Chapter 1
“Neng, bokap lu mau kawin lagi ya?” temanku Neli nyelonong masuk ke kamar kosku tanpa tedeng aling-aling langsung nyerocos gak jelas. Entah darimana dia tahu kalau bokapku mau kawin lagi. Dasar kupingnya memang bisa aja nangkep gossip terbaru.
Selain kupingnya yang emang awas, Neli ini mulutnya juga seperti bebek, kucing, burung yang selalu berkicau, mengeong tanpa henti, selalu bertanya sampai aku tidak ada pilihan lain selain ngejawab dia. Astaga.. kalau dia bukan temenku dari bangku SD, SMP, SMU, sampe kuliah gini gak bakal deh tahan dengerin celotehnya dia yang seenak perut. Gak tau orang lagi ilfeel apa?
“Tau dari mana kamu, Nel,” sahutku keki. Ini adalah salah satu topik yang paling aku benci, ngobrolin tentang kehidupan keluargaku, terutama bokapku alias ayahku yang doyan banget main cewek. Untungnya aja tuh bokap udah cerai ama mami, kalau enggak.. mungkin aku gak bakal bisa tidur telentang sambil baca buku novel kesukaanku di kamar kos kecil ini.
“Aduh, jangan galak-galak gitu donk, Neng. Lu kan tahu kalau gw punya banyak kenalan yang tinggal disekitar rumah cewek bokap lu.”
Nampaknya Neli bangga banget punya mata-mata dimana-mana. Dia memang bisa diandalkan dalam mengumpulkan keterangan-keterangan orang-orang disekitar. Keahliannya ini cukup membuatku senang tatkala kami mengerjakan tugas praktek ilmiah ke desa terpencil mengumpulkan data-data mengenai kebiasaan-kebiasaan masyarakat disana. Neli tanpa malu-malu akan langsung bertanya pada setiap masyarakat yang dilihatnya melintas di depan kami duduk.
“Trus kenapa emang kalau bener?” tanyaku asal, belum ingin mengiyakan pertanyaan awalnya.
“Ya, gak apa-apa sih. Gw cuman takut aja kalau lu mencak-mencak lagi kayak biasa,” jawabnya cengengesan.
Aku mendengus, anak ini meski terlihat slengekan dan semau guwe.. dia itu temen yang baaaaikkkk banget. Aku inget dulu waktu kami masih SD, masih zaman pake pita merah dirambut kuncir kami, waktu jam istirahat Neli yang cuman berbekal duit lima ratus perak rela beliin aku es campur yang harganya dua ratus perak. Waktu itu aku tidak membawa uang jajan, entah kehilangan aku mulai lupa. Tapi aku tidak akan pernah melupakan kebaikan temanku ini.
Sewaktu kami sama-sama sekolah di SMP, pelajaran olahraga baru saja bubar. Kakakku belum menjemputku juga, meski punya dua orang kakak yang sudah bisa naik motor, sia-sia saja aku menunggu puluhan menit, tak satupun dari mereka kunjung datang. Dan tahu tidak? Neli inilah yang duduk bersamaku di pinggiran trotoar dengan sepeda bututnya, lalu dia menawariku untuk pulang bersamanya.
Kami lalu menaiki sepeda Neli, satu jok sepeda kecil yang keras untuk kami berdua. Pantatku sudah tak bisa kurasakan lagi, kram, kesemutan. Tapi Neli tidak mengeluh sedikitpun, dia tetap mengayuh sepedanya dengan riang dan sesekali berceloteh mengenai kegiatan sekolah atau hal-hal lain yang terlintas dalam pikirannya.
Kira-kira sekitar delapan kilometer sudah Neli mengayuh sepeda ketika akhirnya kakakku melihatku dijalan. Dia kemudian bersama temannya yang dibonceng di belakang menghampiri kami (nama temannya Indrawan, cakep bangett.. Ketua OSIS di SMU tempat kakakku bersekolah, sedangkan kakakku waktu itu bendahara OSIS-nya) mungkin Indrawan itu adalah salah satu cinta monyetku.
Kakakku kemudian meninggalkan Indrawan di tempat itu untuk memboncengku pulang. Neli dengan tersenyum melambaikan tangan padaku lalu melanjutkan kayuhan sepedanya menuju rumahnya. Rumah Neli tak jauh dari rumahku meski kami tidak tinggal dalam satu RW. Memikirkan hal itu sekarang air mataku kadang tertitik, Neli.. dia adalah sahabatku. Dia sudah berbuat banyak hal buatku entah kapan aku bisa membalas budinya ini.
“Emang kamu kira aku anak kecil yang doyan mencak-mencak lagi, Nel?” aku membalikkan tubuhku menghadap Neli. Dia memakai kaos singlet dengan dalaman BH warna putihnya.
Neli adalah gadis imut, mungil dengan rambut sebahu yang selalu dikuncirnya, bergerak lincah kesana-kemari seolah dalam tubuhnya yang mungil itu tersimpan begitu banyak tenaga dan energi yang tak ada habisnya. Sewaktu kami berdua pindah ke tempat kos khusus perempuan ini, seharian Neli membantuku memasukan dan merapikan barang-barangku.
Kami kos di dekat kampus sebuah sekolah perhotelan yang cukup terkenal di kota kami, saat ini kami sedang berada di tahun kedua dari empat tahun yang harus kami jalani untuk sekedar mendapat titel sarjana dan sertifikat untuk melamar pekerjaan. Aku terlihat pasrah dengan masa depanku. Sewaktu SMU dulu, setelah selesai ujian nasional aku begitu bingung memikirkan kemana masa depan akan membawaku, pilihan apa yang harus aku pilih untuk masa depanku.
Bersekolah di sekolah terpencil dengan fasilitas yang tidak memadai dan kekuperanku yang tidak pernah melihat dunia, akhirnya aku mengekor teman-temanku dengan mendaftar di sekolah pariwisata di kota kami. Sebenarnya pilihan untuk mengikuti ujian di sekolah pariwisata ini adalah pilihan keduaku, karena waktu itu aku juga mengikuti pendaftaran ujian masuk ke perguruan tinggi negeri di provinsi kami.
Aku memilih jurusan kedokteran, yang menurutku terlalu melebihi kemampuanku, aku bukanlah murid cemerlang meski teman sebangku ku Purnami selalu mengatakan padaku “Seandainya kamu mau belajar, kamu tu ya pasti bisa kok.”
Ya, mungkin saja. Tapi kehidupan SMU ku adalah saat dimana diriku adalah pribadi yang pemberontak. Melanggar semua aturan dan bertindak semau gw. Saat anak gadis seusiaku sudah tidur pukul delapan malam, aku masih bekeliaran di jalan, mengebut dengan sepeda motor bebekku, pulang pukul sebelas malam yang sudah gelap gulita. Orang tuaku tidak menggubrisku, mereka memiliki masalah mereka sendiri. Waktu itu ayah dan ibuku belum bercerai seperti sekarang. Mamiku masih bertahan, hingga aku lulus SMU barulah mereka bercerai.
Untuk pilihan keduaku, aku mencentang jurusan kedokteran hewan, sedang pilihan ketiga adalah jurusan hukum, meskipun aku tidak memiliki bayangan sedikit pun akan jadi apa diriku setelah lulus fakultas hukum. Sungguh aku kuper.
Tapi rupanya sebelum pengumuman penerimaan mahasiswa diumumkan, sekolah pariwisata tempatku mendaftar sudah menerimaku sebagai salah satu mahasiswa mereka. Dengan bekal uang yang diberikan ayahku, akupun mengambil kesempatanku, karena aku tidak yakin akan diterima di universitas negeri di provinsiku itu.
Bagaimana tidak, selama ujian masuk, aku hanya mengisi jawaban sekenanya, menghitung jumlah kancing kemeja putihku, menghitung jumlah burung yang terbang dilangit, menebak-nebak dengan jariku. Sungguh lucu, aku tidak belajar sama sekali karena semua pelajaran itu tidak mau tercerna oleh kepalaku. Otakku sudah kewalahan dengan semua pelajaran-pelajaran itu.
Namun demikian, ternyata nilaiku tak seburuk itu. Meski gagal di fakultas kedokteran, aku berhasil masuk di fakultas kedokteran hewan, yang sayangnya tidak pernah aku ambil. Aku tidak tahu bila itulah yang paling aku inginkan, menjadi dokter hewan bukanlah cita-citaku saat itu. Lalu, disinilah aku, kuliah di sekolah pariwisata ini dengan segala kebaikan dan keburukannya. Satu tahun sudah aku nge-kos di dekat kampus dengan teman kecilku, Neli Agustina.
“Enggak, lu bukan anak kecil lagi, Neng. Justru lu itu udah gede, udah musti pacaran. Gak kasihan apa ama Surya yang selalu lu tolak tiap dia nembak lu, Neng?” kini Neli duduk di sisi ranjangku, menjadi mak comblang untuk yang kesekian kalinya.
Banyak sudah cowok-cowok kece sampai standar yang dia sodorkan padaku, mencomblangkan hal yang mustahil, karena aku tidak tertarik dengan cowok-cowok sebaya yang sama sekali tidak memiliki sifat “cool” yang aku cari. Mereka semua cowok yang masih senang cengengesan, malu-malu kayak kucing padahal maunya seabrek kalau udah dikasi hati. Kucing kali.. dikasi hati..
“Lah, Surya.. Gimana aku bisa suka sama dia kalau kerjaannya cuman ngobrolin console game terbaru dan bukannya ngeluarin jurus rayuan gombal kek, kali aja gw kesambit,” aku ngedumel, hanya karena si Surya ini anaknya engkoh-engkoh pemilik pusat penjualan elektronik bukan berarti dia musti ngobrolin itu-itu melulu kan? Membosankan.
Surya itu, orangnya baik, lucu. Tapi kalau ada di dekatku dia berubah dari lucu jadi membosankan, padahal ngakunya demen kok malah mem-boringkan gitu sih?
Pernah aku diajaknya nonton film di bioskop twenty-one, dia malah asyik ngobrol sepanjang film diputar, mengganggu konsentrasi orang lain donk. Alhasil waktu dia nembak diriku ini setelah aku bersedia menemani PDKT-nya “demi” Neli Agustini sohibku itu.. diapun kutolak. Belasan kali. Tapi gak nyerah-nyerah juga sampai sekarang.
Terakhir dia ngasi aku hadiah kalung-kalungan yang katanya dia beli langsung dari Jepang, itu kalung persis sama dengan kalung yang dipakai salah satu karakter di game RPG kesukaannya si Surya ini. Yah.. boring deh.. Aku itu perlu cowok yang udah dewasa, yang gak penyakitan latah kyk si Surya ini. Bisa-bisanya Neli ngenalin cowok kayak beginian terus sih padahal sudah sering aku bilangin ke dia kalau seleraku itu yang usianya sepuluh tahun ke atas lebih tua dariku.
Aku sendiri heran kenapa aku suka laki-laki yang usianya jauh lebih tua dariku. Apa mungkin karena aku merindukan sosok seorang ayah yang baik untukku? Sosok seorang ayah yang bisa kuteladani, yang bisa kuhormati dan kubanggakan? Karena apa yang aku harapkan dari ayahku bukanlah apa yang bisa dia berikan pada anak-anaknya. Ayahku, bukanlah kebanggaanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H