Covid-19 atau coronavirus merupakan pandemi yang saat ini menjadi perhatian di dunia. World Health Organization (WHO) menetapkan virus tersebut sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 dan mengimbau masyarakat agar tidak panik dan tetap menjaga kebersihan. Covid-19 memasuki Indoenesia pada awal Maret 2020 yang saat itu diumumkan langsung oleh presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengatakan bahwa terdapat dua orang yang positif terpapar Covid-19 yaitu perempuan berusia 64 tahun dan putrinya berusia 31 tahun. Saat itu Jokowi memastikan bahwa mereka akan dirawat di rumah sakit dengan pengamanan intensif.
Perwakilan World Health Organization (WHO) untuk Indonesia, Dr. Navaratnasamy Paranietharan mengatakan bahwa Covid-19 jika menyerang anak-anak pengaruhnya tidaklah besar, namun ketika virus tersebut menyerang orang yang berusia 60 tahun keatas dan memiliki penyakit lain seperti jantung dan diabetes maka infeksinya berubah menjadi penyakit parah (pajakku.com).
Sejak masuknya virus corona ke Indonesia hingga saat ini 5 April 2020 pukul 12.00 WIB pasien yang terpapar positif Covid-19 ada 2.273, 164 sembuh dan 198 meningal serta muncul statement mengenai siapa saja yang mudah terpapar virus corona tersebut memberikan dampak kepanikan yang cukup tinggi bagi masyarakat Indonesia, hingga menimbulkan panic buying berupa, misalnya, makanan, masker, ataupun alat pelindung diri dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Â Selain itu, kepanikan yang tinggi juga dirasakan oleh perekonomian. Salah satunya sentiment pasar keuangan Indonesia yang berpengaruh kepada Nilai tukar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan aliran modal asing.
Nilai tukar rupiah yang terus bergejolak (Volatile) karena faktor sentiment negative dari penyebaran Covid-19 dan kebijakan bank sentral AS the Fed yang menurunkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate) kisaran 0.00 -- 0.25% atau mendekati 0%. Hal tersebut mengakibatkan banyak dana investor asing keluar dari Indonesia sehingga membuat rupiah bergejolak. Selain itu the Fed juga melakukan quantitative easing sebesar USD700 miliar untuk membeli obligasi pemerintah AS yang kemudian direspon oleh bank sentral lainnya untuk memberikan stimulus seperti Negara Selandia Baru, Korea, dan Cina (aa.com.tr). Â pembelian dalam skala besar dan menghidupkan kembali beberapa alat kebijakan likuiditas, sebagai upaya untuk menjaga ekonomi AS yang mengalami kelesuan akibat pandemi covid-19 (News.topgrowthfutures.co.id).
Pelemahan rupiah dinilai juga karena terlambatnya pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19. Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI, Eric Alexander Sugandi menyampaikan bahwa lambatnya respons itulah menyebabkan kepercayaan pasar bagi investor menurun. Para pelaku financial global yang berinvestasi di Indonesia menarik kembali dananya untuk dilarikan ke safe haven,terutama pada US Treasury securities dan emas (Republika.co.id).
Munyama dan Todani (2005) menjelaskan definisi volatilitas nilai tukar adalah tingkat kecenderungan nilai tukar untuk berubah. Arifin dan Mayasya (2018) menjelaskan bahwa volatilitas nilai tukar merupakan salah satu ukuran dari risiko nilai tukar. Artinya semakin besar volatilitas nilai tukar maka semakin tidak stabil (apresiasi atau depresiasi mata uang) dan semakin beresiko. Volatility yang tinggi menunjukkan fluktuasinya relative tinggi dan diikuti fluktuasi yang rendah dan kembali tinggi atau memiliki rata-rata dan varian yang tidak stabil. Sehingga ketika suatu nilai tukar mata uang mengalami volatilitas yang ekstrim, maka perekonomian akan mengalami ketidakstabilan baik dari sisi makro maupun mikro.
Hubungan dari volatilitas nilai tukar USD terhadap nilai tukar rupiah menurut Arifin dan Mayasya (2018) yaitu hasil dari tekanan permintaan yang melebihi kemampuan penawaran. Sehingga, nilai tukar terus bergerak naik. Dalam kondisi tersebut, masyarakat yang memiliki dana rupiah dalam jumlah yang besar bergerak untuk mengamankannya dengan melakukan konversi dari rupiah ke dolar AS (atau cenderung membeli dolar AS). Di lain sisi, masyarakat yang memiliki kewajiban dalam bentuk valas juga akan mencari aman dengan menutup kontrak forward agar diperoleh kepastian tentang berapa jumlah yang harus dibayar dalam rupiah pada saat kewajibannya telah jatuh tempo. Kenaikan volatilitas nilai tukar menyebabkan depresiasi atau melemahnya nilai tukar. Dan sebaliknya ketika terjadi penurunan volatilitas nilai tukar maka menyebabkan apresiasi atau menguatnya nilai tukar. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan positif signifikan antara volatilitas nilai tukar dengan nilai tukar.
Sejak Pandemi tersebut mulai merambah di indonesia, Bank Indonesia pada 19 Maret 2020 memutuskan untuk melakukan penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75% dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%. Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia sebagai stimulus moneter untuk menjaga stabilitas pasar keuangan (salah satunya nilai tukar rupiah).
Nilai tukar rupiah sendiri terus berfluktuasi melemah ataupun menguat. Pada 1 April 2020 kurs rupiah berada diposisi Rp.16.413 berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar rate (Jisdor) melemah 46 poin atau 0, 28% dari sebelumnya pada 31 Maret 2020 sebesar Rp.16.367. Pada Januari hingga 30 Maret capital outflow jumlahnya Rp.167,9 triliun dan capital outflow yang keluar dari Indonesia sebagian besar adalah Surat Berharga Negara (SBN) Rp.153,4 triliun dan saham Rp. 13,4 triliun. Masifnya capital outflow tersebut mendorong kepanikan global sehingga dapat menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo pada 31 Maret 2020 bahwa rupiah bergerak dalam mekanisme pasar yang baik meskipun ketidakpastian masih relative tinggi namun tekanan dari global mulai mereda. Pada 2 April 2020 kurs rupiah sebesar Rp. 16.741 berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar rate (Jisdor) melemah kembali sebesar 328 poin dari sebelumnya Rp.16.413. Kurs rupiah terus bergejolak dan menguat pada 3 April 2020 sebesar Rp.16.464 dari sebelumnya Rp.16.741.
Dalam video conference pada 2 April 2020, Gubernur Bank Indonesia menyampaikan bahwa nilai tukar rupiah saat ini mulai memadai dan diyakini akan bergerak stabil serta cenderung menguat ke sekitar Rp.15.000 per dolar AS pada akhir tahun ini. BI juga meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan lebih rendah dari 2,3% pada tahun 2020. Selain itu, BI menegaskan bahwa akan melakukan pembelian SBN , dhi. SUN/SBSN jangka panjang di pasar perdana untuk membantu pemerintah dalam membiayai penanganan dampak pandemic covid-19 terhadap sistem keuangan yang telah diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 2020 yang sebagai "The Last Resort" (pembelian SBN di pasar perdana oleh BI dilakukan dalam hal kapasitas pasar tidak dapat menyerap seluruh SBN yang diterbitkan Pemerintah antara lain karena yield tinggi dan tidak rasional), bukan dalam rangka bail-out atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).