Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Lainnya - Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kekayaan Nusantara yang Hilang di Muara Jambi

2 Juli 2024   00:14 Diperbarui: 2 Juli 2024   16:16 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temuan artefak kepada Buddha bergaya Gupta di kawasan Candi Muara Jambi (Sumber: Youtube Najwa Shihab)

Keberadaan candi di Indonesia yang lebih dikenal adalah yang berada di pulau Jawa. Yang paling populer tentunya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Namun keberadaan candi juga ditemukan di luar pulau Jawa, misalnya di Sumatera. 

Candi-candi di Sumatera ternyata memiliki keunikan dan cukup berbeda arsitekturnya dengan candi-candi di Jawa. Beberapa candi tersebut antara lain Candi Muara Takus di Riau, Candi Muara atau Muaro Jambi di Jambi, Candi Bumiayu di Sumatera Selatan, Candi Bahal di Sumatera Utara, Candi Tanjung Medan di Sumatera Barat, dan lain-lain.

Keberadaan candi di Sumatera ini menarik perhatian saya, salah satunya melalui tayangan Najwa Shihab bersama Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Agus Widiatmoko di kanal YouTube Najwa Shihab yang memaparkan tentang pemugaran kawasan Candi Muara Jambi.

Penampakan situs Candi Muara Jambi ini mengingatkan saya akan gaya bangunan dan nuansa yang saya temukan ketika berwisata ke Taman Wisata Alam Mayang di Pekan Baru, Riau. Taman yang berada dalam kawasan hutan lindung Bukit Barisan ini selain sangat asri dan indah, juga di dalamnya kita bisa melihat beberapa bangunan candi dan arca yang unik.

Saya tidak dapat melupakan pesona keindahan dan nuansa arca-arcanya tatkala pertama kali melihatnya di mana sangatlah berbeda dengan nuansa yang saya peroleh ketika berkunjung ke candi-candi di pulau Jawa. Saya juga tertegun merenungkannya di mana betapa kekayaan ini terkubur dan mungkin sudah tidak pernah diceritakan kembali kepada generasi saat ini. 

Salah satu bangunan Candi di Taman Wisata Alam Mayang, Pekan Baru, Riau. (Foto: dokumen pribadi)
Salah satu bangunan Candi di Taman Wisata Alam Mayang, Pekan Baru, Riau. (Foto: dokumen pribadi)

Wawancara Najwa Shihab dengan Pak Agus Widiatmoko menyajikan kepada penonton usaha revitalisasi situs candi di Muara Jambi yang rencananya akan rampung pada Oktober 2024 mendatang.

Agus Widiatmoko yang juga merupakan seorang arkeolog sudah giat melakukan penelitian situs-situs di Muara Jambi sejak tahun 1996. Wawancara dilakukan di area Candi Kotomahligai yang masih dalam proses pemugaran.  

Di dalam Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muara Jambi ini terdapat sejumlah candi antara lain Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Kedaton, Candi Gumpung, Candi Gumpung I, Candi Gumpung II, Candi Astano, Candi Teluk I, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, dan Candi Kembar Batu. Candi Kedaton adalah yang terbesar. 

Empat candi yang dalam proses pemugaran, yaitu Candi Kotomahligai, Candi Sialang, Candi Paritduku, dan Menapo Alun-Alun. Selain candi-candi tersebut diperkirakan ada sekitar 80 reruntuhan candi lain yang masih terpendam di bawah gundukan-gundukan kecil yang disebut ‘menapo’.

Wawancara Najwa Shihab dengan Agus Widiatmoko di Candi Kotomahligai yang sedang dalam proses pemugaran. (Foto: Youtube Najwa Shihab)
Wawancara Najwa Shihab dengan Agus Widiatmoko di Candi Kotomahligai yang sedang dalam proses pemugaran. (Foto: Youtube Najwa Shihab)
Candi dalam proses pemugaran di dalam situs Candi Muara Jambi. (Foto:Youtube Najwa Shihab)
Candi dalam proses pemugaran di dalam situs Candi Muara Jambi. (Foto:Youtube Najwa Shihab)

Papan penunjuk jalan menuju aneka Candi dan Menapo di situs Candi Muara Jambi (Foto: IG Wisata Sejarah Jambi)
Papan penunjuk jalan menuju aneka Candi dan Menapo di situs Candi Muara Jambi (Foto: IG Wisata Sejarah Jambi)

Masa Lalu Candi Muara Jambi

Keberadaan Candi Muara Jambi pertama kali ditemukan oleh seorang tentara Inggris bernama SC Crooke pada tahun 1820-an. Terletak di Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, di tepi Sungai Batanghari, candi ini disebut-sebut oleh banyak sejarahwan sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Candi Muara Jambi adalah candi dengan corak Buddhisme.

Penelitian dan pemugaran mulai dilakukan pada tahun 1975 setelah diketahui fungsi candi ini pada zaman dahulu sebagai tempat pendidikan agama Buddha. Situs ini juga dijadikan sebagai kawasan cagar budaya nasional (KCBN) yang dapat diakses oleh umum.

Revitalisasi menjadi semakin signifikan saat ini setelah beberapa temuan baru di situs Candi Muara Jambi. Salah satunya adalah arca Buddha perunggu dari abad ke-6. Arca ini cukup berat walau ukurannya kecil yaitu hanya bagian kepala saja. Penemuan arca ini membalikkan pendapat lama bahwa Kerajaan Muara Jambi baru ada di abad ke-7.

Temuan artefak kepada Buddha bergaya Gupta di kawasan Candi Muara Jambi (Sumber: Youtube Najwa Shihab)
Temuan artefak kepada Buddha bergaya Gupta di kawasan Candi Muara Jambi (Sumber: Youtube Najwa Shihab)

Selain arca kepala Buddha, tim arkeologi juga menemukan artefak lain seperti pecahan-pecahan genting yang cukup banyak dan kayu bekas tiang-tiang. 

Penemuan ini mengindikasikan dulunya sudah ada bangunan yang dibangun di atas struktur bata dengan konstruksi kayu dan beratap genting sehingga hal ini merubah pandangan kalau arsitektur candi yang selama ini dianggap sama dengan candi-candi di Jawa yang umumnya dari bawah sampai atas dibangun dari batu semua atau  dari bata semua.

Dari  struktur yang khas ini juga dapat diperkirakan peruntukannya, antara lain bangunan candi digunakan untuk menyimpan arca Buddha dan untuk ritual yang berhubungan dengan ajaran Buddha.

Penggalian (ekskavasi) yang terus dilakukan semakin dalam sampai ditemukannya dasar bangunan dan tidak adanya aktivitas manusia yang lain juga memperkuat investigasi terkait dengan usia candi ini. 

Dari analisis karbon di laboratorium yang sudah dilakukan, diketahui ada rentang antara abad ke-6 hingga abad ke-13 (hampir 600 tahun) di mana kompleks bangunan atau candi ini digunakan.

Arca Buddha yang ditemukan di area Candi Kotomahligai adalah bergaya Gupta, di mana ukiran kepala Buddha bergaya khas arca Gupta yang berkembang di abad ke-5 dan ke-6, yaitu bentuk telinga yang panjang, rambut keriting, hidung dan juga bibir yang khas. Analisis karbon juga menunjukkan artefak ini berasal dari abad ke-6, kemungkinan dari Dinasti Gupta di India. Raja Gupta jugalah yang membangun mahavihara di Nalanda.

Dari investigasi lebih mendalam diketahui bahwa dulunya area ini adalah suatu perguruan atau pusat pendidikan. Investigasi dilakukan dengan membandingkannya dengan model perguruan-perguruan Buddhis yang sezaman.

Selain itu dari sumber sebuah ‘copperplate’ Nalanda, diketahui terdapat relasi antara kawasan ini dengan sebuah vihara terbesar yang dibangun oleh Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sumatera). Suwarnadwipa atau pulau Emas adalah julukan bagi Pulau Sumatera di era kejayaan Muara Jambi. 

Balaputradewa adalah Maharaja Sriwijaya ke-11 yang namanya dicantumkan dalam Prasasti Nalanda.  Prasasti Nalanda sendiri bukanlah prasasti yang ditemukan di Nusantara. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1921 di sebuah ruangan depan Biara Nalanda di Bihar, India.

Situs candi ini menjadi sedemikian penting juga karena luas wilayahnya mencapai hampir 4.000 hektar (tepatnya 3.981 hektar) yaitu 8 kali lipat luas Candi Borobudur. 

Tidak heran tempat ini menjadi kompleks percandian terluas di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Candi ini juga telah didaftarkan oleh pemerintah Indonesia ke UNESCO dan pada 2009 diakui sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.

Kompleks candi tidak hanya memiliki ratusan candi dan menapo, namun juga berisi situs pemukiman kuno dan perairan yang digunakan di masa itu. 

Pak Agus Widiatmoko menjelaskan kala itu perguruan tidak hanya sebagai tempat belajar, namun juga menjadi tempat tinggal bersama para Bikkhu dan para pelajar muda. Sedangkan di luar asrama perguruan ini juga banyak ditemukan aneka artefak peralatan rumah tangga dari China, seperti piring, mangkok, dan tempat obat-obatan. 

Hal ini menunjukkan pada masa itu orang dari China sudah datang ke Nusantara untuk belajar di perguruan dan ini sejalan dengan cerita seorang biksu terkenal yang bernama I Ching atau I Tsing dalam bukunya Nan Hai.

Persinggahan I Ching dan Atisa Dipamkara

I Ching adalah seorang biksu yang pernah berkunjung ke kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada tahun 671 Masehi dan tulisannya tentang Sriwijaya menjadi salah satu dari sedikit sumber tentang Sriwijaya.

Najwa Shihab juga mewawancara Ketua Perkumpulan Umat Buddha Jambi UP. Rudy Zhang. Rudy menuturkan I Ching pada tahun 672 singgah selama 6 bulan ke Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta sebelum kemudian ia pergi ke Universitas Nalanda di India bagian utara yang dibangun pada abad ke-5 oleh raja-raja dari dinasti kerajaan Buddha Gupta.

UP Rudy menceritakan I Ching yang menuntut ilmu di Nalanda lebih kurang selama 12 tahun itu kemudian kembali ke Nusantara dan menetap selama 10 tahun untuk berguru kepada Sakyakirti dari Sriwijaya. Setelah itu barulah I Ching menerjemahkan ajaran-ajaran yang diperolehnya dari India ke dalam bahasa Mandarin dan membawanya ke China. 

Menurut catatan I Ching ada lima pelajaran atau Pancavidya yang dipelajari di perguruan Buddhis ketika itu, yaitu agama Buddha, ajaran filosofi, kesenian, bahasa, dan ilmu kesehatan atau pengobatan.

Setelah I Ching, seorang guru besar dari India berlayar ke Nusantara pada tahun 1012. Ia bernama Atisa Dipamkara atau Atisa Shrijnana Dipankara. Atisa Dipamkara menetap selama 12 tahun untuk belajar ajaran-ajaran Bodhicitta dan Prajnaparamitha (kesempurnaan dalam kebijaksanaan) dari Darmakirti atau Y.M. Serlingpa Dharmakirti yang adalah seorang guru asli Nusantara yaitu dari Sriwijaya.

Atisa Dipamkara kemudian kembali  ke Vihara atau Perguruan Vikramashila (wilayah Bangladesh saat ini) dan menjadi kepala vihara di sana sebelum kemudian Raja Tibet Yeshe-Ö memintanya untuk mengajar ajaran Buddha di Tibet hingga akhir hayatnya.

Atisa Dipamkara adalah pendeta Buddhis terbesar di abad 11. Salah satu ajarannya yang dikenal hingga saat ini adalah Tong-Len. Tong artinya terima dan Len artinya kasih. 

Tong-Len yang dalam bahasa Indonesia terima kasih memiliki makna menerima penderitaan atau beban sengsara dari makhluk lain dan memberikan kesehatan dan kebahagiaan sendiri kepada yang lain. Ajaran Tong-Len ini sangat dihargai di Tibet.

Atisa Dipamkara, guru besar Buddha yang belajar ke Sumatera selama 12 tahun kepada Darmakirti dari Sriwijaya. (Foto: IG elsilenciodelosbudas)
Atisa Dipamkara, guru besar Buddha yang belajar ke Sumatera selama 12 tahun kepada Darmakirti dari Sriwijaya. (Foto: IG elsilenciodelosbudas)

Dari aneka bukti dan investigasi arkeologis, Muara Jambi jelas pernah menjadi tujuan sakral pembelajaran dan peribadatan Buddha yang menarik orang-orang bijak pembelajar, baik dari China maupun India.

Ketidaktahuan Masyarakat Indonesia

Kompleks Candi Muara Jambi ini baru 10 tahun terakhir ini mulai masif dilakukan pemugaran. Sebelumnya hanya masyarakat Jambi dan sekitarnya saja yang tahu.

Menurut Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI Hilmar Farid, masyarakat umumnya hanya mengetahui candi-candi klasik di Jawa, seperti Borobudur dan Prambanan. Namun pengetahuan ini baru hendak difokuskan saat ini untuk mengisi kekosongan kepingan puzzle sejarah dari abad ke-6 hingga 13 yang masih sedikit bukti sejarahnya.

Salah satu area situs Candi Muara Jambi (Sumber: Kanal Youtube Najwa Shihab)
Salah satu area situs Candi Muara Jambi (Sumber: Kanal Youtube Najwa Shihab)

Kompleks Muara Jambi dengan luas hampir 4.000 hektar yang dikelilingi oleh kanal buatan manusia ini juga dikenal sebagai Oxfordnya Sumatera di masa tersebut. 

Tempat ini menjadi tempat di mana secara signifikan pemikiran-pemikiran besar di lahirkan pada masa itu, tidak semata hanya suatu kerajaan atau kekuasaan. Sangat sedikit orang mengetahui bahwa Dalai Lama hingga saat ini mengakui bahwa dari Muara Jambilah ajaran-ajaran besar di Tibet berkembang.

Revitalisasi mempunyai tujuan utama untuk mengembalikan nilai-nilai sejarah yang ada, lebih dari sekedar menjadi objek wisata yang tentunya akan menambah pendapatan daerah. 

Dalam kawasan ini juga direncanakan untuk didirikan museum dan tempat untuk pengembangan pengetahuan lokal semisal untuk mengadakan workshop.  

Tantangan Menghidupkan Kembali Situs

Tentunya menghidupkan situs ini kembali adalah tantangan yang tidak mudah. Dilansir dari berita Kompas tahun 2023, pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo menggelontorkan dana lebih kurang Rp 1,5 triliun untuk revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi ini. 

Dana diambil dari APBN, dana Bendahara Umum Negara (BUN), dan juga dari APBD Provinsi. Dana Rp 1,5 triliun ini digelontorkan untuk dua tahun anggaran, yaitu Rp 600 miliar di tahun 2023 dan Rp 850 miliar di tahun 2024.

Presiden Joko Widodo menyetujui penggelontoran dana ini setelah kunjungan kerjanya ke situs candi pada tahun 2022. “Bukan hanya berkaitan dengan teologi, tetapi di Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi ini dulunya juga menjadi pusat pendidikan bagi kedokteran dan obat-obatan, kemudian filsafat, arsitektur, seni, dan lain-lain,” kata Jokowi dalam kunjungan pada April 2022 yang silam bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.

Presiden saat itu menjelaskan kalau kawasan candi ini dikelilingi oleh sebuah kanal besar yang akan diangkat dan diperlihatkan setelah direstorasi. 

Dalam kesempatan kunjungan tersebut juga disampaikan rencana Arsitek Yori Antar untuk membangun Kampus Merdeka Belajar di lokasi yang berdekatan dengan situs Candi.

Kunjungan Presiden Joko Widodo ke KCBN Muara Jambi pada April 2022 (Foto: industy.co.id)
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke KCBN Muara Jambi pada April 2022 (Foto: industy.co.id)

Permasalahan yang tersisa adalah mensterilkan wilayah KCBN ini dari industri stockpile (penumpukan) batu bara.  Adanya stockpile batu bara ini membuat bebatuan candi yang usianya ribuan tahun itu mengalami kerusakan. Warga yang menjadi tenaga lokal dalam pemugaran juga dilaporkan mengalami demam dan batuk-batuk karena debu stockpile batu bara tersebut.

Stockpile di kawasan percandian Muaro Jambi itu berasal dari sejumlah daerah di Jambi yang kemudian diangkut dengan menggunakan kapal tongkang. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah memerintahkan dengan tegas pada Januari 2022 agar stockpile batu bara bisa dipindahkan dalam waktu dua hingga tiga bulan. Perintah itu diberikan ketika ia menggelar rapat di rumah dinas Gubernur Jambi Al Haris. Ia mendapat keluhan ini dari masyarakat setelah kunjungannya ke Jambi pada Januari 2022 yang lalu.

Situs Candi Muaro Jambi (Foto: IG Wisata Sejarah Jambi)
Situs Candi Muaro Jambi (Foto: IG Wisata Sejarah Jambi)

“Industri batu bara tidak boleh ada di kawasan bersejarah. Nanti izinnya bisa dicabut. Ini tidak boleh ditoleransi,” tegas Luhut saat itu. “Debu batu bara menyebabkan pencemaran lingkungan dan itu juga menyebabkan hilangnya bangunan cagar budaya yang belum ditemukan. Ini dapat menggagalkan KCBN Muaro Jambi menjadi warisan dunia,” ujar Luhut dilansir dari Media Indonesia.

Pada musim kemarau, aktivitas bongkar muat batu bara dari mobil maupun tongkang membuat debu hitam beterbangan. Abu ini pun tertiup angin dan mengotori permukaan candi yang kemudian menjadi hitam.

Dilansir dari Indonesiadaily, berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muara Jambi, ada 12 industri batu bara dan cangkang sawit di kawasan cagar budaya nasional tersebut. Keduabelas perusahaan itu walaupun berada dalam zona penyangga dan pengembangan di KCBN Muara Jambi namun rata-rata perusahaan berada di tepian aliran Sungai Batanghari.  

DPRD Provinsi Jambi juga sempat mempertanyakan perizinan stockpile batu bara di kawasan Candi Muaro Jambi tersebut. 

“Ketika stockpile ada izin maka kita bertanya siapa yang mengeluarkan izin itu,” kata Akmaluddin, anggota Komisi I DPRD Provinsi Jambi, pada 24 Januari 2022, dilansir dari situs DPRD Provinsi Jambi.

Hingga saat ini masyarakat masih terus menyerukan agar sterilisasi kawasan dari stockpile ini bisa serius ditindaklanjuti oleh pemerintah.  Tidak hanya bangunan candi, lantai rumah dan atap seng warga juga dikeluhkan menjadi hitam. Hal ini tentunya harus segera dibereskan antara pengusaha dan pemerintah karena pemerintah menargetkan akan membuka kawasan ini pada Oktober 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun