Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Lainnya - Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Sayang Tak Dimakan" Bebaskan Spora Antraks

8 Juli 2023   01:55 Diperbarui: 8 Juli 2023   19:52 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sapi. (Foto: duniasapi.com)

Retno menjelaskan warga Gunung Kidul memiliki tradisi menyembelih ternak yang telah sakit atau sakratul maut kemudian menjual dagingnya dengan harga murah.  Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerugian pemilik ternak. Bila dijual ke pasar, daging hewan yang mati karena sakit itu tentunya tidak laku. 

"Kalau saya tanya memang tujuannya baik, membantu warga yang kesusahan biar tidak terlampau rugi itu dibagi-bagi, satu paketnya itu dijual Rp 45 ribu, uangnya dikumpulkan dan dikasihkan yang kesusahan," ujar Retno, dilansir dari Kompas. 

Tradisi yang dikenal dengan istilah Brandu atau Porak itu masih dilestarikan.  

Tiga ekor sapi yang telah mati hendak dikuburkan oleh pihak DPKH Gunungkidul. Satu sapi sudah dikuburkan saat itu, sementara yang dua ekor belum. Namun warga malah menggali kubur sapi dan memakan dagingnya. Bahkan pihak DPKH mengatakan pihaknya telah melakukan prosedur penguburan sesuai standar, yaitu menyiramkan formalin ke sapi yang mati karena antraks itu.

Sedang dua ekor lainnya yang belum sempat dikubur juga kemudian dikonsumsi oleh warga. 

Tentunya tindakan warga ini adalah sesuatu yang salah. Alih-alih memberi manfaat malah merugikan masyarakat. Masyarakat sudah selayaknya diberikan edukasi bahwa ternak yang sudah sakit apalagi mati mendadak tidak boleh disembelih dan dikonsumsi. Tentu bukan dengan alasan mistis, namun masyarakat harus memiliki pemahaman yang menyeluruh akan penyakit ini.  

Antraks di Indonesia

Kasus antraks di wilayah Gunung Kidul dan Sleman sudah berulang kali terjadi sejak 2019. Di Indonesia sendiri wabah antraks sering terjadi, khususnya di daerah Jawa Tengah.

Dikutip dari Tempo, antraks diketahui pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1832 di Kecamatan Tirawuta dan Mowewe Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1969, 36 orang meninggal setelah mengkonsumsi daging di Tirawuta. Pada tahun 1973, tujuh orang juga meninggal di daerah yang sama. 

Pada tahun 1976, antraks kulit ditemukan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, dan pada tahun 1977 berlanjut hingga ke Kabupaten Sumbawa Besar dan Dompu. 

Pada tahun 1985, terjadi wabah antraks di Kabupatean Paniai, Irian pada ribuan ekor babi. Sebelas orang meninggal setelah memakan daging babi yang sudah terinfeksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun