Mohon tunggu...
Gayatri Shima
Gayatri Shima Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang yang senang menggunakan semua indera untuk mengenal semesta. Saya suka sekali dengan hujan dan setiap aroma yang di bawanya. Saya juga sangat menyukai sunset.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Naik Kereta Berkuda Lima"

10 September 2014   11:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:08 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Gambar diambil dari buku Bhagavad-Gita "Menurut Aslinya", terbitan tahun 1986

Saya terpekur memandangi salah satu gambar di buku Bhagavad-Gita, buku pinjaman dari Pak Dhe saya, yang kata beliau: "Bacalah, minimal dua tahun". Waktu menerima buku itu, sebenarnya ada rasa ragu, apakah saya akan membacanya? Membaca Al Qur'an saja saya belum bisa khatam dalam 30 hari. Namun, ketika secara kebetulan saya melihat gambar-gambarnya, yang sebagian besar adalah penggambaran kisah perang Mahabharata di medan Kuruksetra, peperangan antara Pandhawa dan saudara-saudara kembarnya, Kurawa, saya terpekur pada satu gambar, pada gambar itu Krisna dan Arjuna di atas kereta kuda. Tangan kanan Krisna memegang kerang, tangan kirinya memegang tali pelana kuda, dan Arjuna di belakang Krisna sedang mengangkat busur panah dengan tangan kirinya, tangan kanannya mengambil anak panah di belakang punggungnya. Ada lima ekor kuda putih perkasa yang sedang dikendalikan oleh Krisna. Kereta kuda berwarna emas, dengan payung berwarna senada.

Dan di bawah gambar itu terdapat tulisan yang berbunyi: "47. Dimana pun ada Krisna, Penguasa semua kebatinan, dan di mana pun ada Arjuna, pemanah yang paling unggul, di sana pula pasti ada kekayaan, kejayaan, kekuatan luar biasa, dan moralitas. Itulah pendapatku. (18.78)"

Saya tidak berani menafsirkan secara mendalam kalimat itu, tetapi dari renungan saya pribadi, saya mendapatkan beberapa pemahaman kehidupan yang mungkin pemahaman saya ini masih perlu banyak dibenahi dari para pelaku kehidupan. Pun terus terang, saya hanya membaca dan baru merenungi satu gambar saja yang ada dalam buku ini. Saya juga jarang sekali nonton Mahabharata di salah satu stasiun televisi karena antena televisi saya tidak mampu menjangkau frekuensinya.

Saya mengibaratkan gambar itu adalah diri saya sendiri. Saya adalah kereta kuda, saya adalah Arjuna, saya adalah Krisna, saya adalah lima ekor kuda putih, saya adalah tali kendali.

Kereta kuda adalah badan saya, Arjuna adalah ruh individu saya, Krisna adalah Tuhan yang bersemayam dalam ruh saya, lima ekor kuda putih adalah panca indera saya, tali kendali adalah pikiran saya, busur panah dan anak panah adalah tujuan hidup saya, dan payung kereta adalah  semesta raya.

Babak cerita pada gambar itu: "... oleh karena Krisna dan Arjuna ikut di pihak Yudhistira, Yudhistira menjadi jaya. Perang diadakan untuk memutuskan siapa yang akan berkuasa di dunia, dan Sanjaya meramalkan bahwa kekuasaan akan dipindahkan kepada Yudhistira. Juga diramalkan di sini bahwa sesudah Yudhistira menang dalam perang ini, dia akan semakin makmur karena dia tidak hanya saleh dan taat kepada prinsip-prinsip keagamaan, tetapi juga mengikuti prinsip-prinsip moral secara ketat. Yudhistira tidak pernah berbohong selama hidupnya". (Bhagavad-Gita:832, 1986).

Saya menengok jauh ke belakang, cerita demi cerita dalam hidup saya. Cerita sedih, cerita suka, konflik, perpecahan, jatuh, bangun, dan semua ragam cerita hidup saya yang pernah teralami. Pada satu titik kesadaran, saya menyadari bahwa semua cerita hidup saya ternyata mudah berganti. Tak ada satu pun yang kekal menemani diri saya. Cerita suka akan berganti duka, ada yang datang ada yang pergi, kadang saya ditinggalkan, pun tak jarang pula saya yang meninggalkan. Ternyata semua hanya sementara saja, walaupun 'sementara' di sini bisa setahun atau dua tahun lamanya dalam hidup saya. Saya pernah benar-benar sendiri, diasingkan selam kurun waktu itu. Dan ketika mengalami pengasingan di tahun yang menyedihkan itu, saya menyadari bahwa ternyata sedihnya ditinggalkan mantan pacar pertama itu tidak sebanding dengan sedih yang sekarang. Merasa asing dengan keluarga sendiri, pun asing dengan diri sendiri. Inilah perang Mahabharata dalam medan kehidupan saya.

"Saya ini siapa? Saya ini apa? Kenapa Tuhan, dirimu tak pernah berhenti menghukum saya dengan semua kesedihan ini?"

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul mengganggu saya. Sampai saya lelah bertanya, dan berhenti 'berpikir'.  Dan ketika saya berhenti menggunakan otak saya untuk 'berpikir', lima panca indera saya perlahan lumpuh, tidak bisa 'merasakan', semua saraf sensori di reseptor indera saya perlahan mati. Saya mengalami fase kelumpuhan total. Di mana saya tidak bisa lagi menggembirai hidup atau menangisi hidup. Mati rasa. Mati dari rasa syukur dan mati dari rasa menyesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun