“Maaf ini dengan siapa?” tanya perempuan di ujung gagang karena merasa asing dengan suara laki-laki yang menelepon.
Laki-laki di balik telepon itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Herman. Dia juga menjelaskan kalau nanti, beberapa bulan lagi akan ada reuni akbar dan berharap perempuan di ujung telepon itu bersedia datang.
Namun, di luar dugaan, perempuan itu ternyata enggan mengikuti reuni, meski dari kesan awal ketika mengangkat telepon sangat berbeda dengan jawaban setelahnya. Alasan perempuan itu cuma satu: dia tidak ingin bertemu kembali dengan Ikbal. Lelaki dari masa lalunya.
Pernyataan yang menimbulkan rasa penasaran dari lelaki di balik telepon, yang kemudian dijawab dengan curahan panjang dari perempuan itu tentang bagaimana hingga saat ini dia masih sangat mencintai Ikbal. Rasa cinta yang juga bercampur benci sebab lelaki itu bahkan tidak menahannya ketika hendak dinikahkan dulu. Setidaknya beri respons tidak senang dengan adat perjodohan di keluarga perempuan itu. Namun jangankan kalimat tidak suka, Ikbal malah pergi ke luar kota untuk menimba ilmu, tanpa sepatah kata untuk berpamitan dengan perempuan itu.
Setelah merasa lawan bicaranya telah sempurna mengeluarkan segala unek-uneknya, lelaki yang berada dalam bilik telepon umum itu lantas melepas sapu tangan cokelat dari permukaan bibirnya.
“Halo,”
Ada jeda sekian detik sebelum akhirnya perempuan di balik telepon merespons dengan nada tidak percaya, “I-Ikbal?”
“Iya, benar, sekarang keluarkan semua keluh kesah dalam hatimu tentang lelaki brengsek bernama Ikbal itu, tidak perlu sungkan, sebab sejak tadi dia sudah mendengarnya.”
“Cuma karena pengakuan itu, kamu jadi tidak percaya dengan perempuan?” tanyaku, merespons alasan receh yang kusimpulkan dari cerita Ikbal saat itu.
“Bukan,” jawab Ikbal, “makanya dengarkan dulu sampai tuntas.”
Lelaki itu lantas berkisah bagaimana setelah tiga hari berhubungan via telepon, keduanya kemudian memutuskan untuk saling bertemu. Dan apa yang terjadi selanjutnya, kurasa tidak perlu kuceritakan di sini.