Menurutku, kematian itu seumpama suatu bait dalam sebuah syair kehidupan yang memuat rangkaian bait-bait lainnya. Ia bait elegi yang hadirnya tak berfrekuensi dan tak bisa dicegah.Â
Jika rangkaian bait dalam syair kehidupan itu seimbang, mustahil kita berlarut sebab syair kehidupan mengalir naik turun seiring roda kehidupan yang berputar.Â
Kita tak perlu terlena, tapi juga tak perlu melupakan karena itu usaha menjaring angin. Jadi, saat elegi itu hadir, hayati saja syairnya. Sambil berserah.. berserah dan berserah, pada Sang Pencipta Semesta Kehidupan.
Segala sesuatu di dunia ini hanya sementara, semua yang hidup akan mati. Maka, ingat Anda pasti mati: "Memento Mori."
Mungkin di antara pembaca ada yang masih ingat, sosok sobat tua pengidap tumor ganas, yang irama cintanya satu frekuensi dengan nada-nada di isi kepala dan relung hati seorang bocah cilik yang merindukan sekolah?!
Setelah beberapa hari sebelumnya mengikuti sakramen perjamuan kudus, kondisi Opungboru semakin melemah. Hingga pada suatu hari, di pagi yang dingin, beliau menghembuskan napas terakhir.
Semua anak-anak Opung, paman-pamanku (tulang) dan bibiku (tante) dari dalam kota hingga yang di luar pulau, serta teman dan kerabat keluarga, datang dan berkumpul di rumah kami. Samar dalam ingatanku, bagaimana prosesi itu berlangsung. Tapi hari itu langit mendung dan siang harinya hujan turun.
Aura dukacita itu seperti kabut tipis yang memenuhi ruangan. Semua orang tengah menenangkan diri sendiri dan belajar berdamai bersama dukacita ini, dengan caranya masing-masing. Begitu juga aku.
Sebenarnya aku masih terlalu muda untuk memahami apa itu kematian. Tapi aku mengerti bahwa mati berarti seseorang tidak ada lagi dalam kehidupan ini untuk ditemui, disentuh, dan diajak berbicara bersama.Â
Aku hanya merasa khawatir, kalau Opung masih kesakitan dan terluka tanpa kuketahui dan tanpa bisa kuhibur lagi.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa lagi. Datar saja tapi sibuk. Sampai aku lupa sosok itu. Hingga suatu hari aku melihat seorang anak lelaki sebaya denganku, tengah berjalan dengan kakeknya.Â
Tiba-tiba saja pikiranku melayang dan mengenang Opungboru. Menyusup bersamaan, rasa rindu yang sedih disertai rasa haru kehilangan. Andai Opungboru masih hidup.. pikirku. Untuk pertama kalinya airmataku menetes karena Opung.
Tentang Opungdoli (kakek), aku punya. Beliau adalah suami dari Opungboruku ini. Ia bisa juga disebut sebagai manusia Indonesia tiga jaman; yaitu jaman perjuangan, masa kemerdekaan dan era pembangunan.Â
Beliau orang sibuk, hingga pada masa tuanyapun tidak tahan berdiam diri, selalu bepergian dan kurang akrab dengan cucu.
Tetapi kuakui beliau, orangnya pintar, berpendidikan tinggi pada jamannya serta menguasai dengan sangat baik; bahasa Inggris, Belanda dan tentu saja bahasa Batak.Â
Selain seorang veteran, ia juga mantan pegawai pemerintahan dari departemen sosial, namun yang nasibnya kurang beruntung pasca runtuhnya pemerintahan Soekarno setelah penumpasan PKI. Beberapa tahun kemudian setelah kepergian Opungboru, Opungdoli pun menyusul.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H