Mohon tunggu...
Shintia Putri Fibriolawati
Shintia Putri Fibriolawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka akan sejarah dan kepurbakalaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dwarapala: Satpam Nusantara pada Masa Klasik (Siwa dan Buddha)

22 Februari 2024   20:41 Diperbarui: 22 Februari 2024   21:04 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1: Arca Dwarapala Pada Candi Plaosan Lor, Klaten, Jawa Tengah(Sumber gambar: bacacoding.blogspot.com)

 

Berdasarkan sejarah, pada negara Indonesia dikenal dengan beberapa masa, yaitu Masa Prasejarah, Masa Klasik (Hindu-Buddha), Masa Islam, dan Masa Kolonial. Pada Masa Klasik terdapat banyak sekali peninggalan yang masih terawat sampai sekarang, mulai dari candi, prasasti, sampai dengan arca. 

Arca merupakan patung yang merepresentasikan dewa yang dipuja dalam bentuk manusia maupun binatang. Dalam agama Hindu-Buddha memiliki banyak sekali arca dengan beberapa atribut sebagai pelengkapnya. Salah satu peninggalan arca yang ada di Masa Klasik adalah arca Dwarapala. 

Dwarapala Sang Satpam Masa Klasik

Siapa yang tidak kenal dengan arca Dwarapala? Pasti semua sudah tau ya, apa yang dimaksud dengan arca Dwarapala. Arca ini merupakan arca yang bisa dibilang cukup populer karena biasanya terdapat pada bangunan suci agama Buddha yang memiliki peran untuk menjaga pintu atau gerbang pada bangunan suci. 

Biasanya Dwarapala ini berjumlah dua buah (sepasang) yang diletakkan pada sisi kanan maupun kiri sebuah pintu ataupun gerbang. Oleh karena itu, Dwarapala ini pada masa sekarang bertindak seperti seorang satpam. Dwarapala ini berasal dari bahasa Sanskerta, Dvara dan Pala. Dvara ini memiliki arti pintu, sedangkan Pala diartikan sebagai penjaga sehingga apabila digabung menjadi Dwarapala yang berarti penjaga pintu. 

Menurut Rumbu Mulia (1982), Dwarapala ini merupakan sebuah perkembangan dari Yaksa yang dalam agama Buddha berarti raksasa. Raksasa ini merupakan pendamping Buddha yang bertugas sebagai pelindung dan penjaga bangunan suci. Karena ditugasi sebagai penjaga pintu bangunan suci, maka Dwarapala ini digambarkan dengan wajah seram untuk mengusir kejahatan dan menjauhkan dari marabahaya.

Dwarapala ini merupakan pelengkap dari sebuah gambaran makrokosmos dalam Konsep Kosmologi agama Hindu-Buddha. Pusat makrokosmos ini adalah Gunung Mahameru yang merupakan tempat tinggal para dewa. 

Gunung Mahameru dilengkapi dengan dewa penjaga, dewa pendamping, penjaga pintu khayangan, prajurit, dan sebagainya. Dalam dunia manusia, bangunan suci (candi) direpresentasikan sebagai Gunung Mahameru (dalam mikrokosmos) kemudian dijaga oleh penjaga pintu yang biasanya disebut dengan Dwarapala (Ardysatria, 2023).

Gambar 2: Arca Dwarapala di Candi Plaosan Lor tampak depan (kiri) dan belakang (kanan) (Sumber gambar: dictio.id)
Gambar 2: Arca Dwarapala di Candi Plaosan Lor tampak depan (kiri) dan belakang (kanan) (Sumber gambar: dictio.id)

Ciri Khas Dwarapala

Sebagai penjaga pintu, Dwarapala ini memiliki beberapa ciri yang khas, antara lain digambarkan dengan rambut yang keriting kemudian dibentuk sanggul yang dihiasi dengan  mahkota (jamang). 

Pada telinga arca ini terdapat anting-anting yang umumnya berbentuk bulat. Raut wajah Dwarapala ini digambarkan dengan seram dan berwujud raksasa. Mata arca ini juga digambarkan melotot dengan kumis yang agak tebal dan dilengkapi dengan taring panjang serta senyuman tipis. Hal tersebut akan menjadikan Dwarapala terlihat berwibawa sehingga orang yang melihat arca tersebut akan takut sehingga hati-hati untuk melewatinya. 

Sedangkan raut muka yang seram ini memiliki makna keduniawian dan pengusiran roh jahat walaupun ada juga Dwarapala yang dibuat dengan raut muka yang tidak seram (dengan senyuman), akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi kewibawaan dari arca Dwarapala. 

Arca ini digambarkan dengan posisi berlutut, yaitu dengan posisi kaki kiri di bawah untuk tumpuan dan kaki kanan ditekuk sehingga tampak dari arah depan. Tangan kiri Dwarapala ini memegang gada yang disandarkan pada tanah dan tangan kanan membawa naga pasa (tali yang berkepala ular). 

Selain itu, arca ini memiliki atribut kalung, gelang bahu (klat bahu), gelang tangan, dan juga tali kasta (upavita).  Dwarapala ini juga digambarkan memakai pakaian yang berupa kain panjang yang kemudian ditarik ke atas dan ujungnya diselipkan pada ikat pinggang. Oleh karena itu, nantinya jika dilihat dari depan dan belakang arca akan tampak kain yang jatuh dengan lipatan yang teratur. 

Kemudian terdapat kain yang dibuat seperti celana yang menutupi bagian bawah dengan cara dililitkan pada tubuh Dwarapala. Hiasan pada arca ini dilengkapi dengan hiasan menjuntai pada bagian depan sehingga akan tampak bagus jika digunakan saat berjalan. 

Pada bagian belakang ikat pinggang, arca ini menyelipkan pisau sebagai senjata (Sarjanawati, 2010). Atribut yang dikenakan oleh Dwarapala ini memiliki makna dunia manusia dan juga dunia dewa. Akan tetapi, atribut pada Dwarapala ini bisa berbeda-beda antara satu arca dengan arca yang lain.

Bentuk dari Dwarapala ini bermacam-macam, misalnya di Indonesia ada yang berbentuk Bhairawa dan Nandi Bhairawa. Penggambaran Bhairawa tersebut tetap berwajah seram seperti raksasa, memiliki tangan dengan jumlah empat yang sedang memegang ular, dan digambarkan dengan trisula (sula), gada, serta mangkuk minum (pana-patra). Sedangkan jika Nandi Bhairawa ini digambarkan dengan wajah seram seperti raksasa yang memiliki empat tangan memegang tali (pasa) dan khatvanga. 

Dwarapala di Masa Kini

Pada masa kini, Dwarapala masih sering digunakan untuk fungsi yang sama seperti pada Masa Klasik, yaitu sebagai penjaga pintu atau gerbang. Misalnya, hal tersebut masih tampak jelas di wilayah Bali yang notabene memang masyarakatnya masih memeluk agama Hindu (Siwa). Terkadang Dwarapala yang ada di Bali ini diberi kain poleng yang berwarna hitam dan putih sebagai hiasan. Dalam budaya Bali, Dwarapala ini digambarkan sepasang yang memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. 

Biasanya, arca Dwarapala ini ditemukan pada bangunan peribadatan seperti pura, puri, pelinggih, kori agung, dan bangunan suci lainnya. Alasan arca ini ditempatkan pada bangunan suci adalah agar manusia sebelum masuk ke tempat suci ini dapat meninggalkan sifat-sifat keduniawian dan juga agar bangunan suci tetap terjaga. 

Apabila ada orang yang masuk ke bangunan suci memiliki niat yang jahat (negatif), maka akan terkena balasan yang setimpal. Sehingga kita harus hati-hati dan bersikap baik serta sopan jika berkunjung ke bangunan suci khususnya di Bali karena adat mereka masih sangat kental. 

Akan tetapi, arca Dwarapala di Bali sudah terdapat pergeseran posisi arca Dwarapala yang sudah tidak hanya diletakkan pada bangunan suci saja melainkan juga pada sekolah, hotel, maupun toko. 

Selain itu, untuk sekarang arca yang digambarkan tidak hanya berwujud raksasa tetapi juga wujud tokoh mitologis agama Hindu-Buddha, misalnya Dewa Ganesha, Dewa Wisnu, dan tokoh-tokoh yang dipuja dalam agama tersebut. Hal tersebut didasarkan karena pada masa lalu tokoh-tokoh tersebut memiliki pasangan tokoh pengiring (Dwarapala) yang menjaga pintu masuk bangunan suci (Wanda Masyita Ja'far, 2022).

Dwarapala yang ada di wilayah Bali ini memiliki ciri khas yang biasanya tersusun dari sepasang tokoh dengan perbedaan karakter, kedudukan, dan posisi. Biasanya, sepasang Dwarapala ini digambarkan dengan penggabungan dua karakter yang berbeda (Konsep Rwa Bhineka). 

Misalnya terdapat pasangan Dwarapala kakak adik Subali dan Sugriwa, pasangan suami istri Pan Brayut dan Men Brayut, dan lain sebagainya. Jadi, tatanan dari pasangan Dwarapala ini mengikuti adat istiadat yang ada di lingkungan setempat (wilayah Bali). Seperti, arca Dwarapala yang menjaga wilayah Uluwatu dan Sangeh yang digambarkan dengan figur monyet karena wilayah tersebut memang habitat satwa monyet. 

Untuk tata cara penempatan arca Dwarapala ini, Dwarapala maskulin (sosok laki-laki) digambarkan dengan figur tinggi dan biasanya ditempatkan pada sisi kiri pintu atau gerbang. 

Sedangkan jika Dwarapala feminin (sosok perempuan) digambarkan dengan figur yang lebih rendah dan ditempatkan pada sisi kanan pintu maupun gerbang. Mengapa arca maskulin dan feminin mempunyai perbedaan dalam hal figur? Hal tersebut berfungsi untuk memudahkan kita dalam menganalisis mana arca yang maskulin dan feminin. 

Selain itu, memang dalam adat Bali pasti terdapat makna yang ingin disampaikan dalam penggambaran arca tersebut. Arca Dwarapala yang maskulin digambarkan lebih tinggi karena memiliki simbol alam atas, sedangkan arca yang feminin digambarkan lebih rendah karena menyimbolkan jalan atau tingkat menurun (Arina, 2019).

Referensi

Ardysatria. (2023, Desember 8). Apa yang Anda Ketahui Tentang Arca Dwarapala? Retrieved from Dictio.id: https://www.dictio.id/t/apa-yang-anda-ketahui-tentang-arca-dwarapala/8716/2

Arina, M. (2019). Mengenal Dwarapala, Patung Penjaga Tempat Suci di Bali. Retrieved from Etnis.id: https://etnis.id/mengenal-dwarapala-patung-penjaga-tempat-suci-di-bali/

Sarjanawati, R. S. (2010). Arca Dwarapala Pada Candi-Candi Buddha di Jawa Tengah. Paramita, Vol 20, No.2, 158-168.

Wanda Masyita Ja'far, I. W. (2022). Interpretasi dan Ekspresi Dwarapala dalam Penciptaan Seni Lukis. Citra Kara: Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni Murni, Vol 3, No.1, 100-1006.

 

Sumber gambar

https://www.dictio.id/ 

https://bacacoding.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun