Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Papua yang Saya Kenal (Bagian 3: Ke Sekolah)

17 September 2021   21:06 Diperbarui: 25 Desember 2021   15:41 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SD Kristus Raja (Dok. Kemdikbud)

Bagian sebelumnya...

Salah satu kenangan yang paling membekas ketika saya di Irian adalah masa sekolah walau itu tidak lama, hanya tiga tahun di SD dan satu tahun di SMP.

Kami pindah ke Jayapura tepat saat saya naik ke kelas empat. Ayah saya meminta tolong seseorang untuk mendaftar ke satu SD, dan jadilah saya masuk ke SD Kristus Raja, sebuah sekolah swasta di bawah naungan agama Kristen Katholik. Saat itu ada tiga sekolah swasta yang menonjol di sana. Satu adalah SD Kristus Raja, kemudian SD Yapis yang di bawah Yayasan Pendidikan Islam, dan satu lagi adalah SD Paulus yang ada di bawah naungan agama Kristen Protestan.

Yang paling dekat jaraknya seharusnya adalah SD Paulus yang bertempat di kompleks yang sama dengan Gereja Paulus yang ada di ujung atas jalanan rumah kami. 

Kalau SD Kristus Raja sendiri masih lanjut kalau kita ambil jalan turun. Terus saja tidak begitu jauh sampai kelihatan laut. SD Kristus Raja tepat berada di seberang Stadion Mandala yang berada dekat pantai. Stadion olahraga ini adalah salah satu venue utama Pon Papua 2021.

Gedung sekolah di Jakarta boleh bertingkat dua atau tiga, bahkan lebih. Tetapi di Jayapura yang tingkat bukan gedungnya, melainkan tanahnya. Saat saya sekolah di sana dulu, ruangan kelas hanya punya satu tingkat. Namun kemudian ada jalanan menanjak yang menuju ke ruang-ruang kelas yang lain. Anak-anak suka berlarian di lereng tanah membukit itu saat jam istirahat. Kalau saya tentu tidak berani memanjat-manjat. Lewat jalan yang biasa saja.

Saat itu kelas 4 giliran masuk siang jadi jam pulang adalah sekitar jam lima. Suasana sore mesti sudah tidak terik lagi dengan angin sepoi-sepoi yang sejuk. Saya sangat menikmati saat-saat itu. 

Biasanya ada mobil yang mengantar dan menjemput ke sekolah. Tetapi jika penjemputnya tidak bisa datang, saya jalan kaki pulang. Tidak lewat jalan biasa seperti saat berangkat karena jalan yang menanjak akan cukup curam, tetapi kita akan memotong jalan lewat belakang Kathedral.

Berbicara soal antar jemput, beda lagi kasusnya kalau berangkat. Beberapa kali penjemput tidak kunjung datang ke rumah, sedang hari sudah semakin siang. Kalau itu yang terjadi biasanya saya akan ikutan ibu tetangga belakang rumah yang akan mengantar anaknya ke TK. Yang bikin istimewa adalah ibu ini bukan menyetir mobil tetapi mengendarai motor bebeknya.

Jadilah kita bertiga, si ibu di tengah, anaknya di depan, dan saya di belakang, meluncur turun dengan motor. Mind you, tahun 80-an itu belum model orang pakai helm saat naik motor, jadi yah tidak satupun di antara kita yang pakai helm. Ibu itu sih tidak ngebut tapi karena jalanannya yang menukik akhirnya rasanya agak-agak seperti lagi naik roller coaster. Untung kita tidak pernah nyungsrup ke pagar tetangga.

Hari-hari pertama di sekolah rada kacau kalau dilihat dari segi akademik. Rupanya mereka sudah mulai ada ulangan2 walau tahun ajaran belum terlalu lama mulai. Saya masih ingat sekali nilai ulangan IPS saat itu 3, sedang IPA 4.

Boleh dong saya membela diri dengan bilang kalau untuk IPS saya jelas tidak menguasai karena misalnya soal-soal itu tentang pengetahuan peta Irian Jaya pada saat itu. Bagaimana saya bisa tahu nama-nama sungai, selat, maupun teluk di sana? Walaupun ada satu kesalahan yang semua orang pun akan setuju kalau itu kesalahan tolol. Masak jawaban saya untuk binatang khas di Irian itu sapi! Bagaimana saya lupa tentang burung cenderawasih? LOL!

Sedangkan nilai 4 untuk IPA tidak ada pembelaan diri sama sekali kecuali, yah, saya kan masih jetlag. Hehehe.

Lulus dari SD, seperti mayoritas teman-teman yang lain, saya melanjutkan ke SMP 1. Bisa dibilang ini sekolah unggulan pertama di Jayapura yang kebetulan juga tetangga dekat SD Kristus Raja. Tinggal naik tangga sedikit langsung sampai di belakang SMP 1 atau tepatnya penjual es buah yang segar sekali.

SMP 1 ini bertingkat tiga, tanahnya bukan gedungnya, pada saat itu. Deretan ruang kelas ada di bagian tengah dan bagian bawah, sedang naik lagi ada ruang perpustakaan. 

Saya lupa ada ruang apa lagi yang dekat perpustakaan. Di dataran paling bawah ada ruang yang berbentuk theater dengan deretan kursi bertingkat-tingkat. 

Sayangnya ruang itu tidak benar-benar digunakan dan sepertinya sudah sangat kuno dan berdebu. Saya memasuki ruangan itu untuk praktek mata pelajaran elektro.

Mata pelajaran olah raga kebanyakan kami lakukan di lapangan Mandala kecuali kalau sedang hujan. Masalahnya buat saya adalah ke dan dari Mandala teman-teman lebih memilih untuk mengambil jalan pintas lewat lereng dan semak-semak. Saya paling takut untuk naik-turun gunung walaupun jaraknya seharusnya tidak terlalu jauh. 

Tetapi tetap saja seraam. Saya selalu memohon beberapa teman untuk menemani mengambil jalan memutar lewat jalan raya. Kadang ada yang mau, tetapi seringnya tidak. Akhirnya terpaksa lewat jalan pintas walau harus diseret-seret.

Waktu kelas satu itu saya dapat kelas yang ruangannya paling ujung lumayan jauh dari kantor guru dan kepala sekolah. Alhasil kelas kami terkenal lumayan berisik dan bandel. Tidak jarang kami dapat giliran dijemur di bawah sinar matahari di depan kelas.

Kadang ada razia buku-buku pelajaran, buku catatan, dan lain-lain. Terus terang saja saya saat itu termasuk murid yang sering dapat ranking tinggi di kelas. Tidak heran kalau murid-murid lain menganggap saya itu murid alim. Jadi ketika razia buku dilancarkan dan ketika buku catatan saya ikut terjaring lantaran banyak hiasan-hiasan di dalamnya, karuan saja banyak orang yang heran.

Begitu banyak kenangan-kenangan di masa itu. Kalau saya bisa memutar kembali waktu, saya pasti akan balik ke sana. Namun berbagi memori itu di sini juga menyenangkan. Pasti akan saya sambung lagi. Cheers!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun