Mohon tunggu...
Shifana Maulidya
Shifana Maulidya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk lebih bahagia

Social Worker With Disability

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Carut-marut Data di Saat Genting

27 April 2020   15:34 Diperbarui: 27 April 2020   15:34 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 khususnya di Indonesia belum menemui tanda- tanda akan usai. Dengan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Physical Distancing, dan sebagainya, sudah pasti melumpuhkan sebagian besar kegiatan masyarakat. Khususnya dalam mencari penghidupan. Bekerja, mencari nafkah, kini terbatasi lantaran kebijakan sebagai salah satu cara mengurangi penularan si Corona. Perlahan tapi pasti, beberapa manusia mulai kehilangan mata pencaharian. Mungkin tidak jadi masalah jika seorang karyawan swasta dengan pengahasilan lima belas juta perbulan harus kehilangan separuh gajinya karena kebijakan perusahaan sementara pandemi ini terjadi. Toh beliau bisa masuk kerja lagi dan mendapatkan gaji penuh saat pandemi usai. Namun, tidak demikian bagi para pekerja sektor informal yang benar- benar tercekik akan keadaan. Yang hampir tidak punya cadangan cuan untuk sekadar makan. Pedagang kopi, sopir angkot, pedagang es kelapa muda di tepi pantai wisata, tukang pijit, bahkan berimbas pada tukang cukur kecil-kecilan yang harus kehilangan pelanggan karena memilih potong rambut sendiri di rumah karena takut keluar rumah.

Pada kondisi yang sedemikian rumitnya, tentu pemerintah melalui perangkat- perangkatnya baik kementerian di tingkat pusat, hingga ke daerah bahkan desa, bersama saling bahu membahu untuk coba meringankan beban rakyatnya. Minimal, dengan merancang berbagai kebijakan darurat terkait pemenuhan kebutuhan dasar. Ya, putar otak memikirkan cara agar perut rakyat bisa tetap terisi di tengah pandemi. Namun di saat genting begini, ada suatu fenomena terjadi. Entah ini hanya opini saya yang kurang update dengan perkembangan situasi, atau, mungkin, benar- benar terjadi.

Data. Entah apapun klasifikasinya. Tentang rumah tangga pra sejahtera, tentang lanjut usia, tentang anak, tentang disabilitas, tentang apapun. Alih- alih mempermudah proses penanganan di saat genting seperti ini, justru banyak menimbulkan polemik. Hampir semua elemen sedang menggali dan menyesuaikan data kelompok rentan terpapar dampak Covid-19. Pengajuan data- verivikasi- pengajuan data pengganti- verivikasi. Sedang berulang- ulang terjadi. Belum lagi jika sebuah bantuan sosial diberikan dengan syarat yang rumitnya tiada tara. Tidak boleh dobel bantuan lah, ini lah, itu lah. Yang membingungkannya adalah, para petugas, enumerator, atau pencacah di lapangan juga sebenarnya masih dalam kebimbangan. Beberapa kriteria terkait data yang harus digali juga masih rancu dan belum dilengkapi dengan kerangka atau petunjuk teknis yang nyata. Bukan hanya teori belaka. Malah seringkali, saat proses verivikasi sudah berjalan, barulah muncul kebijakan yang berubah lagi. Tentunya, yang berada di lapangan harus kembali menyesuaikan permintaan si empunya kebijakan. Kerja dua kali.

Belum lagi ditambah dengan persyaratan dan birokrasi yang berbelit- belit. Dengan dalih agar tidak terjadi kecurangan pada saat pelaksanaan program. Dengan alibi agar apa yang dilakukan dapat tepat sasaran kepada si penerima manfaat. Prosesnya menjadi sangat lama dan lambat, ditambah lagi masalah ketersediaan petugas yang minim dengan perbandingan yang tak seimbang terhadap banyaknya manusia yang harus dilayani satu-persatu. Sementara masyarakat yang tidak tahu- menahu, tentunya hanya dapat mengeluh atas penantiannya kepada petugas- petugas di lapangan yang berhadapan langsung dengan mereka. Miris rasanya. Menyakitkan.

Pernah mendengar keluhan masyarakat tentang "Saya sudah berkali- kali didata. Tapi tidak pernah menerima apa- apa. Memangnya ini untuk data apa lagi?" adalah jawaban sinis yang sering dialami petugas di lapangan. Memang benar adanya. Berbagai jenis pendataan ini dan itu, kadang malah jadi membingungkan. Tentu, karena tiap- tiap pihak punya kepentingan sendiri terkait informasi yang ingin digali. Tapi apakah masih layak disebut data yang berkualitas, ketika  hasil pendataan dengan kriteria-kriteria membingungkan itu seolah justru menggumpal tak terarah dan menjadi benang kusut? Ketika justru pemerintah kelabakan terkait data yang mereka himpun sendiri yang nyatanya tidak dinamis mengikuti perubahan manusia termasuk matinya dan lahirnya? Ketika selama ini data dihimpun begitu saja tanpa adanya skenario yang jelas untuk memelihara dan merawatnya agar tetap menjadi data yang dinamis dan valid sepanjang waktu?

Sekali lagi, ini hanya curhatan dari saya, seorang yang berperan di lapangan dan sering sekali dimintai data secara langsung oleh berbagai pihak. Meski saya tahu jika memberikan data yang sudah saya himpun adalah keputusan kurang tepat, namun jika saya tidak melakukannya, maka data itu hanya mengendap berhari-bulan-tahun tanpa ada kepastian nasib dari mereka yang bertanya "Mau dapat bantuan, ya?".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun