Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Papua yang Saya Kenal (Bagian 1: Kedatangan)

9 September 2021   17:03 Diperbarui: 25 Desember 2021   15:44 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi Papua akan menjadi salah satu kata yang paling populer. Ia akan menjadi buah bibir. Semua orang akan membicarakannya dan menyebut-nyebut namanya seolah mereka semua sangat mengenalnya. 

Yah, tentu beberapa dari mereka memang kenal padanya. Namun saya yakin kurang dari setengah dari mereka tahu Papua seperti saya atau orang-orang yang pernah tinggal di sana mengenal daerah di ujung timur Indonesia itu.

Namun perlu dicatat sebelumnya bahwa yang saya kenal bukanlah Papua, melainkan Irian Jaya. Saya tahu para Putra daerah lebih mengkehendaki nama yang baru. Secara politis, nama Irian Jaya mengingatkan pada seseorang pada satu periode masa tertentu, tetapi entah mengapa nama itulah yang terpatri di ingatan maupun di lidah saya.

Keluarga saya pindah ke sana saat Ayah dipindahtugaskan oleh kantornya. 

Saat itu saya naik kelas empat SD. Saya ingat betapa bersemangatnya saya untuk pergi ke daerah baru walau merasa sedih juga harus berpisah dengan teman-teman di Jakarta. Begitu bersemangatnya sampai saya termimpi-mimpi sudah berangkat ke Irian. 

Di mimpi itu saya disambut di sebuah gerbang yang tidak begitu besar yang ada di depan hutan. Tuh kan, sampai sekarang saja saya masih ingat mimpi itu, padahal itu sekitar 40 tahun yang lalu!

Mendarat di pelabuhan udara Sentani, ternyata bukan berupa hutan juga. Tapi tetap saja membuat saya tercengang. 

Saya yang berangkat dari airport Kemayoran saat itu di Jakarta, yang tentu saja di sekelilingnya adalah rumah, gedung, dan udara pengap berpolusi, kemudian landing di suatu daerah terbuka berupa lembah yang sangat luas yang dikelilingi pegunungan, langit biru, dan udara yang luar biasa, bersih, segar, dan dingin. 

Aduuh. Rasanya kepingin mengalami lagi saat ini. (Emoticon tangis) Saat itu tidak ada rasa rindu sedikit pun dengan rumah di Jakarta. Tidak ada yang namanya homesick. Saya jatuh cinta pada Irian bukan pada pandangan pertama tapi pada pijakan kaki yang pertama.

Perjalanan dari Sentani ke Jayapura memakan waktu cukup lama, sekitar satu jam. Anda mungkin berpikir, cuma satu jam? Yah, perjalanan ini melewati jalan yang berliku-liku, meski sudah beraspal juga tentu saja, naik turun melewati pegunungan, dan hanya hutan dan pohon-pohon saja sepanjang jalan. 

Dan ingat, tidak ada macet sama sekali! Oh ya, kita juga melewati Danau Sentani yang sangat indah. Sebagai informasi, danau ini dulunya berair asin walau sekarang sudah berubah menjadi air tawar.

Kita juga melewati kota kecil bernama Abepura, tetapi jangan berpikir tentang Abepura yang sekarang yang sudah punya mall ya. 40 tahun yang lalu kota itu masih jauh lebih sepi.

Memasuki kota Jayapura, saya lebih tercengang lagi. Well, Ayah saya yang sudah tinggal terlebih dahulu selama beberapa lama di Jayapura memang pernah menunjukkan foto-foto kota ini. 

Yang paling mengagumkan adalah bahwa kota ini terdapat di lereng gunung yang langsung menghadap ke laut. Silakan dibayangkan betapa indahnya. 

Ada satu foto yang memperlihatkan Jayapura di waktu malam di mana lampu-lampu dari daratan tampak pantulannya di laut. Benar-benar menyerupai pemandangan di Hong Kong! (Walau saya sendiri belum pernah ke Hong Kong. Hehe.)

Jadi pada saat itu saya tidak lagi melihat foto-foto Ayah saya. 

Saya menyaksikan sendiri bagaimana keadaan kota Jayapura dengan pemandangan pantainya sepanjang jalan menuju rumah kami, jalanan yang mulai menanjak ketika kami meninggalkan pusat kota, dan akhirnya tiba di rumah. Bayangkan saja jalan menanjak di depan rumah dengan kemiringan hampir 60 derajat. 

Paling tidak kita tidak pernah kebanjiran di sini karena airnya sudah langsung kabur ke bawah. Masalahnya untuk tukang sayur di sini pasti sangat kelelahan kalau harus jalan mendaki. Saya lupa sih apakah mereka jalan kaki sambil mendorong gerobak atau bagaimana. 

Yang kasihan adalah satu tetangga yang ada di bawah rumah kami. Banyak sekali motor yang tergelincir dan menabrak pagarnya. Si pengendara motor memang kasihan juga, tetapi tetangga kami itu jadi beberapa kali harus mengganti pagarnya yang rusak.

Baiklah. Sampai sini dulu perjalanan kenangan saya. Masih banyak sekali yang ingin saya bagi. Untuk bagian selanjutnya akan saya ceritakan lebih jauh tentang rumah kami. Cheers!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun