Mohon tunggu...
Shifa Nurfitri Aulia Isti
Shifa Nurfitri Aulia Isti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Shifa (22) is a 6th semester communication science students with a concentration in public relations undergraduate students who are interested in working in the public relations sector, also always maintain the rules of the sub-organizations so that integrity can be controlled. Organizations can have the authority to hold events at school. Arrange the event, evaluate, and ask the principal or authorized teacher to allow the event. Actively involved in organizations and events as committee. Eager to learn, initiative, and work well both individually and within a team also in challenging environment.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekuatan Media: Korean Wave yang Menggempur Masyarakat Indonesia

9 Mei 2023   08:04 Diperbarui: 9 Mei 2023   08:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengamati perkembangan teknologi saat ini tidak hanya memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi tetapi juga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Terutama kehadiran media massa memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan teknologi. Seperti yang diketahui, media massa merupakan media yang memberikan sekaligus menyebarkan informasi yang berkaitan dengan masyarakat, dimana informasi disajikan kepada masyarakat secara luas. Namun, kini media telah bekerja seperti alat pengendali kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak, fungsi media massa sebagai alat yang mampu mengubah serta membentuk pola pikir masyarakat dapat menciptakan fenomena khusus yang terus bergerak didasari oleh perkembangan globalisasi. Bahkan hingga menjadikan fenomena tersebut bagian yang tidak dapat terlepas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dapat dilihat, media massa terlebih media intemet juga telah menciptakan jenis interaksi sosial baru dalam kehidupan bermasyarakat yang dikenal dengan interaksi dunia maya. Masyarakat di penjuru belahan dunia dapat melakukan interaksi sosial dengan saling membagikan informasi mengenai diri, negara, dan lain sebagainya tanpa terhalang ruang dan waktu.

Kemudahan media dalam menyebarluaskan berbagai informasi termasuk budaya, memunculkan proses akulturasi budaya. Nilai-nilai budaya tertentu yang dianut oleh suatu negara tersebar sehingga menjadi budaya dunia atau world culture. Bukan hal yang tabu lagi, fenomena budaya asing lebih mendominasi dan menjadi tren di kalangan masyarakat terutama di Indonesia. Salah satunya Korean wave atau dalam bahasa korea disebut hallyu. Korean wave merupakan istilah dari tersebarnya budaya korea melalui media ke semua penjuru dunia. Fenomena Korean wave ini terjadi sejak tahun 1990 di beberapa kawasan Asia tenggara. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada abad 21 fenomena tersebut berkembang pesat dan menjadi sesuatu yang begitu digemari oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia. Korean wave dimulai dengan industri hiburan berupa musik dan serial drama yakni K-Pop serta K-drama yang dikemas dengan sangat menarik. Kemudian diikuti dengan kemunculan nilai, tradisi, dan pola hidup masyarakat korea yang semakin menjadi daya tarik masyarakat untuk menerapkan dalam kehidupan di negaranya.

Demam Koreanisme Belum Mereda

Fenomena Korean wave meluas ke seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia. Menurut penelitian Korean Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE), Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara yang paling tertarik dengan Korean Wave. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai pasar utama dalam meningkatkan perekonomian Korea Selatan. Fenomena tersebut semakin mudah dijumpai dengan adanya komunitas-komunitas yang dibentuk oleh para pecinta korea yang dikenal dengan sebutan Kpopers. Kalangan masyarakat dari usia anak, dewasa hingga orang tua tergabung dalam komunitas tersebut. Dampak dari fenomena Korean wave sangat terasa di kehidupan sehari-hari. Masyarakat mengimplementasikan budaya korea tersebut dalam kehidupannya mulai dari skincare, makanan, pakaian, hingga bahasa. Bahkan sebagian besar dari kpopers begitu fanatik hingga rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk bertemu idola atau sekedar memuaskan diri membeli barang-barang yang berhubungan dengan idola mereka.

Salah satunya penggelaran konser salah satu girlband korea yakni blackpink yang berlangsung beberapa hari lalu di Jakarta tepatnya di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Dibalik kemeriahan konser tersebut, para penonton yang didominasi kaum milenial membayar biaya yang cukup mahal untuk menyaksikan konser. Belum lagi mereka harus mengantri dalam waktu yang cukup lama untuk mendapatkan tiket konser. Sayangnya, beberapa kanal berita membeberkan bahwa sebagian fanbase girlband blackpink merasa dirugikan. Biaya dan waktu yang mereka keluarkan tidak sepadan dengan apa yang didapatkan saat konser berlangsung. Selain itu, terdapat fakta baru yang terjadi yakni munculnya istilah FOMO. Istilah FOMO nampak menjadi trending di laman Twitter sehari setelah konser usai. FOMO merupakan singkatan dari Fear Of Missing Out bermakna perasaan takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas yang dilakukan orang lain. Orang yang mengalami FOMO memiliki persepsi bahwa orang lain menjalankan kehidupan yang lebih baik dari dirinya sehingga menimbulkan rasa ingin terus mengikuti aktivitas-aktivitas yang dilakukan orang-orang tertentu.

Media Mengubah Karakter Masyarakat

Keberadaan media semakin memperparah perasaan FOMO. Media secara berkelanjutan menyebarkan informasi yang menimbulkan keinginan untuk saling membandingkan kehidupan seseorang dengan kehidupan orang lain di media. Dikaitkan dengan konser blackpink lalu, sebagian masyarakat yang menyaksikan konser tersebut hanya terdorong untuk ikut menikmati konser karena keramaian media sosial akan event yang terlaksana tersebut. Demi meredakan kecemasan akan tertinggal atau untuk mempertahankan hubungannya dengan orang lain, mereka berusaha mencari tahu sampai memaksakan agar mengetahui segala hal yang sebenarnya tidak mereka minati. Tentu saja, hal ini berakibat buruk bagi mental dan perilakunya. Fenomena korean wave yang terjadi di Indonesia merupakan bukti nyata dari peranan sebuah media yang mampu menyebabkan terpengaruhnya pemikiran, nilai, serta tindakan masyarakat. Penyebaran Korean wave melalui media seakan menghipnotis masyarakat terutama pecinta korea dengan berbagai hal hingga mampu menggeser perilaku asli seseorang. Bukan hanya itu, masyarakat akan mulai melupakan musik-musik karya Indonesia, budaya, serta nilai-nilai yang berlaku di Indonesia akibat dari hasrat untuk mengikuti orang lain atau fenomena saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun