"Bukan tempat saya untuk menjelaskan siapa dia, Nona Molly. Tapi dengan jujur saya katakan ia mempunyai hak yang sama besar dengan anda atas tempat ini."
"Apa?" Molly tidak percaya apa yang ia dengar. Ia tidak mungkin tinggal di rumah bersama dengan seorang laki-laki yang bukan apa-apanya. Apa kata orang nanti? Tapi ia tidak mungkin meninggalkan rumah ini pula. Ia sudah keluar dari rumah kos-nya, lagi pula ini rumahnya. Hak-nya, yang diwariskan seseorang padanya. Ia tidak perlu menyewa kamar untuk tempat tinggalnya lagi. Ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu melainkan untuk perawatan rumah yang merupakan miliknya, makan, pakaian, dan kebutuhan lainnya. Kalau dipikir-pikir mungkin ia bahkan bisa membuka usaha rumah kos-nya sendiri.
Tapi satu hal sudah pasti. Ari harus keluar dari rumah ini.
"Tidak akan."
Molly mengangkat wajahnya dengan terkejut. Tanpa sadar ia telah mengucapkan pikirannya keras-keras. Dilihatnya Ari menatapnya, matanya memancarkan ketetapan hatinya.
"Kalau begitu jelaskan padaku mengapa."
"Ceritanya panjang."
Molly mengangguk. "Baik. Kalau begitu kita bisa putuskan untuk menjual saja rumah ini dan membagi dua hasilnya."
"Tidak." Ari melangkah dari balik meja bar dan berjalan ke meja oval, duduk di salah satu kursi di sana. "Bukan itu masalahnya, uang atau pembagian warisan. Kau berhak atas rumah ini sepenuhnya. Bukan aku. Tapi rumah ini yang penting dan karena itu kau tidak bisa mengusirku dari sini. Aku punya ijin khusus untuk tinggal di sini."
"Aku tidak baca itu di surat wasiat Pak Yudi."
"Karena hal tersebut ada di surat satunya," kata Anton.