Mohon tunggu...
Shinta Okteriana
Shinta Okteriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Perkenalkan saya Shinta Okteriana. Saat ini saya merupakan mahasiswa angkatan tahun 2023 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra di Universitas Pendidikan Indonesia. Hobi saya, yaitu menggambar, melukis, dan desain. Selain itu, saya juga menggemari fotografi dan videografi. Saya sangat suka dengan kegiatan bersosialisasi dengan banyak orang baru.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Indonesia di Ruang Publik

17 Desember 2024   23:27 Diperbarui: 17 Desember 2024   23:35 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penempatan Penggunaan Bahasa yang Benar

Kajian ini sejalan dengan teori Semiotik Sosial yang dikembangkan oleh Gunther Kress dan Theo van Leeuwen (2006). Teori ini menekankan peran aktif masyarakat dalam menghasilkan dan memberi makna pada sebuah tanda serta menggali konteks sosial yang berdampak terhadap cara tanda tersebut digunakan dan diinterpretasikan. Setiap pilihan bahasa yang digunakan merupakan sebuah tanda yang mencerminkan konteks sosial dan budaya dalam masyarakat. Hal ini pun tak lepas dari faktor kekuasaan dan ideologi yang menunjukkan pengakuan atas kekuatan dan otoritas bahasa Indonesia di dalam negeri. Pendekatan semiotika sosial mengungkapkan bahwa pemilihan urutan bahasa pada ruang publik bukan hanya tentang komunikasi praktis, tetapi juga tentang penegakan ideologi bahasa. Penggunaan bahasa Indonesia yang dominan bisa menunjukkan identitas nasionalisme dan kedaulatan budaya Indonesia. Sebaliknya, penggunaan bahasa asing yang mendominasi berpengaruh terhadap persepsi masyarakat yang menganggap bahasa asing lebih modern, lebih prestisius, atau lebih penting untuk digunakan dalam ruang-ruang publik. Pemahaman teori ini sangat penting untuk perencanaan kebijakan yang tepat dengan melihat tanda-tanda yang digunakan. Melalui teori ini, kita dapat menggali lebih dalam bagaimana sistem tanda bekerja dengan mencerminkan konteks sosial dan budaya sehingga dapat membentuk pikiran masyarakat. Untuk itu, penggunaan tanda dalam fasilitas publik penting untuk diatur secara bijak.

Motto Trigatra Bangun Bahasa sudah sering digaungkan, tetapi langkah konkretnya masih terbilang sedikit. Tak banyak ruang publik yang menempatkan bahasa Indonesia di urutan pertama. Seringkali, ruang publik tersebut menggunakan bahasa asing sepenuhnya, tanpa ada unsur bahasa Indonesia. Hal ini tentu meningkatkan fenomena xenoglosofilia yang berpotensi menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai identitas negara. Selain itu, masyarakat Indonesia pun masih terbilang abai terhadap motto-motto tersebut. Tak ada rasa kepemilikan terhadap bahasa Indonesia yang menimbulkan sikap apatisme. Kesadaran masyarakat sangat berpengaruh terhadap meningkatnya penggunaan bahasa asing di ruang publik. Ruang publik seringkali dirancang untuk menarik minat masyarakat. Apabila masyarakat memiliki ketertarikan bahasa asing maka pihak-pihak pengelola ruang publik pun akan mengikuti persepsi tersebut. Di samping itu, regulasi tentang penerapan penggunaan bahasa Indonesia juga masih lemah. Meskipun peraturan mengenai pengutamaan bahasa negara telah banyak dibuat, pengawasannya masih perlu ditingkatkan. Banyak pihak yang tidak mematuhi regulasi tersebut karena kurangnya sanksi atau penegakkan hukum yang jelas. Untuk itu, semua kalangan, baik masyarakat maupun pemerintah harus bekerja sama dalam pengutamaan bahasa Indonesia.

Trigatra Bangun Bahasa menjadi solusi praktis apabila diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud sikap positif tersebut tercermin apabila kita lebih senang dan lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia. Tidak hanya berbangga, tetapi kita juga harus aktif dalam menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia, sudah seharusnya kita menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap kesempatan untuk menunjukkan eksistensi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Jangan sampai kita merasa malu atau enggan menggunakan bahasa Indonesia. Di sisi lain, di tengah arus globalisasi yang semakin pesat, pentingnya penguasaan bahasa asing tak dapat kita abaikan. Bahasa asing perlu dikuasai agar dapat berkomunikasi dalam lingkup global. Tak hanya menjadi sarana komunikatif, penggunaan bahasa asing ini dapat memperkenalkan khasanah Indonesia kepada dunia internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun