Hari Jum’at, hari yang aneh.
Bangun pagi hanya untuk tiba-tiba menangis dan sampai sekarang pukul 12:35 tangisan tiba-tiba ini tak kunjung berhenti. Sudah kusiasati padahal, ke WC, ke ATM, ke toko kelontong, ke warung makan, tapi saat kembali ke ruangan berukuran 4x3 meter ini aku menangis lagi. Tahu apa yang lucu? Saat bersiap mau pergi tadi mengaca pun aku menangis. Sepertinya diriku ini iba pada aku, di lubuk hatinya yang terdalam sedang mengasihani aku.
Bersusah payah membasuh muka (biar gak bengep ceritanya), memakai sunscreen sebanyak dua ruas jari sesuai anjuran, memoles bedak ee…ladalah malah mbrebes milii… Merasa tidak mungkin keluar dengan mata bengkak begini ku pakailah senjata pamungkasku. Setidaknya, sedikit menyamarkan mata yang tak enak dipandang ini, yaitu pakai eyeliner. Yaa.. daripada tidak sama sekali kan. Masalahnya, kalau pakai masker yang otomatis terlihat itu cuma mata. Nanti disangka alien.
Biasanya, saat berjalan kaki sendiri aku cenderung berjalan cepat. Selain karena kikuk, ya aku pingin biar cepat sampai sat set was wes. Tapi hari ini, kakiku melambat selambat-lambatnya bahkan ada dorongan ingin berhenti saja, menunduk memandangi kaki beralaskan sandal tipis yang di hujami panasnya matahari Malang. Harusnya kaki ini yang dipakaikan sunscreen. Tak sampai seperempat detik aku kembali berjalan, lambat dan gontai. Di pertengahan jalan aku baru menyadari kalau aku memakai celana dan cardigan hitam, santapan untuk matahari yang pas. Jujur, rasanya aku kepingin ndelosor di jalanan.
Tujuan pertama, ke ATM. Entah kenapa aku ngotot sekali untuk keluar ambil uang, padahal biasanya aku ini menganut sistem yang lagi tren sekarang ‘si paling cashless’. Ada empat mesin ATM di sana, dua paling kanan bisa untuk setor tunai begitu juga yang paling ujung kiri. Di bagian tengah sebelah kiri satu-satunya mesin yang hanya melayani tarik tunai. Tapi bukan itu yang penting, melainkan mesin manakah yang punya pecahan 50,000-an. Ketiga mesin setor tunai tentu memiliki nya, tidak untuk si tarik tunai yang hanya menyediakan 100,000-an saja. Alhasil, mesin itu sepi peminatnya. Orang berjejer antri di luar meski ada 1 mesin ATM nganggur di dalamnya. Tentu aku juga ikut mengantri yang pecahan lima puluh ribu walau uang yang diambil jumlahnnya tetap seratus ribu. Entah kenapa sepertinya uang seratus ribu yang hanya selembar itu kurang menarik. Ya walaupun nilainya besar tapi susah dapat kembalian. Dua lembar pecahan lima puluh ribu tentu lebih mengenyangkan isi dompet. Belum sempat bertransaksi malah ada kartu yang keluar dari mulut mesin — kenapa ga uang saja, spontan kuambil dan keluar berteriak mencari si empunya. Mataku beradu dengan seorang mbak-mbak yang baru saja akan menaiki motornya dan dia otomatis menggeleng ‘bukan aku’- gitu kali yaa. Dibantu bapak parkir yang ikut teriak mas-mas ber-hoodie hitam berbalik seakan baru sadar ‘ohh atm saya rupanya’ “makasih mbak” “yaa” jawabku yang menurutku itu sudah cukup ramah.
Tujuan berikutnya sebenarnya aku tidak yakin. Aku hanya berjalan asal masih sadar untuk menepi, jalanan sedang ramai. Melewati coffee shop yang sudah ada 1 pembelinya nangkring di depan toko. Atau bisa saja dia bekerja disana. Niatan untuk mampir ku urungkan setelah berpikir cepat bahwa harga kopi disana pasti 3x lipat dari kopi sachet yang kupunya. Lalu aku memutuskan berhenti di warung makan ‘emak’ di ujung belokan. Aku tidak kenal siapa emak ini aku hanya ikut-ikutan memanggil emak. Karena dulu, setahuku si emak ini sembari punya warung beliau juga jaga kost-an, dan semua anak kostnya memanggilnya emak — tapi aku bukan anak kostnya kan sudah kubilang aku hanya ikut-ikutan. Dibantu dengan dua orang lainnya warung emak tampak sibuk. Nyiapin nasi kotak buat di masjid, buat orang-orang yang bakalan sholat jum’at. Aku disuruh menunggu sebentar. Sambil duduk aku hanya memandangi awan yang bertumpuk rapi dan terlihat empuk di atas sana. Langitnya biru bersih dan cukup terang. Kenapa waktu kecil pensil warnaku tidak sebagus itu yaa.. Bising motor yang berlalu-lalang tidak mengganggu lamunan ku. “Ayam bakar ya, mbak?” “Ayam pedesnya gada, bu?” “habis, mbak” “oh..yaudah gapapa” cuma bisa pasrah. Bukan emak yang menanyaiku, tapi salah seorang dari dua orang yang kubilang tadi. Aku tidak tahu apa saja selain ayam yang dimasukkan dalam kertas bungkus itu. kuputuskan untuk membeli juga beberapa gorengan dihadapanku — pingin aja.
Setelah dari warung emak aku tidak ingin lekas pulang. Alih-alih berjalan lurus justru aku malah berbelok kanan kembali ke arah coffee shop tadi, berhenti tepat di sebelahnya. Sebuah toko kelontong yang bertransformasi jadi minimarket, karena di sini kasirnya sudah canggih, sudah pakai komputer yang ada tembaknya. Kulihat dengan seksama rak obat-obatan dari atas sampai bawah. Aku tidak tahu mau beli apa, hanya merasa aku harus beli sesuatu. Berbalik menuju rak lain berbagai jenis minuman terjajar dengan rapi, kubuka kulkas dan mengambil sebotol minuman bersoda merek Coca-Cola. Bimbang memilih antara yang kecil atau sedang dengan pebandingan harga yang tidak seberapa. Oke..yang sedang saja kalau begitu. Kenapa Coca-Cola? Aku juga tidak tahu, mungkin gara-gara video Tiktok yang sempat kulihat kemarin. Seorang mbak-mbak yang minum sebotol Coca-Cola lalu bersendawa seperti naga. Challenge katanya. Di kasir aku melihat permen kaki, tahu kan? Permen semasa kecil yang bisa jadi sudah seusiaku atau bahkan lebih tua dariku. “Berapaan, mbak?” “500” kuambil dua biji, kubayar dan pulang.
Sebetulnya cerita ini mau ku akhiri di sini, tapi aku masih ingin menulis jadi yasudah ku lanjutkan saja. Jum’at yang aneh ini belum habis.
Di jalan pulang lagi-lagi aku kepingin berhenti dan ndelosor saja, gak tau kenapa. Ku seret kakiku untuk tetap berjalan. Banyak kucing di jalanan ini. Mereka bisa muncul dan menyeberang tiba-tiba dan lewat begitu saja, ada pula yang malah tiduran di tengah jalan benar-benar tidak kenal takut. Kalau pun ada kendaraan lewat ya kendaraan itulah yang harus minggir, mungkin begitu pikir kucing-kucing ini, atau karena mereka tahu kalau nyawanya ada sembilan, konon katanya begitu kan..
Kalau-kalau itu aku yang bernyawa sembilan seperti kucing, kira-kira berapa kali aku akan menabrakkan diri?
Jangan terlalu serius hei, cuma bercanda.
Akhirnya kembalilah aku ke ruangan 4x3 meter ini. Lantai dingin yang ku duduki lebih nyaman daripada kasur di atas sana untuk pertama kalinya. Setengah dari isi botol Coca-Cola sudah ku tegak. Makanan yang tadi kubeli kubiarkan saja. Tidak nafsu makan. Ada beberapa notifikasi masuk diponsel yang aku tinggalkan, ku intip saja, lalu ku aktifkan mode jangan ganggu. Aku menyetel lagu melalui aplikasi ijo berbayar yang terkenal itu. Family Plan langsung bayar tiga bulan, hitungannya jadi jauh lebih murah.
Lagu pertama, Cigarettes Of Ours — Ardhito Pramono
Kalau dengar lagu ini bawaan nya sedih, dan benar saja, aku tiba-tiba menangis lagi. Speaker ponsel tepat di sebelah telingaku, berbaring miring di lantai sambil menangis tersedu entah apa yang sedang kuratapi. Rasanya sedih betul. Lagu selanjutnya kalau aku tidak salah ingat judulnnya
Anything You Want — Reality Club
padahal, beberapa hari yang lalu aku masih kesemsem sendiri pas dengar lagu ini. Hari ini tidak berlaku, aku tetap menangis.
Sampai detik ini, pukul 14:43 aku masih tidak tahu-menahu penyebab aku bisa tiba-tiba menangis. Memang, hari yang aneh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H