Memutuskan menjadi seorang pendidik berarti pula memutuskan untuk mengerahkan segenap tenaga untuk mendidik: bukan hanya mengubah keadaan peserta didik dari belum tahu menjadi lebih tahu tapi juga membentuk karakter mereka sesuai dengan aturan agama, norma-norma dan kaidah berbangsa yang berlandaskan pancasila. Itulah mengapa, seorang pendidik dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan pernah lepas dari pengawasan sekitar, terutama setelah maraknya penggunaan media sosial dewasa ini.
Pendidik Senantiasa Menjadi Sorotan
Sebagaimana kaum selebritas, pendidik bisa saja menjadi sosok yang seketika viral di internet hanya karena dia cantik atau ganteng, misalnya. Tapi tak jarang pendidik-pendidik malah disoroti dikarenakan kelakuaknnya yang dianggap ganjil atau bahkan kasar terhadap peserta didik seperti yang beberapa waktu lalu nyaring diberitakan.
Bukan hanya di dunia maya, di kehidupan nyata pun pendidik kerap menjadi sorotan. Berpasang-pasang mata mengawasi gerak-gerik mereka. Sedikit saja berkelakuan menyimpang, macam-macam kritikan akan menghujani. Oleh karena itu, sebelum benar-benar disoroti, sebisa mungkin pendidik menunjukkan karakter yang kuat untuk dapat dijadikan teladan bagi peserta didik dan masyarakat secara umum.
Agar dapat menjadi teladan, pendidik diharapkan memiliki kepribadian luhur yang tercermin dari tingkah laku dan kesehariannya. Tentu saja bukan hanya sekadar mengucurkan retorika mengenai segala teori-teori kebaikan, serta dampak baik yang menjadi pengiringnya, apalagi dengan hanya berpura-pura menjadi pribadi yang berkarakter di saat ada yang melihat sebagai bentuk pencitraan semata, melainkan dengan benar-benar menyerapi nilai-nilai moral kemudian mengamalkan secara langsung.
Pendidikan Berasrama Melatih Membiasakan Hal Baik
Tidak pernah ada cara instan untuk menjadi lebih baik. Seorang pendidik profesional yang berkarakter positif, tidak serta merta bisa memiliki karakter tersebut. Butuh bertahun-tahun pembiasaan, serta pengalaman beragam untuk mencapainya. Salah satu cara untuk memperkaya pembiasaan calon pendidik masa depan adalah dengan mengadakan pendidikan profesi berasrama sebagai pusat pendampingan dan pembinaan calon pendidik profesional yang berkarakter kuat dan memiliki panggilan jiwa maupun hati untuk menjadi pendidik profesional sejati.
Kehidupan berasrama untuk calon pendidik profesional di masa depan sejatinya bertujuan untuk menghasilkan guru yang memiliki kepribadian luhur, berprestasi, mandiri, disiplin, sehat jasmani dan rohani, demokratis, cerdas, tangguh, berkarakter, dan profesional, peka, peduli dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang majemuk.
Boleh dibilang, kehidupan berasrama adalah miniatur dari masyarakat pada umumnya. Tidak ada jaminan berasrama berarti pula orang-orang di dalamnya baik semua atau buruk semua, melainkan perpaduan dari kedua hal itu. Di sinilah karakter pendidik dibentuk. Apa mereka akan memberi warna atau malah ikut terwarnai.
Sebab sekali lagi, kehidupan berasrama tidak hanya untuk melatih membiasakan kita dalam kebaikan sebagai modal ke depan untuk menjadi pendidik yang berkarakter kuat, tapi juga lebih luas dari itu: mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, persaudaraan dan persatuan hingga bagaimana kita menyikapi masalah dan mengambil ibrah dari peristiwa yang terjadi.
Dipaksa, Terpaksa, Terbiasa!
Melalui program kehidupan berasrama bagi para calon guru profesional ini, diharapkan terbentuk kebiasaan baik yang meski dimulai dari dipaksa, lantas terpaksa, diharapkan karena sering diakukan berulang-ulang, maka keterpaksaan itu akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan baik yang bermula dari hal-hal kecil semisal membuang sampah pada tempatnya, tidak menciptakan keributan di waktu istirahat malam maupun waktu-waktu beribadah.
Jangan sampai pendidik profesional di masa depan hanya mampu beretorika soal kebersihan, hanya dapat meminta peserta didik menjaga kebersihan sedang dirinya sendiri masih membuang bungkus permen di samping meja, membiarkan sampah bekas kemasan kopi instan berserakan di atas meja makan atau membiarkan bungkusan mie instan berceceran di lantai.
Jangan sampai calon pendidik profesional di masa depan hanya dapat berkoar-koar tentang pentingnya budaya antri, senantiasa memberi ceramah dan pesan moral mengenai keutamaan mengantri demi menjaga hak-hak sesama manusia, namun ternyata untuk mengambil jatah makan siang saja menyerobot hingga barisan terdepan.
Lalu, jangan sampai calon pendidik masa depan hanya bisa mengumandangkan pemikiran soal kepekaan sosial, tapi masih saja tidak bisa tenang di jam istirahat atau waktu-waktu beribadah dengan membuat ruangan karaoke dadakan, memutar lagu-lagu bersuara kencang karena disambungkan ke salon lantas menyanyi dengan tidak kenal waktu, tanpa memikirkan penghuni asrama lain yang boleh jadi akan terganggu dengan itu semua.Â
Sekali lagi, menjadi pendidik profesional buka hanya tentang bagaimana menguasai materi ajar; melaksanakan pembelajaran berdasarkan langkah-langkah pada perangkat yang telah dibuat; menciptakan media semenarik mungkin, melainkan pula soal bagaimana pendidik itu sendiri mampu menjadi teladan bagi peserta didik---bukan sekadar pandai beretorika semata---untuk menumbuhkan karakter kebangsaan yang berasaskan pancasila sehingga dapat melahirkan generasi penerus yang tidak hanya cerdas tapi juga berkepribadian kuat dan dapat membanggakan bangsa juga diperhitungkan di mata dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H