasa dan keinginan diri pribadi yang sejati (honne) dan aktualisasinya di publik (tatemae) yang diperlukan untuk menghadapi banyak paradoks dalam kehidupan manusia di masa dewasa.  

Hikikomori terkait utamanya pada perubahan ke masa dewasa yang dipenuhi dengan berbagai tanggung jawab dan ekspektasi. 

Ada indikasi negara modern seperti Jepang gagal memberikan suasana lingkungan yang bermakna untuk beberapa anak-anak muda dengan kondisi psikologis yang rentan dalam masa perubahan menuju perannya sebagai orang dewasa yang matang. 

Seperti kebanyakan masyarakat, Jepang memberikan tekanan yang besar pada orang mudanya untuk sukses dan mempertahankan status kuo sosial yang ada. 

Secara historis, ajaran Konfusianisme di sebagian besar Asia Timur, yang tidak menekankan individualis dan lebih mengutamakan sikap konformis untuk memastikan keharmonisan sosial masyarakat yang sangat hierarkis, mungkin menjelaskan munculnya fenomena hikikomori. 

Setelah tamat kuliah, anak-anak muda juga menghadapi realita sulitnya mencari pekerjaan dan sering kali hanya dapat melakukan pekerjaan paruh waktu dan pada akhirnya hanya memiliki penghasilan yang sedikit sehingga tidak mampu untuk membentuk keluarga. Hal ini menjadi tekanan mental tersendiri yang mendorong perilaku hikikomori. 

Belum lagi faktor tekanan dari sesama kolega atau teman berupa perundungan terkait fisik, ekonomi, ataupun pendidikan, dapat berkontribusi pada perilaku seseorang yang mengisolasi dirinya. 

Masalah keluarga seperti perceraian, orang tua yang meninggal juga dapat menjadi pemicu seseorang mengisolasi diri. 

Pertolongan untuk hikikomori

Mengenal hikikomori ini tentunya bukan hanya sekedar pengetahuan bagi kita. Hikikomori adalah masalah sosial yang sedapat mungkin dicegah. Edukasi akan hal ini akan memberikan petunjuk yang lebih tepat sasaran dalam menghadapi orang-orang yang melakukan hikikomori maupun orang yang memiliki kecenderungan demikian. 

Dilansir dari Psychology Today, sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan di jurnal Frontiers of Psychology menyatakan hikikomori terutama menyangkut hubungan interpersonal seseorang dan individunya juga menampilkan faktor risiko bunuh diri. Penelitian lainnya menunjukkan hikikomori erat kaitannya dengan perasaan tidak berdaya, terutama trauma karena pengalaman masa lalu yang terkait dengan kegagalan dan rasa cemas menghadapi tantangan di masa depan.

Tidak dapat dipungkiri hikikomori berkaitan erat dengan penghargaan kepada diri sendiri sebagaimana hasil investigasi dokumenter NHK di atas. Pelaku dipastikan kehilangan semangat hidup karena kehilangan pekerjaan ataupun tidak dapat bekerja karena berbagai faktor.

Dibutuhkan pengertian, empati, dan dukungan untuk menolong pelaku hikikomori. Ketakutan untuk dihakimi oleh orang lain diakui oleh beberapa hikikomori. Mereka takut akan mengecewakan orang lain dan melihat hal tersebut sebagai kegagalan. 

Membangun kepercayaan adalah langkah utama untuk menjangkau mereka. Mendengarkan dan mengakui cerita pengalaman mereka yang tidak menyenangkan tanpa memberi nasihat atau menghakimi akan membuat mereka lebih membuka diri dan mau berkomunikasi. 

Beberapa pelaku hikikomori mengatakan kesendirian lebih tidak menyakitkan daripada harus berurusan dengan orang lain. Mereka mengalami kelelahan dalam interaksi sosialnya karena pengalaman negatif yang dialami.

Perlu diketahui, tidak semua hikikomori menolak untuk diterapi. Mereka sebenarnya mencari pertolongan namun tidak tahu bagaimana mengaksesnya dan mempertanyakan kemampuan mereka sendiri untuk melakukannya. Dengan mengetahui alam pikiran orang-orang ini, kita dapat mempunyai empati terhadap mereka. 

Bila keluarga maupun diri sendiri menyadari ada kecenderungan hikikomori, sebaiknya keluarga maupun diri sendiri mendorong untuk lebih aktif untuk menyibukkan diri dengan aktivitas apapun, dan bukan dijauhi. Komunikasi diusahakan jangan sampai terputus. Pembicaraan yang sederhana sehari-hari sebaiknya dipertahankan. 

Mendorong seorang hikikomori untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial harus dilakukan bertahap. Mereka lebih mudah diajak bersosialisasi melalui komunitas on line, mengikuti pertemuan yang dilakukan secara virtual, atau melakukan  aktivitas luar yang berhubungan dengan minat mereka.

Support group hikikomori beraktivitas bersama. (Foto: YT Immortality)
Support group hikikomori beraktivitas bersama. (Foto: YT Immortality)
Support group adalah salah satu solusi yang baik, karena tidak hanya mendukung pelaku juga keluarga yang sudah putus asa menghadapi perilaku hikikomori. 

Seorang pelaku hikikomori yang mengalami pelecehan seksual ketika dirinya berusia 12 tahun mengatakan dirinya merasa bebas ketika mengisolasi diri karena ia merasa tidak perlu menjelaskan tentang dirinya. Ia merasa lelah harus bersosialisasi, walaupun pada akhirnya ia mengakui secara perlahan hikikomori juga membuatnya menderita.

Ia kemudian membuat halaman Hikikomori Prancis yang membuat sesama hikikomori dapat saling menolong satu sama lain. Dari halaman grup ini diketahui hikikomori bukanlah  pilihan seseorang, namun lebih kepada tempat berlindung, pelarian, dan penghindaran dari sesuatu. 

Perlu berhati-hati mendorong mereka untuk masuk dalam kelompok sosial tertentu. Lingkungan pertemanan yang toksik malah akan membuat mereka semakin berniat untuk mengisolasi diri. Lebih baik hanya ada satu dua orang ataupun kelompok kecil yang memberikan dukungan kepada mereka daripada memaksakan mereka untuk terlibat dalam komunitas tertentu dengan anggota yang banyak. 

Di beberapa negara, terdapat komunitas yang menolong menghubungkan individu hikikomori satu sama lain. Mereka membuat kelompok untuk dapat saling mendukung. Grup juga dibuat untuk terapi dan mereka melakukan aktivitas bersama untuk menumbuhkan rasa saling memiliki dan mengurangi keinginan untuk mengisolasi diri. 

Di Prancis, rumah sakit Sainte Anne yang bergerak khusus di bidang psikiatri dan saraf memiliki tim medis yang dilatih untuk menolong mereka yang melakukan hikikomori. Pasien hikikomori akan dirawat dalam jangka waktu tertentu dan mendapatkan konseling tiga hingga empat kali dalam seminggu. Mereka juga diharuskan melakukan aktivitas seperti sarapan bersama dengan pasien lainnya untuk menjaga dan mendorong mereka tetap memiliki interaksi dengan manusia lain. Hal ini tentunya terjadi secara bertahap. 

Perawatan di rumah sakit dapat membantu karena pelaku hikikomori dipaksa keluar dari lingkungan keluarganya sehari-hari di mana ia mengurung diri. Pelaku juga dipaksa untuk berhenti dari kegiatan menggunakan komputer yang menjadi pelariannya sehari-hari. Perawatan di rumah sakit adalah salah satu opsi yang memberi harapan. 

Di rumah sakit, mereka juga bermain permainan tertentu dengan pasien lain yang direhabilitasi dan aktivitas tersebut telah membantu beberapa pelaku hikikomori dalam membangun koneksi sosial. Terkadang mereka juga merasa berguna karena dapat membantu orang lain. Interaksi dengan orang lain di rumah sakit membantu mereka untuk mendapatkan kepercayaan diri kembali. 

RS Sainte-Anne di Paris yang mempunyai spesialisasi di bidang psikiatri, saraf, bedah saraf, neuroimaging, dan kecanduan. (Foto: YT Java Discover)
RS Sainte-Anne di Paris yang mempunyai spesialisasi di bidang psikiatri, saraf, bedah saraf, neuroimaging, dan kecanduan. (Foto: YT Java Discover)
Kelompok atau grup support yang dikelola dengan baik juga dapat melakukan berbagai pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota-anggotanya untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian praktis yang bermanfaat bagi hidup sehari-hari, seperti self-care, manajemen waktu, dan membangun kepercayaan diri. 

Dilansir dari kanal Youtube Java Discover dengan judul "Japan's Most Extreme Social Recluses; Hikikomori in their Personal Prison", terdapat sebuah organisasi di Jepang yang membangun rumah untuk dihuni oleh beberapa orang hikikomori yang menjalani terapi. Mereka tinggal bersama dan belajar hidup bersama. Setiap malam, tiga orang bekerja sama untuk memasak dan menyediakan makanan untuk kemudian disantap oleh seluruh penghuni rumah bersama-sama. 

Ide menyediakan makanan untuk dapat dinikmati bersama ini dapat dicontoh bukan? Organisasi ini juga menyarankan anak-anak muda hikikomori untuk bekerja minimal seminggu sekali, biasanya mereka membantu pekerjaan di restoran-restoran dan toko pembuat roti. 

Seorang pelaku hikikomori mengaku kondisinya membaik setelah 2 bulan menjalani terapi seperti yang dirancang oleh organisasi ini. Ia mengaku sudah tidak merasa cemas harus ke supermarket sendirian dan dapat merasa senang pergi ke luar untuk berbelanja. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk secara bertahap terus membuat perkembangan diri. 

Pelaku hikikomori disarankan minimal bekerja seminggu sekali sebagai upaya pemulihan mereka. (Foto: YT Java Discover)
Pelaku hikikomori disarankan minimal bekerja seminggu sekali sebagai upaya pemulihan mereka. (Foto: YT Java Discover)
Mendukung individu dengan hikikomori membutuhkan kesabaran dan komitmen untuk kesembuhan jangka panjang. Mereka perlu dibantu dalam membangun perasaan berharga dalam diri mereka. Isu harga diri yang rendah ini perlu dibantu untuk diselesaikan. 

Pendekatan yang dilakukan juga sifatnya beragam dan individual, tergantung pada penyebab seseorang melakukan hikikomori. Bantuan profesional diperlukan bila yang bersangkutan juga memiliki isu kesehatan mental seperti depresi dan gangguan cemas. 

Konflik keluarga kadang menjadi faktor yang berkontribusi dalam hikikomori. Menyelesaikan konflik keluarga akan sangat mendukung penyembuhan mereka. 

Jangan memberikan tekanan akademis maupun pekerjaan kepada mereka dalam proses penyembuhan ini. Terimalah mereka apa adanya. Targetnya adalah mereka tetap mau berkomunikasi dan tidak mengisolasi diri dalam kamar atau di rumah saja. 

Jangan memaksakan impian dan cita-cita pribadi orang tua kepada anak. Jangan memaksakan pekerjaan yang tidak disukai anak. Anak yang terpaksa menerima pekerjaan tertentu karena keinginan orang tua dapat mengalami beban mental ketika mereka tidak menyukai pekerjaan mereka dan tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan baik. Hal ini dapat membuat mereka kehilangan rasa percaya diri dan mereka merasa diri mereka tidak berharga. Ketika mereka mengalami depresi, mereka akan menarik diri dan menjadi hikikomori. 

Perlu dipahami, di Asia, anak muda sering kali tidak dapat fokus pada impian mereka sendiri, tetapi pada harapan dan impian keluarga mereka. Tekanan sosial ini kemudian menciptakan masalah sosial seperti hikikomori. 

Orang-orang yang dewasa secara spiritual diharapkan dapat menolong pelaku hikikomori untuk melihat bahwa hidupnya berharga dan dapat menerima diri mereka sendiri. Orang-orang ini sangat penting karena untuk menemukan seorang yang profesional dalam hal ini bahkan di negara maju adalah hal yang sulit. Jarang sekali ada profesional yang diperlengkapi untuk menghadapi kasus hikikomori. 

Penulis juga menyarankan agar setiap orang hendaknya belajar untuk tidak senantiasa membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain. Belajar untuk menerima bahwa setiap orang juga mempunyai kelemahan. Belajar bahwa kehidupan di dunia ini tidak ideal dan mensyukuri hal-hal kecil yang masih dapat dilakukan. 

Pelaku dan mereka yang rentan dengan hikikomori juga sebaiknya membatasi diri dalam bersosial media. Hindari membaca dan menonton konten-konten negatif yang memicu rasa rendah diri. 

Hindari banyak berinteraksi dengan orang-orang yang suka bergosip. Pilihlah satu dua orang teman yang dapat dipercaya untuk bercerita atau bertanya jawab ringan. 

Keluarga terdekat dan teman yang mengetahui permasalahan ini janganlah memutuskan kontak atau interaksi sama sekali dengan mereka. Tetap keep in touch

Sebelum seseorang sepenuhnya melakukan hikikomori, pertahankan melakukan pekerjaan yang ada walaupun membosankan, daripada berada dalam kondisi berhenti bekerja sama sekali. Jangan menuntut diri harus melakukan segala sesuatu dengan sempurna. Ingat, tetap bekerja dan memiliki aktivitas rutin adalah tujuan minimal. Jagalah kondisi agar seseorang tetap mempunyai aktivitas di luar ruangan atau di luar rumah. 

Melakukan olah raga sambil mendengarkan musik adalah salah satu terapi yang dapat dilakukan untuk mengalihkan pikiran-pikiran yang negatif. Olah raga menghasilkan endorfin yang membantu seseorang untuk bangkit dari mood untuk mengisolasi diri. 

Olah raga memang bukan hal yang mudah bagi semua orang. Sekedar berjalan kaki saat cuaca sejuk di pagi atau sore bahkan malam hari adalah salah satu upaya terapi dan pencegahan yang baik. Bergerak membuat otak akan bekerja dengan lebih sehat karena peredaran darah yang lebih baik. 

Pesan penulis kepada pelaku hikikomori dan kamu yang berniat melakukannya, "Temukan kembali dirimu. Move on. Dirimu berharga. Hidup ini memang tidak sepenuhnya terang, namun juga tidak sepenuhnya gelap. Ada terang di luar sana. Ayo, move on." 

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun