Satu persatu teriakan terdengar. Bukan hanya di rumah melainkan juga di jalan-jalan. Derap langkah warga terdengar jelas. Seperti berlari serempak ke arah yang sama.
"Cepat ke kuala! Sebelum asap itu mendekat!"
"Ke kuala!"
"Woy! Ke kuala!"
Semua suara itu terdengar panik. Bersahut-sahutan dengan jeritan dari para warga. Anehnya meski bau asap terasa amat menyengat, Mangge Toto merasa tidak ada yang berubah pada badannya. Semua normal, termasuk suhu tubuh. Sekalipun di luar sana orang-orang berteriak kepanasan.
Teriakan itu terus bergema di penjuru desa hingga beberapa saat lamanya. Sementara Mangge Toto dan warga lain yang terbaring kaku belum tahu apa yang terjadi. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu serangga hitam minggat dari tubuh masing-masing.
Sampai pada malam berikutnya Mangge Toto tidak pernah mendengar suara-suara lagi, baik itu suara istri, mertua, maupun keponakannya. Aktivitas di dapur yang biasanya terdengar jelas pun mendadak bisu. Mangge Toto hanya bisa pasrah dan berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada keluarganya.
Di hari selanjutnya, Mangge Toto sudah bisa membuka mata. Sebab serangga hitam telah terbang dari kelopaknya. Lalu menyusul satu persatu serangga hitam mulai terbang dari anggota badan lain. Begitu penglihatan Mangge Toto mulai jelas, dia sadar kalau ternyata serangga itu hanya terbang sebentar lalu meledak, menguar seperti parfum semprot, namun tidak mengeluarkan aroma apa pun.
Butuh waktu beberapa menit untuk meluweskan kembali sendi-sendi yang lama tidak digerakkan. Meski demikian untuk urusan perut, Mangge Toto sama sekali tidak merasa lapar, padahal sudah tiga hari tidak makan.
Usai meluweskan anggota gerak, perlahan, Mangge Toto berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Betapa terkejut orang tua itu melihat sekeliling. Seluruh kamar menghitam, mulai dari langit-langit hingga kasur tempat dia berbaring. Semuanya seperti bekas terbakar, hanya saja bentuknya tetap utuh, tidak terkikis ataupun berubah jadi abu.
Mangge Toto lantas menuju ruang tengah. Dengan mata membeliak orang tua itu tidak berhenti merapal kalimat hawqalah, menyaksikan istrinya terbaring kaku dengan kulit mengelupas di dekat pintu masuk. Tidak jauh dari sana dua keponakan dan mertuanya juga terbaring dengan kondisi yang sama.