Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dua Ratus Ciuman

3 Juli 2017   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2017   21:44 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Carlota Frank - Pinterest

"Bu, boleh saya cium?" kata Mat sembari menepuk pundak perempuan itu.

Perempuan itu menoleh. Mat tampak salah tingkah, sebab wajahnya masih sangat muda untuk disapa 'ibu'.

"Ma-maksud saya, Mbak, eh, Dik!" Mat agak kaku jadinya. Takut perempuan di depan dia tersinggung. Mat merasa bersalah karena tadi hanya menilai dari bentuk tubuh saja. Apalagi seringkali perempuan agak sensitif jika menyangkut dengan umur. Bukan apa-apa. Dia masih butuh empat ciuman lagi untuk memenangkan rekor ini. kalau perempuan di depannya tersinggung, sia-sia lagi waktu sepuluh menit Mat. Sementara batas mengumpulkan ciuman akan segera berkhir sekitar lima puluh menit lagi.

Perempuan itu tersenyum, "Panggil ibu saja, saya memang sudah ibu-ibu."

Mat menghela napas lega. Lantas mengulang permintaannya, "Boleh saya cium, Bu?"

Perempuan itu belum menanggapi. Ada jeda sekitar lima detik, hingga akhirnya dia kembali bersuara, "Boleh saya tahu alasannya?"

Mat lantas menceritakan bahawa dia sengaja mengikuti event ini hanya untuk mengejar hadiahnya, tidak lebih. Kepada perempuan itu, Mat bercerita kalau ibunya tengah sakit parah, dan dia perlu memenangkan rekor ini agar dapat membayar biaya pengobatan sang ibu.

Mendengar penuturan Mat, seketika perempuan itu berkaca-kaca. Dia kemudian memejamkan mata dan menyerahkan bibir. Mat langsung menyambut dengan menempelkan bibir, masih sempat dia merasai asinnya air mata yang merayapi pipi perempuan itu sebelum akhirnya melepaskan ciuman.

Perasaan Mat mendadak tidak keruan. Tak seharusnya dia menceritakan kisah ibu yang sedang butuh pengobatan, hanya untuk mendapatkan simpati perempuan yang ingin dia mintai ciumannya. Namun, Mat terpaksa. Dia tidak ingin kehilangan lebih banyak waktu lagi demi mendapat ciuman selanjutnya.

Usai mengucap terima kasih, Mat pun pergi. Tinggal tiga lagi, batinnya. Ralat: sisa dua. Karena satu yang terakhir dia sengaja simpan buat seorang paling spesial dalam hidupnya. Ibu.

Mat keluar dari toko busana itu, lantas memasuki kedai roti yang berada di ujung jalan, dekat pintu keluar pertokoan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun