Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Ikbal

23 Februari 2017   01:03 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:31 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di usia pernikahan yang ke sebelas, Ikbal mendadak tidak percaya dengan perempuan. Tidak satu pun perempuan di muka bumi ini yang dapat dipercaya, begitu kisahnya padaku. semua berawal ketika lima belas hari yang lalu dia tidak berhenti memimpikan Sri, mantan pacarnya di masa berseragam putih abu-abu dulu. Persoalan putusnya pun klasik : Sri dinikahkan dengan keluarga bapak dan Ikbal melanjutkan study ke luar kota. Kisah perpisahan paling khas di jaman Desi Ratnasari masih menjadi gadis sampul dulu.

Delapan belas tahun kemudian, mimpi itu datang menghampiri Ikbal. Bukan sekali dua kali, melainkan nyaris setiap Ikbal memejamkan mata. Bayangan wajah Sri senantiasa hadir, membuat gelisah. Kegelisahan yang kemudian dia ceritakan pada Herman, sahabat sejak masih senang mandi sama-sama di sungai dekat sawah yang mengalir mengantarai kampung Ikbal dan Herman.

Herman menjadi satu-satunya teman Ikbal yang juga sangat mengerti perasaan Sri. Setiap kali berselisih, Herman lah yang berjasa mendamaikan keduanya. Herman pula yang mengenalkan Ikbal dengan Sri yang adalah keponakan tetangga Herman, yang tinggal di kota, yang saat itu sengaja berkunjung untuk mengisi waktu liburan semester, yang di kemudian hari membawa Sri mengambiil keputusan ingin pindah sekolah saja agar bisa lebih dekat dengan Ikbal, cowok mancung yang dikenalkan Herman lima hari sebelumnya.

Herman yang saat itu masih belum bertemu dengan jodohnya, meski dari segi finansial dan kedewasaan sudah sangat layak menikah itu lantas menyimpulkan kalau mimpi yang Ikbal dapati itu ada kaitannya dengan keberadaan Sri. Mungkin itu semacam sinyal dari semesta agar Ikbal segera menghubunginya.

Kebetulan Herman mengenal paman Sri yang katanya telah menjadi jaksa. Kabar baiknya, seorang jaksa terkenal, biasanya memiliki kantor yang nomor teleponnya terdapat dalam buku telepon dan informasi umum berukuran album dengan sampul berwarna dominan kuning. Di buku itu pula Herman kemudian menemukan nomor ponsel paman jaksa.

Sejak kecil Herman sudah pandai mencari-cari alasan. Itulah mengapa ibu yang super ketat mengawasi Herman masih bisa kecolongan setiap kali Herman pergi ke perbatasan kampung untuk mandi di sungai di bawah jembatan. Dengan kehliannya itu Herman pun berhasil mendapat kontak Sri dengan alasan ingin mengajak perempuan itu reuni SMA.

“Halo?” seberang telepon bersuara khas anak kecil.

“Mama ada, Nak?” jawab si penelepon.

Terdengar samar-samar suara teriakan anak kecil memanggil-manggil mamanya.

“Assalamu alaikum,” suara yang terdengar berat namun tetap lembut akhirnya menggantikan suara anak perempuan tadi.

“Wa alaikum salam,” lelaki di balik telepon menggantungkan kata-kata selanjutnya.

“Maaf ini dengan siapa?” tanya perempuan di ujung gagang karena merasa asing dengan suara laki-laki yang menelepon.

Laki-laki di balik telepon itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Herman. Dia juga menjelaskan kalau nanti, beberapa bulan lagi akan ada reuni akbar dan berharap perempuan di ujung telepon itu bersedia datang.

Namun, di luar dugaan, perempuan itu ternyata enggan mengikuti reuni, meski dari kesan awal ketika mengangkat telepon sangat berbeda dengan jawaban setelahnya. Alasan perempuan itu cuma satu: dia tidak ingin bertemu kembali dengan Ikbal. Lelaki dari masa lalunya.

Pernyataan yang menimbulkan rasa penasaran dari lelaki di balik telepon, yang kemudian dijawab dengan curahan panjang dari perempuan itu tentang bagaimana hingga saat ini dia masih sangat mencintai Ikbal. Rasa cinta yang juga bercampur benci sebab lelaki itu bahkan tidak menahannya ketika hendak dinikahkan dulu. Setidaknya beri respons tidak senang dengan adat perjodohan di keluarga perempuan itu. Namun jangankan kalimat tidak suka, Ikbal malah pergi ke luar kota untuk menimba ilmu, tanpa sepatah kata untuk berpamitan dengan perempuan itu.

Setelah merasa lawan bicaranya telah sempurna mengeluarkan segala unek-uneknya, lelaki yang berada dalam bilik telepon umum itu lantas melepas sapu tangan cokelat dari permukaan bibirnya.

“Halo,”

Ada jeda sekian detik sebelum akhirnya perempuan di balik telepon merespons dengan nada tidak percaya, “I-Ikbal?”

“Iya, benar, sekarang keluarkan semua keluh kesah dalam hatimu tentang lelaki brengsek bernama Ikbal itu, tidak perlu sungkan, sebab sejak tadi dia sudah mendengarnya.”

 “Cuma karena pengakuan itu, kamu jadi tidak percaya dengan perempuan?” tanyaku, merespons alasan receh yang kusimpulkan dari cerita Ikbal saat itu.

“Bukan,” jawab Ikbal, “makanya dengarkan dulu sampai tuntas.”

Lelaki itu lantas berkisah bagaimana setelah tiga hari berhubungan via telepon, keduanya kemudian memutuskan untuk saling bertemu. Dan apa yang terjadi selanjutnya, kurasa tidak perlu kuceritakan di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun