Sore itu, di bawah jembatan, di bawah pohon Talok .
Desir angin mengiringi pekat senja yang menjadi suram, wajah-wajah pengais rezeki lalu lalang kian riuh membahana.
Di tepi Bengawan Solo, tempat peraduanku
Gemericik air mengalir mengamini bisikku pada alam, damai
Sejenak menepikan bayang sisi
Tentang seseorang, tentang keberanianku pada kesendirian, di bawah telaga risau
Semua berbicara kepalsuan dan mimpi besar, tapi kusampaikan padamu manisnya buah kesabaran
Ilalang asyik beradu berayun mesra, sambil sesekali menyapa hadirku di sini kembali
Adalah wajar jika manusia menginginkan semua hal yang terbaik untuknya, sebuah kisah yang selalu dinaungi bahagia.
Tapi kau mengajarkanku hakekat bahagia, tentang keabadian
Menetapi jalan yang senantiasa terlandas iman
Dalam bisu kau menerimaku dengan kesederhanaan, seperti aku mencarimu yang digelayuti sepi
Bengawan Solo
Sebait sastra, ini bahasa kita
bahasa yang hanya kita pahami, dunia yang hanya kita mengerti, sebuah dimensi dengan satu tema yang telah kita sepakati, cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H