Mohon tunggu...
Shindy Ainun
Shindy Ainun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Halo saya mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Teknologi Yogyakarta

Hobi saya adalah membaca novel, dan tidak suka keju

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pembingkaian Media VOA dalam Isu Kebebasan Pers di Papua

9 Januari 2025   04:40 Diperbarui: 9 Januari 2025   04:40 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu kebebasan pers di Indonesia masih menjadi salah satu isu yang patut untuk disoroti, mengingat kesenjangan yang masih terjadi tidak sesuai dengan sistem Negara Indonesia yang menganut sistem kebebasan dalam pers, meskipun sudah mengalami transisi demokrasi setelah jatuhnya Orde Baru tahun 1998, akan tetapi wilayah Papua tetap menjadi pengecualian proses demokratisasi tersebut. Seorang ahli media dari Australia, Ross Tapsell menyebut praktik bermedia dan jurnalis di Papua berada dalam lingkungan subnational authoritarianism.  Subnational authoritarianism adalah tema yang digunakan Tapsell untuk menggambarkan sebuah wilayah dalam sebuah negara yang demokratis yang masih dianggap cenderung menunjukkan aturan-aturan yang otoriter.

Voice of America (VOA), media penyiar internasional multimedia yang berasal dari Amerika Serikat menjadi salah satu media yang memuat berita ini, VOA menyiarkan berita dan informasi yang akurat, berimbang, dan komprehensif kepada seluruh pemirsa internasional, serta menyatakan standar legal dalam kode jurnalistik VOA. VOA juga  terkenal akan beragam program yang dimilikinya dalam 53 bahasa sejak tahun 1942, VOA menyiarkan lebih dari 1000 jam program berita, pendidikan, informasi, dan budaya setiap minggu ke lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia. Selain itu VOA juga meyebarluaskan misinya lewat jaringan stasiun afiliasi, yakni stasiun lokal tersebar di ribuan kota, sehingga mampu mencapai lebih dari 93 juta pendengar di dunia.

Dalam artikel ini, VOA menyebutkan keterkaitan konflik Papua dan kinerja pers di Papua. Akar konflik yang terjadi sejak tahun 1945 tentang perebutan wilayah Papua oleh Belanda dan Indonesia dengan dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) dan munculnya gebrakan baru untuk memisahkan diri dari Indonesia. Konflik ini berdampak pada kinerja Pers di Papua karena adanya rasa saling curiga antara pekerja media dan pemerintah. Wartawan lokal maupun wartawan asing mengalami kesulitan dalam mengakses berita, maupun menyebarkan berita serta mendapatkan pengawasan dan kontrol ketat dari pemerintah. Selain pengawasan dan kontrol dari pemerintah, Papua juga didominasi aparat keamanan seperti militer dan polisi. Para media lokal seringkali mendapatkan intimidasi dan ancaman-ancaman jika memberikan berita hal-hal yang dianggap tidak pantas. Hal ini juga diakui oleh Victor Mambor, aktivis media dan juga pendiri JUBI, media lokal Papua yang sering dianggap berseberangan dengan suara pemerintah.

Dampak lain dari konflik kekerasan pada kebebasan pers yang terjadi di Papua yaitu banyak anak-anak harus meninggalkan kampung halaman mereka di pegunungan Nduga dan terpaksa meneruskan belajar di sekolah darurat di Wamena. Kekerasan ini juga dialami oleh wartawan yang tengah meliput berita, wartawan dari Suara Papua, Ardi Bayage. Ardi Bayage menceritakan salah satu pengalamannya ketika ia tengah meliput di Nabire pada tahun 2018. Ia mengungkapkan bahwa dirinya wartawan dan sudah menunjukkan kartu pers akan tetapi ia ditangkap oleh aparat militer dan dianggap sebagai demonstran. Kesulitan untuk melakukan peliputan juga dialami oleh Arnold Belau, pendiri Suara Papua, yang sering menyuarakan berita berbeda dengan informasi resmi dari pemerintah. Arnold merasa, penampilan fisiknya sebagai warga asli Papua menimbulkan ketidakpercayaan pemerintah yang menganggap mereka pro pada kemerdekaan Papua. Selain dari Media Suara Papua, Heyder Affan, wartawan BBC Indonesia, pernah diusir keluar Papua saat meliput bersama wartawan BBC warga negara Australia. Mereka dianggap datang meliput  untuk kepentingan asing, dan memihak kepada pemerintah Indonesia atau FPM.

Di tengah konflik yang terjadi, sulitnya cek fakta karena faktor lokasi berita yang mengakibatkan berita didapatkan dari pihak kedua atau mungkin dari pihak ketiga dan faktor ekonomi yang dihadapi oleh media membawa dilema tersendiri. Terkadang wartawan juga menumpang transportasi aparat karena sulitnya lokasi dan medan yang dituju, akan tetapi muncul anggapan informasi yang didapat hanya akan menyuarakan kepentingan satu pihak. Pemblokiran akses internet di Papua juga menjadi hambatan yang serius yang dirasakan oleh media. Pemblokiran akses internet mengganggu pekerjaan wartawan yang salah satunya adalah memverifikasi informasi.

Dari segi topik pemberitaan, VOA menyoroti tantangan struktural, politik, dan sosial yang dihadapi oleh media. VOA menggambarkan Papua sebagai wilayah yang terkunci dalam konflik bersejarah dan keterbatasan kebebasan berekspresi, dengan kecurigaan tinggi antara pemerintah, media, dan masyarakat. Tekanan kebebasan pers yang terjadi juga dibuktikan dengan contoh-contoh kekerasan yang terjadi terhadap wartawan, kesulitan akses informasi, dan dampak kebijakan seperti pemblokiran internet. Pemberitaan ini termasuk sebagai media as issues intensifier karena menekankan peran media dalam memperbesar perhatian terhadap isu-isu kebebasan pers di Papua, termasuk kekerasan, konflik, dan kesulitan akses informasi dan menyoroti pengalaman wartawan seperti Victor Mambor dan Arnold Belau, serta hambatan seperti pemblokiran internet memperkuat fokus pada tantangan yang dialami media lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun