Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah batas usia calon kepala daerah dari saat mendaftar menjadi saat dilantik tentu membuka peluang bagi generasi muda untuk tampil dalam kontestasi Pilkada serentak 2024. Namun, disisi lain putusan ini juga memperkuat politik dinasti dan oligarki.
Sebelum putusan MA keluar, PKPU Nomor 9 tahun 2020 mensyaratkan bahwa calon kepala daerah harus berusia minimal 30 tahun saat mendaftar. Hal ini dinilai memberatkan bagi generasi muda yang ingin berkontribusi dalam kepemimpinan daerah. Akhirnya, MA mengubah ketentuan tersebut, sehingga membuka peluang bagi mereka yang berusia 29 tahun saat mendaftar untuk mencalonkan diri asalkan mereka berusia 30 tahun saat dilantik. Putusan ini tentunya menjadi kabar gembira bagi generasi muda yang berambisi menjadi pemimpin daerah.
Namun, disisi lain putusan ini dikhawatirkan akan memicu politik dinasti dan juga oligarki. Dikhawatirkan, anak-anak pejabat maupun pengusaha yang memiliki akses dan sumber daya yang lebih besar akan lebih mudah untuk maju dalam Pilkada 2024. Kekhawatiran ini diperkuat dengan munculnya poster di media sosial yang menggambarkan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Meskipun poster tersebut telah dibantah, hal ini menunjukkan bahwa publik masih memiliki keraguan terhadap netralitas dan objektivitas dari putusan yang dihasilkan oleh MA.
Lebih lanjut, putusan MA terkait batas usia calon kepala daerah menuai kritik dan dinilai bermasalah karena, pertama, perubahan peraturan ini dilakukan terlalu berdekatan dengan periode pendaftaran pemilu, sehingga menguntungkan pihak-pihak tertentu dan dikhawatirkan akan memperkuat politik dinasti serta oligarki. Seperti putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang akan berusia 30 tahun pada Desember 2024, menjadi diuntungkan oleh putusan ini.
Kedua, putusan MA ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu dan Praktik Ketatanegaraan Indonesia. Ketentuan usia minimum calon kepala daerah seharusnya dipenuhi saat pendaftaran, bukan saat pelantikan. Putusan MK Nomor 90 yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka berkontestasi di pemilu 2024 juga dikecam karena dianggap memberikan karpet merah untuk memperluas tentakel politik dinasti Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya.
Ketiga, putusan MA dikritik karena dibuat dengan terburu-buru, hanya dalam waktu tiga hari. Merujuk pada situs resmi MA, perkara ini masuk pada 23 April 2024, kemudian didistribusikan kepada hakim yang akan memeriksa pada 27 Mei 2024, dan  diputus pada 29 Mei 2024. Hal ini menimbulkan dugaan politisasi yudisial, dimana MA dianggap tunduk pada tekanan politik.
Keempat, putusan MA dinilai janggal karena memaksakan judicial activism dalam bentuk intervensi kewenangan KPU tanpa justifikasi yang memadai. Ada dugaan bahwa putusan ini merupakan hasil dari perdagangan pengaruh antara Partai Garuda selaku pemohon uji materi dengan Jokowi dan Prabowo Subianto.
Putusan MA terkait batas usia calon kepala daerah memang membuka peluang bagi generasi muda untuk tampil dalam Pilkada. Namun, penting untuk diingat bahwa putusan ini juga berpotensi memperkuat politik dinasti dan oligarki. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memastikan bahwa Pilkada 2024 berlangsung secara adil, jujur dan transparan. Masyarakat perlu mengawasi jalanya Pilkada dengan cermat dan kritis, serta memilih pemimpin yang benar-benar kompeten dan memiliki visi misi yang jelas untuk kemajuan daerah.
Putusan MA terkait batas usia calon kepala daerah memiliki dua sisi mata uang. Disatu sisi, putusan ini membuka peluang bagi generasi muda untuk tampil dalam Pilkada. Disisi lain, putusan ini memperkuat politik dinasti dan oligarki. Masyarakat perlu mencermati dengan seksama dampak dari putusan ini dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa Pilkada 2024 berlangsung secara adil, jujur dan transparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H