Mohon tunggu...
Shinta Marliana
Shinta Marliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aku adalah Mahasiswa yang sedang berjuang pada semester akhir ini

Ig : @shintamrlyna_

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dampak Pelaksanaan Harga Obat di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN)

29 November 2021   21:28 Diperbarui: 29 November 2021   21:43 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

   Untuk mewujudkan hak masyarakat yang dapat menikmati jaminan sosial kesehatan, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang meliputi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Melalui undang-undang ini, pemerintah menetapkan program jaminan kesehatan sebagai bagian dari rencana pembangunan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SKSN). Manfaat asuransi kesehatan wajib adalah pelayanan pribadi yang diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat-obatan dan bahan medis habis pakai. Namun sayang, tugas tersebut belum maksimal dilakukan karena peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih harus menanggung biaya sendiri atau biaya tambahan yang harus dikeluarkan peserta selain iuran.

   Obat adalah bagian yang terpenting dari pelayanan kesehatan. Sebelum JKN, biaya obat di Indonesia mencapai 40%-50% dari biaya operasional kesehatan, dan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Untuk memprediksi harga obat yang tinggi, Kementerian Kesehatan dan BPJS telah menyusun Formularium Nasional (Fornas) sebagai pedoman pelayanan kesehatan bagi seluruh institusi kesehatan. Pengadaan obat ini dilakukan melalui sistem katalog elektronik untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat.

   Dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia, harga obat di Indonesia masih sangat mahal-mahal. Penyebab tingginya harga obat di Indonesia adalah karena obat yang dijual di pasaran merupakan obat merek terdaftar, bukan obat generik yang umum digunakan oleh masyarakat yang diproduksi oleh pemerintah.  Selain lebih dari itu harga obat yang mahal ditimbulkan oleh tidak adanya regulasi terkait dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk obat dengan merk dagang. Di negara Indonesia sendiri ditemukan tiga jenis obat beredar, yakni obat generik, obat generik bermerk, dan obat paten.

  Lebih dari itu, harga obat yang mahal ditimbulkan adanya biaya promosi yaitu (marketing fee) yang tinggi dan pemberian gratifikasi (berupa sponsorsip dan/atau fasilitas langsung) kepada dokter dari pabrikan obat akibat persaingan yang tidak sehat. Menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah perusahaan farmasi di Indonesia mencapai 2104 perusahaan dengan jumlah distributor atau Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebanyak 2.087. Gambaran ini menunjukkan bahwa terdapat persaingan yang cukup ketat antar penyedia obat sehingga muncul persaingan yang tidak sehat, terutama pada mekanisme kerjasama antara perusahaan farmasi dan PBF dengan dokter.

    Di Indonesia, sistem katalog elektronik telah ada sejak tahun 2013, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah meluncurkan sistem pengadaan obat terbaru yaitu katalog elektronik, untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat. Tujuan perubahan sistem katalog elektronik adalah untuk mempermudah pengadaan obat oleh rumah sakit, tanpa perlu melakukan negosiasi yang rumit dengan produsen, mengurangi terjadinya kenaikan harga atau kenaikan harga obat di berbagai daerah, dan mewujudkan pemerataan harga obat. . Seluruh Indonesia, dan mendukung kegiatan BPJS. Badan Pengelola Jamsostek) sehat dan terhindar dari kesulitan distribusi di daerah.

   Achmad mengatakan: “Dalam rencana pengendalian harga obat, sistem katalog elektronik (e-catalog) Kementerian Kesehatan sangatlah  efektif dan efisien. Harga  separuh obat di pasaran dapat mencapai Rp 2,2 juta, tetapi hanya ada Rp 1,9 juta di katalog elektronik, kata Achmad, kelemahannya terletak pada mahalnya biaya distribusi ke berbagai daerah, sehingga menguntungkan bagi industri kecil.

    Instansi kesehatan di semua tingkatan juga telah mengatur penggunaan obat untuk menghindari penggunaan obat yang tidak rasional. Situasi ini diharapkan dapat mengurangi korupsi dengan menghilangkan perilaku suap/kepuasan perusahaan farmasi dalam obat resep. Di sisi lain, pembelian narkoba yang menjadi sasaran korupsi ditutup melalui sistem katalog elektronik. Namun dalam proses implementasi FORNAS dan katalog elektronik sebagai alat pengendalian mutu, pengendalian biaya dan pencegahan korupsi dalam tata kelola obat, masih terdapat beberapa kendala yang menghambat pencapaian tujuannya dengan sebaik-baiknya. Ketidaksesuaian antara obat di FORNAS dengan obat yang muncul di katalog elektronik, perbedaan daftar obat di FORNAS dengan pedoman praktik klinik (PPK), tidak ada aturan yang mengatur minimal kepatuhan FORNAS dalam resep rumah sakit, , keterlambatan proses tayang obat di E-catalogue serta kelemahan pada aplikasi E-catalogue adalah serangkaian permasalahan yang masih menghambat FORNAS dan E-catalogue menjadi solusi pencegahan korupsi di tata kelola obat JKN. Instansi terkait (Kementerian Kesehatan dan LKPP) perlu melakukan perbaikan berupa penyusunan aturan yang mendorong kepatuhan implementasi FORNAS di setiap tingkat fasilitas kesehatan, pemenuhan item obat FORNAS dalam E-catalogue, penanyangan obat FORNAS tepat waktu di E-catalogue serta perbaikan fitur aplikasi E-catalogue.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun