Tanggal 7 Oktober 2013 kemarin kampus Sekolah Tinggi Ilmu Statistik mengadakan sebuah seminar yang bertema "Membudayakan Statistik dan Menstatistikkan Budaya". Seminar ini merupakan salah satu dari rangkaian acara puncak Dies Natalis AIS/STIS yang ke 55. Beberapa pembicara pun juga turut diundang, yaitu Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono atau yang biasa kita kenal dengan Ibu Meutia Hatta yang saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan Ibu Wiendu Nuryanti yang saat ini menjabat sebagai wakil menteri bidang kebudayaan. Selain penyampaian materi mengenai kebudayaan dari masing-masing pembicara, di dalam seminar ini juga disampaikan hasil dari Praktek Kerja Lapangan angkatan 52 Sekolah Tinggi Ilmu Statistik yang dilaksanakan di Kota Semarang dan Surakarta pada bulan Maret lalu. Hasil pengolahan data yang dilakukan oleh teman-teman angkatan 52 menunjukkan bahwa ternyata implementasi nilai-nilai budaya di Kota Semarang dan Surakarta keduanya berada dalam tahap yang moderat. Yah, hal ini tentu saja dapat dimaklumi. Pada era globalisasi sekarang ini tentunya banyak sekali pengaruh kebudayaan luar yang masuk. Hal itu tentunya tidak terbantahkan. Menyikapi hal ini, tentunya kita sebagai generasi muda dituntut untuk bisa lebih mengenal budaya daerah kita. Dalam materi yang disampaikan oleh Ibu Wiendu Nuryanti, beliau mencoba untuk mengaitkan antara budaya dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beliau memberikan contoh usaha batik yang dapat memperoleh omset hingga 400 % dan sangat berperan dalam pengurangan angka kemiskinan. Memang benar, omset 400 % itu bukanlah angka yang kecil. Namun apakah setelah sekian lama Indonesia menjadi produsen batik angka kemiskinan di desa produsen batik telah berkurang? Entahlah. Mungkin saja ya. Pernah saya menonton sebuah film dokumenter yang berjudul Kisah di Sehelai Batik - Eagle Documentary Series yang menceritakan tentang kehidupan para buruh pengrajin batik tulis. Ambil contoh saja, di Kabupaten Tasikmalaya, buruh batik tulis hanya dihargai Rp15.000/hari, sedangkan untuk batik cap dibayar Rp2.500 untuk setiap lembar batik yang berhasil di cap atau rata-rata satu kodi para pekerja hanya bisa mengumpilkan Rp50.000/hari. Buruh batik tulis asal Cigeureung, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Esih,65, mengaku, dirinya mendapatkan bayaran sebagai buruh batik sebesar Rp15.000/hari. Menurut dia, dengan upah sebesar itu hanya bisa untuk membeli beras. (http://www.koran-sindo.com/node/334526) Keuntungan yang demikian banyak dari hasil produksi batik hanya dinikmati oleh segelintir pihak bermodal saja. Yang tak bermodal ya hanya menjadi buruh. Generasi muda pun enggan untuk meneruskan jejak orangtua mereka sebagai pengrajin batik. Jika dahulu kala, membatik merupakan suatu keahlian yang wajib dimiliki oleh para perempuan Jawa yang memiliki nilai estetika tinggi dan menjadi identitas bangsa, sekarang batik seakan hanya sebatas menjadi barang komoditi yang bernilai jual. Bukannya tidak boleh mengambil nilai ekonominya, hanya saja kesejahteraan para buruh batik yang tidak memadai ini jadi membuat mereka hanya berpikir bagaimana caranya bisa bisa mendapat uang dari mengerjakan batik. Nilai estetika dan keluhuran batik sebagai jati diri pun luntur secara perlahan tergantikan oleh motif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Internalisasi budaya pun menjadi semakin sulit untuk dilakukan. Tak hanya tentang batik, satu pertanyaan dari peserta seminar yang sangat menggelitik saya. "Bagaimana caranya kita mencintai budaya Bangsa Indonesia, jika di pelajaran sejarah yang saya kenal selama ini sejak duduk di bangku SD sampai SMA yang mendominasi adalah budaya Jawa saja? Padahal Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa?" [caption id="attachment_284597" align="alignnone" width="299" caption="sumber: http://digilib.petra.ac.id/"][/caption] Ya, memang benar. Entah kita menyadari atau tidak, sejak dari zaman SD sampai SMA, isi textbook Sejarah yang ada hanya itu-itu saja dan kebanyakan menceritakan tentang kejadian sejarah yang ada di di wilayah Jawa dan sekitarnya. Kejadian sejarah dari daerah lain memang dijelaskan juga, hanya saja terkesan sepotong-sepotong saja. Coba saja ditanya, saya yang dari lahir sudah di Kalimantan, mungkin jika ditanyakan tentang peristiwa bersejarah di Kalimantan saya tidak akan bisa berbicara terlalu banyak. Saya justru lebih mengenal peristiwa Bandung Lautan Api-misalnya atau Peristiwa 10 Nopember (Arek-Arek Suroboyo). Nah, jika internalisasi budaya memang serius untuk digalakan maka pihak terkait harus serius menggalakannya. Beberapa kebijakan yang dilakukan Kemendikbud antara lain pendaftaran hak paten yang akan melindungi ekonomi, diplomasi budaya yaitu upaya untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional yang dilakukan dalam bentuk Pendirian Rumah Budaya Indonesia di 8 negara, antara lain Jepang, Jerman, Perancis, dan Malaysia, serta pendaftaran situs-situs kebudayaan yang ada hingga saat ini. Hanya saja dalam pendaftaran situs-situs kebudayaan ini masih terkendala masalah data. Data yang tersedia hanyalah data-data dasar saja dan belum tersedianya data mengenai sejauh mana pengaruuh budaya terhadap kesejahteraan masyarakat. Implementasi nilai-nilai budaya sejatinya akan berhasil jika semua pihak mau untuk memulai. Lingkup terkecil yang akan sangat memberikan pengaruh adalah keluarga. Menanamkan dan memperkenalkan budaya Indonesia sebagai jati diri bangsa sejak dini merupakan salah satu langkah yang tepat. Salam :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H