Republik Kongo atau Kongo-Brazzaville adalah sebuah negara yang terletak di Benua Afrika, tepatnya di wilayah Afrika Tengah, berbatasan dengan Gabon, Kamerun, Republik Afrika Tengah dan Teluk Guinea. Di jantung Afrika Tengah ini, berkembang sebuah komunitas unik yang membuat persepsi baru mengenai mode dan identitas. Komunitas ini dikenal karena pilihan hidupnya yang ekstrem, dimana mereka rela hidup susah asal bisa tampil fashionable. Sebenarnya banyak cara yang dilakukan orang untuk mencari kebahagiaan dan setiap orang juga memiliki bentuk kebahagiaannya masing-masing yang terkadang tidak masuk akal bagi orang lain. Misalnya seperti kebahagiaan para anggota komunitas La Sape ketika dapat tampil mewah di tengah kondisi kemiskinan di Kongo yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah negara tersebut.
Gaya berpakaian mereka sangat trendi, bahkan pakaian atau barang yang mereka gunakan merupakan barang mewah dan keluar dari brand ternama membuat masalah kemiskinan di Kongo juga semakin parah. Para anggota komunitas ini rela mengeluarkan uang banyak supaya dapat mengenakan busana rancangan desainer terkenal. Mereka mengenakan pakaian serba mahal tersebut tidak hanya pada saat ada acara, namun di kesehariannya mereka juga mengenakan barang ataupun pakaian mewah.
Komunitas La Sape adalah komunitas yang membuat persepsi baru tersebut semakin meluas, Terdapat beberapa asumsi mengenai asal-usul dari nama komunitas ini. Jadi, kata La Sape merupakan sebuah singkatan dari "Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes" yang artinya masyarakat orang-orang pembawa suasana dan elegan. Dalam Bahasa Inggris, biasa disebut Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Komunitas ini telah menjadi ikon budaya yang menarik perhatian dunia. Berdirinya La Sape ini diyakini bermula di awal abad ke-20 di masa penjajahan Belgia-Prancis di mana pada saat itu budak Kongo bekerja untuk mendapatkan pakaian bekas.
La Sape berkembang sebagai wujud perlawanan halus terhadap dominasi kolonial di Kongo. Para pelopor gerakan ini, terinspirasi oleh gaya berpakaian para penjajah Eropa saat itu, sehingga mereka mulai mengadopsi pakaian-pakaian mewah sebagai simbol status. Pada saat itu, komunitas La Sape ini juga merupakan bentuk eskpresi sosial dari orang-orang yang pernah dijajah. Di luar jam kerja, para pria Kongo biasanya mulai berpakaian layaknya seorang pria Prancis yang sangat fashionable. Pakaian yang mereka gunakan biasanya adalah pakaian warna-warni dengan sepatu mewah dan aksesoris seperti topi, tongkat, atau kacamata hitam. Dengan mengenakan pakaian seperti itu, mereka merasa keren dan mendapatkan energi serta kegembiraan. Orang-orang itu biasanya disebut sebagai sapeurs, sebutan untuk anggota laki-laki.
Meskipun awalnya didominasi pria, namun sekarang sudah semakin banyak wanita yang bergabung dalam gerakan ini yang dikenal sebagai sapeuse. Kehadiran mereka membawa perspektif baru dan ikut memperkaya estetika La Sape dengan sentuhan feminin. Hal yang membuat La Sape begitu menarik adalah kontrasnya yang tajam dengan realitas ekonomi. Dimana tengah kemiskinan dan ketidakstabilan politik di Kongo, para sapeur mengenakan pakaian designer mahal dengan warna-warna cerah dan mencolok. Pakaian seperti jas, dasi, topi, dan aksesori mewah menjadi senjata mereka dalam pertempuran melawan rasa putus asa dan stigma sosial.
Selain itu, sapeurs dan sapeuse menggunakan gerakan ini sebagai pelarian dari kesengsaraan mereka, yang kemudian menjadi inspirasi bagi komunitas lain. Filosofi La Sape lebih dari sekadar berpakaian bagus. Menurut para anggotanya, ini merupakan jalan hidup yang menekankan keanggunan, sopan santun, dan harga diri. Mereka percaya bahwa penampilan yang bagus akan mengangkat derajat seseorang dan membuka pintu kesempatan di tengah kemiskinan dan keterbatasan.
Terdapat sebuah ritual penting dalam komunitas ini yaitu defile atau biasa dikenal dengan parade jalanan. Parade ini adalah sebuah ajang bagi para sapeur untuk memamerkan gaya mereka dengan berjalan dan berpose di hadapan penonton yang terpesona. Selain itu, juga terdapat kompetisi sebagai wujud kreativitas dan keberanian dalam memadukan warna dan pola.
Mengutip dari CNBC dan Al Jazeera, saat ini La Sape merupakan ideologi gerakan tentang menjadi bahagia dan elegan bahkan jika seseorang sebenarnya kekurangan makan. La Sape lebih dari sebuah subkultur, dimana sebenarnya komunitas ini adalah bagian penting dari budaya Kongo. Bahkan, para politisi dan musisi menghormati gerakan ini. Anggota La Sape menganggap cara berpaikan tersebut hanyalah mengenai kebersihan dan para anggota komunitas ini merasa nyaman dengan hal itu. Namun demikian, masih terdapat masyarakat Kongo yang skeptis tentang keberadaan komunitas La Sape dan mendefinisikan gerakan ini sebagai obsesi atau kecanduan yang tidak dapat dihentikan.
Hal lain yang unik dari komunitas ini adalah meskipun mereka memakai pakaian yang mahal, akan tetapi mereka berasal dari golongan orang miskin dan bukan orang kaya. Para anggota komunitas La Sape, rata-rata memiliki mata pencaharian sebagai supir taksi, petani, tukang kayu, dan lain. Supaya mereka dapat membeli pakaian atau barang mahal, seorang Sapeur atau Sapeurs rela menabung selama bertahun-tahun demi mengumpulkan uang hingga US$ 2.000 atau sekitar 28 juta rupiah.
Mereka tidak ingin membeli barang palsu dengan uang tersebut, sehingga dengan penghasilan yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari tersebut, mereka rela menabung sedikit demi sedikit sampai memiliki cukup uang untuk membeli setelan jas yang mereka impikan. Bahkan mereka lebih suka menghabiskan US$ 100-200 untuk membeli kemeja daripada menabung untuk membeli rumah, mobil atau sepeda motor, karena prioritas mereka bukan kestabilan ekonomi, akan tetapi dapat menjadi trend-setter di komunitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H