Mohon tunggu...
Shifana Maulidya
Shifana Maulidya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk lebih bahagia

Social Worker With Disability

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tusuk Konde dan Jarum Selepas Pertunjukan

30 Agustus 2020   12:54 Diperbarui: 30 Agustus 2020   12:46 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum dan setelah dipilah (sumber:dokpri)

Sudah barang pasti ketika kostum adalah salah satu bagian penting dari pertunjukan, khususnya tari. Apalagi tari tradisional yang butuh begitu banyak jarum peniti untuk mengaitkan kostum satu sama lain, butuh tak sedikit tusuk konde dan jepit rambut untuk memasang sanggul, atau butuh puluhan jarum pentul untuk memasang turban dan hiasan kepala. Pasang sana, pasang sini, tusuk sana, tusuk sini, berjam-jam menyempurnakan riasan dan penampilan demi bisa tampil sebaik mungkin di depan penonton.

Setelah selesai tampil, berganti kostum, dan menghapus makeup, biasanya kami makan bersama dan evaluasi. Mengisi perut secukupnya, lalu menganalisis apa yang perlu dihapuskan, apa yang perlu ditingkatkan, dan apa yang perlu dipertahankan dari tampilan kami. 

Saat itu pula tim produksi hampir selalu mengatakan "tolong makeup dan kostum untuk dirapikan seperti semula, dipisahkan satu pemain dengan lainnya, agar mudah pada saat penataannya dan pengembaliannya". Dan pada saat yang sama juga, selalu ada bagian yang luput dari definisi 'merapikan seperti semua'. Ya. Tusuk konde, jarum pentul, jepit rambut, dan peniti. Adalah barang-barang yang pelik sekali untuk dijaga kerapihannya.

Kalau sudah kepalang lelah, biasanya perjaruman ini dijadikan satu begitu saja dalam satu wadah. Baru kemudian dipilah lagi di hari lain, jika memang ada yang berniat dan mau mengerjakannya. Barang berukuran kecil, tajam, belum lagi saling berkait gara-gara menyelip di sisa-sisa hairnet (semacam jaring untuk merapikan konde). Butuh tekad kuat, kesabaran, dan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikannya. Untuk itulah, duduk lama sambil memilah sekaligus bercakap dengan kawan, adalah pilihan yang cukup tepat untuk menghalau jenuh.

Tapi, entah orang-orang menyadari atau tidak, membereskan printilan ini justru menjadi media saling bercakap di antara kami. Ya, mungkin sebagian kecil tentang bergunjing. Itu tak bisa dihindari. Tapi sebagian besar lainnya bisa menjadi cara tersendiri menghasilkan inovasi dan hal lain yang sederhana namun sangat menunjang roda organisasi (keluarga) kami. Sesimpel "habis beresin ini makan siang bareng yuk ah. Lapar". 

Atau tiba-tiba rebahan karena lelah memandangi printilan yang kecil-kecil. Lalu saling bercerita satu sama lain dari hati ke hati (semacam pillow talk) sebelum akhirnya tidur (tertidur) siang. Tentang keluarga kami, masalah pribadi, bahkan kekesalan terhadap situasi tertentu. Demikian pula dengan rencana kecil seperti 'yuk nanti malem akustikan sambil bikin nasi liwet. Kelar ini kita belanja' atau, 'ih kotak makeup udah gak muat. Musti nabung buat beli baru nih kita'.

Ini membuktikan bahwa rencana, pembicaraan, pemikiran, target, bisa terungkap dan disusun jika manusia saling berkomunikasi. Bahkan tak selalu perlu cara formal seperti rapat dan dengar pendapat. Cukup bertemu atau membuka obrolan kecil sambil melakukan sesuatu. Maka semuanya akan mengalir secara natural, dan mendekatkan secara personal.

Mungkin serasa ibu-ibu yang berkumpul sambil menumbuk gabah atau mencari kutu. Bukan hanya aktifitas itu yang membekas, melainkan suasana dan pemikiran-pemikiran penyerta yang turut mengalir. Atau bahkan, bisa jadi katarsis tersendiri tanpa disadari.

Namun, bertemu adalah hal yang cukup sulit dilakukan selama pandemik ini. Maka sudah seharusnya punya cara lain untuk membuat kita tetap dekat dan terhubung. Chat atau telepon secara personal, sosial media, atau bahkan berjumpa secara daring, saya rasa sangat perlu untuk dilakukan. Ya, menyesuaikan kondisi saja. Saya rasa, komunikasi dan kelekatan kita sebagai satu keluarga atau teman tak bisa lagi ditaksir nilainya atau dibanding dengan seberapa waktu dan kuota yang dihabiskan. Begitu, bukan?

Semua kembali pada satu hal: Seberapa rasa saling memiliki dan saling menjaga di antara kita? Maka sejauh apapun pergi atau terpaksa menghilang, ada rasa tak terkalahkan untuk kembali lagi.

Sehat selalu, kalian. Jangan lupa berkabar dengan keluarga dan teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun