Kathmandu adalah sebuah kota eksotik, kota yang berpenduduk ramah. Budaya Hindu Budha yang kental,  beralkurturalisasi dengan budaya kota dunia dan bersinggungan baik dengan para turis di seluruh dunia,  terutama mereka yang punya hobi treking.  dan  pendakian pegunungan Himalayalah yang menjadi magnet bagi mereka. Saya sendiri sudah beberapa kali ke Kathmandu, namun ini kali pertama melakukan pendakian bersama  suami dan kakak saya.
Hari pertama di Kathmandu, kami berjalan-jalan di sekeliling Thamel, Â sebuah pusat perdagangan tradisional yang sibuk, berbagai kios-kios suvenir sampai kios-kios alat perlengkapan pendakian yang lengkap ada di sana, surga bagi para pendaki untuk berbelanja. Merek-merek Outdoor Gear terkemuka semua tersedia dari yang asli sampai yang KW, dari North Face sampai North Fake bisa kita temukan.
Nongkrong di Thamel itu salah satu yang paling saya suka, sambil minum kopi di kedai menikmati suasana keramaian hilir mudik para pendaki, suasana yang sukar diceritakan dengan kata-kata.
Di depan Counter Check-in , orang  sudah-hilir mudik berseliweran. Suasana serasa berada dalam sebuah bazar para penjual outdoor equipment.  Berbagai merk lalu-lalang di sana ; The North Face, Osprey, Karrimor, Lowe; Alpine, Salomon, Under Armour, Columbia, Berghaus dll,  mulai dari sepatu di ujung kaki sampai aksesoris di ujung rambut ada semua. Day packs, Carriers juga duffle bag berserakan di segala sudut ruang.
Tidak masalah, kami hanya delay 3 jam. Semua sabar menanti, karena kami sudah dibekali informasi mengenai faktor keterlambatan untuk penerbangan Kathmandu - Lukla selain teknical problem, faktor utama lainnya adalah cuaca. Saat tidak ada pesawat yang terbang dari Lukla, sudah pasti tidak akan ada penerbangan dari Kathmandu ke Lukla. Pembatalan penerbangan bahkan bisa juga berhari-hari.
Landasan Lukla begitu sempit dan pendek sekitar 527 meter saja, hanya bisa didarati pesawat kecil yang bermuatan maksimal 17 orang berikut crew.
Penerbangan Kathmandu - Lukla memakan waktu tidak sampai satu jam. Tapi semenjak take off adrenalin sudah mulai diobok-obok. Dornier 228 pesawat kecil berbaling-baling pontang-panting menembus lorong di antara celah pegunungan, disenggol turbulensi berkali-kali. Kami merasa seperti capung yang sedang mengembara di tebing jurasic, sementara berpasang mata pterosaurus seolah sedang menaksir, seberapa layak capung ini jadi menu sarapan mereka.
Melihat daftar menu di cafe ini, kami mulai percaya dengan omongan orang  tentang menu makan bercita rasa berbagai bangsa yang tersaji di sepanjang jalur pendakian EBC. Piza, spagheti, berbagai macam soup, toast, sandwich, ramen dan beragam menu internasional lainnya.