Purist kalau menurut Google Translate artinya murni, misalnya orang yang mempertahankan kemurnian bahasa, dan lain-lain.Â
Well, untuk kasus saya mungkin berbeda, karena yang saya maksud adalah saya kembali mengkonsumsi hal-hal yang bersih, atau paling tidak saya usahakan untuk itu.
Maafkan kalau saya malah membuat anda tambah bingung. Ijinkan saya untuk mulai dari awal cerita ini, sekitar pertengahan 2017.Â
Saat itu adalah bulan Ramadhan, dan seperti biasa sesudah kami makan sahur, kami juga minum multivitamin untuk menambah daya tahan selama seharian puasa.Â
Nah pada saat itu setelah saya minum kaplet vitamin itu tiba-tiba saya merasa perut saya tidak karuan.Â
Saya merasa mual dan ingin ke belakang. Ketika itu saya hanya berpikir sepertinya saya tidak cocok dengan vitamin yang satu ini. Itu pun saya katakan ke orang-orang di rumah, dan saya putuskan untuk tidak mengkonsumsi vitamin itu di hari-hari selanjutnya.Â
Hari itu saya lalui seperti biasa, tetap berpuasa, bekerja di kantor, buka puasa masih di kantor, dan pulang sekitar jam 9 malam. Hal yang biasa saya lakukan sehari-hari.
Untuk beberapa hari berikutnya semua berjalan baik-baik saja. Pulang jam 9 dari kantor, tiba di rumah sekitar 9.30 -- 10, beres-beres rumah sebentar, dan baru makan malam sekitar jam 11.Â
Di saat puasa saya memang tidak terbiasa langsung makan berat ketika berbuka, namun saya makan cukup banyak cemilan manis, gorengan, bubur, atau apa pun yang tersedia atau sudah saya beli untuk berbuka. Saya pikir itu semua sudah cukup jadi tak apa kalau baru makan nasi agak malam.
Sampai pada satu malam ketika saya sampai rumah, saya tiba-tiba terasa sangat lapar sampai gemetar. Saya bilang ke adik saya untuk bisa makan dulu baru beres-beres rumah. Dia bilang tentu saja. Saya pun mengambil nasi dan lauk, dan duduk untuk mulai makan.
Dan saya tidak sanggup makan. Saya merasa mual berat.
Saya mulai khawatir. Saya bilang ini rasanya sama seperti ketika sesudah minum multivitamin tempo hari. Malam itu saya kemudian minum teh panas dan bisa makan nasi sedikit-sedikit. Keesokan harinya saya puasa seperti biasa.
Beberapa hari kemudian, saat itu setelah berbuka puasa, saya bilang ke teman sekantor yang juga biasa stay late di kantor bahwa saya kok merasa dada saya sesak. Dia tanya saya habis makan apa, saya bilang bubur sumsum. Teman saya bilang mungkin saya kena maag-nya karena adiknya juga sesak kalau lagi kambuh.Â
Saya mengobrol sedikit dengan temanku itu tentang maag dan kembali kerja. Namun lama kelamaan sesak ini makin menjadi. Saya permisi untuk pulang lebih dulu, dan di jalan saya memutuskan untuk belok ke rumah sakit yang ada dekat kantor.
Di UGD di rumah sakit tersebut, karena saya juga mengeluh jantung saya berdebar selain merasa sesak napas, dokter jaga memutuskan untuk memeriksa jantung saya dengan EKG.Â
Hasilnya, semua normal. Mereka pun mencurigai ada yang salah dengan pencernaan saya. Saya pulang dengan membawa obat-obatan untuk sakit lambung.Â
Oh ya, malam itu adik saya jauh-jauh datang untuk menjemput saya. Saya merasa bersyukur juga karena rasanya saya tidak sanggup kalau jalan sendiri.
Obat-obatan itu lumayan membantu tetapi beberapa hari kemudian saya merasa sesak lagi. Kali ini saya pergi ke rumah sakit dekat rumah. Internist tidak bisa memastikan apa yang salah tanpa pemeriksaan menyeluruh. Cek USG yang saya lakukan tidak menunjukkan apa-apa. Satu-satunya jalan, saya harus menjalani endoscopy.
Dan benar saja. Dari hasil pemeriksaan terlihat bahwa lapisan lambung saya bagian dalam itu sudah berdarah-darah. Saya terkena GERD, gastroesophageal reflux disease. Saya langsung dapat obat dengan jumlah lumayan dan dikunjungi seorang ahli gizi di kamar rumah sakit tempat saya dirawat.Â
Singkatnya, saya harus mengubah pola makan saya yang selalu telat. Sarapan lebih pagi, snack atau buah sekitar jam 10 dan sore hari, lunch, makan malam sekitar jam 7, dan agak malam lagi makan snack atau buah lagi. Makan lebih sering dengan jumlah sedikit-sedikit.
Ahli gizi itu juga memberi daftar makanan yang dilarang dan diperbolehkan. Sayuran yang bergas tentu tidak dianjurkan, begitu pula dengan buah-buahan yang rasa dasarnya asam.Â
Setelah itu segalanya yang bergetah juga harus dihindari, misalnya timun. Timun ini jadi salah satu musuh saya sampai sekarang.Â
Makanan berserat biasanya dianjurkan, tapi tidak untuk saya karena proses mencernanya yang lama akan berat untuk lambung. Minyak sangat dikurangi. Hanya diperbolehkan untuk makan gorengan tiga potong sehari.Â
Telur tiga butir untuk seminggu. Menghindari coklat, durian, kacang-kacangan. No peanut butter. Dan, ini yang paling penting, cabe dan lada tidak boleh sama sekali. Saya pernah membaca bahwa lada boleh dikonsumsi karena ia tidak setajam cabe.Â
Tapi saya memutuskan untuk tidak sama sekali. Oh ya, juga tidak boleh mie, apalagi mie instan. Goodbye, mie ayam.
Pokoknya, saat itu saya sangat taat mengikuti diet lambung tersebut. Imbasnya ternyata ke mana-mana. Saya tidak bisa makan sayur sop karena biasanya dia berlada ditambah biasanya penuh dengan kol. Saya akhirnya membawa bekal dari rumah karena makanan dari warteg sekitar kantor semua penuh dengan hal-hal terlarang.Â
Saya mulai terbiasa dengan masakan semur mama yang hanya terasa asin dan manis tanpa lada sama sekali. Sekali waktu saya coba beli soto ayam di warung dengan seluruh ingredients terendam kuahnya yang sangat berminyak. Hasilnya? Saya langsung merasa sesak lagi.
Ada dua sisi koin yang terjadi sebagai akibat dari pengaturan makan yang ketat tersebut. Pertama, lidah jadi sangat sensitif dengan cabe. Terasa pedas sedikit saya sudah kipas-kipas lidah dan minum air yang banyak.
Di lain pihak, karena begitu banyaknya jenis makanan yang harus dihindari, berat badan merosot tajam, turun hingga lebih dari 10 kilo.Â
Rambut saya yang biasanya tebal mengembang jadi menipis dan warnanya pudar dari hitam jadi coklat kemerahan.Â
Namun, keadaan lambung berangsur membaik meski saya benar-benar harus menjaga diri. Salah makan sedikit saja si GERD langsung mendatangi.
Saat ini, empat tahun sejak saya terkena penyakit itu, keadaan saya sebenarnya sudah kembali seperti normal. Namun ternyata saya terlena. Akhir-akhir ini baru saja saya kumat lagi dan sepertinya kali ini lumayan berat.Â
Akhirnya saya pun mulai membatasi lagi apa-apa yang saya konsumsi. Makanan saya usahakan yang lebih bersih, murni. Saya kembali lagi menjadi seorang purist.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H