Laut Cina Selatan merupakan perairan yang terbentang dari barat daya ke arah timur laut. Laut Cina Selatan bisa juga dikatakan sebagai "Laut Setengah Tertutup" yang berbatasan dengan Cina dan Taiwan di sebelah utara; Filipina di sebelah timur; Indonesia dan Malaysia Timur di sebelah selatan; dan Vietnam, Kamboja, Muangthai, serta Malaysia Barat di sebelah barat. Pusat dari perairan ini sekitar 400 km dari Malaysia Timur, 600 km dari Saigon (Vietnam), 700 km dari Manila, 1.100 km dari Pulau Hainan (Cina), dan 1.600 km dari pulau Sumatra (Indonesia). Perairan Laut Cina Selatan luas wilayahnya sekitar 3.000.000 km persegi dan tersebar beberapa gugus kepulauan, yaitu (1) Gugus Kepulauan Pratas; (2) Gugus Kepulauan Paracel; dan (3) Gugus Kepulauan Spratly (Usman & R. Sukma, 1997).
Laut Cina Selatan diapit oleh dua samudra, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik. Letaknya yang strategis membuat perairan ini berfungsi sebagai jalur pelayaran kapal-kapal dan tanker-tanker untuk kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik. Laut Cina Selatan juga memiliki kekayaan laut baik hayati maupun non hayati. Perairan ini merupakan salah satu wilayah yang mengandung beragam jenis ikan yang disukai oleh orang Asia maupun Eropa. Selain ikannya yang melimpah, Laut Cina Selatan juga memiliki sumber kekayaan mineral seperti gas alam dan minyak bumi.
Luasnya wilayah laut Cina Selatan beserta kekayaan lautnya membuat adanya penguasaan yang silih berganti dari negara-negara terdekat, seperti Republik Rakyat Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Negara-negara ini saling klaim kepemilikan atas sebagian atau seluruh wilayah perairan tersebut. Konflik terbuka di kawasan Laut Cina Selatan telah terjadi secara berulang sejak tahun 1970. Bentrokan yang parah tercatat pada tahun 1974 yang telah membuat tentara Vietnam tewas. Angkatan Laut RRC dengan Vietnam kembali terlibat dalam konfrontasi di Spratly pada tahun 1988, dan 70 personel tentara Vietnam tewas. Angkatan Laut Filipina juga pernah terlibat konflik dengan angkatan laut RRC, Vietnam, dan Malaysia terkait permasalahan Laut Cina Selatan (Nainggolan et al., 2013).
Awalnya, Indonesia bukan negara pengklaim, namun menjadi terlibat saat RRC mengklaim secara mutlak seluruh perairan Laut Cina Selatan pada tahun 2012. Hal ini membuat adanya kekhawatiran dari negara-negara pengklaim maupun non pengklaim terkait masa depan keamanan, pengendalian, dan stabilitas kawasan tersebut. Meningkatnya kekhawatiran ini memicu eskalasi ketegangan karena negara-negara pengklaim saling unjuk kekuatan angkatan bersenjata dan adanya intimidasi serta provokasi di kawasan Laut Cina Selatan.
Klaim RRC atas seluruh wilayah perairan Laut Cina Selatan yang didasarkan pada teori nine dash line turut mengancam kepentingan dan kedaulatan Indonesia terutama wilayah perairan Natuna yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Perairan Natuna merupakan perairan yang rawan dengan illegal fishing karena letaknya yang berada di kabupaten terluar dan memiliki sumber daya ikan yang kaya. Selain itu, seluruh kepentingan Indonesia yang eksistensinya dihormati sebagai negara kepulauan termasuk hak-hak pengelolaan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982 juga terancam.Â
Salah satu contoh yang membuat wilayah perairan Indonesia terancam adalah banyaknya kapal ikan asing (KIA) yang menangkap ikan secara ilegal. Seperti yang dilaporkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Mei 2024, terdapat dua kapal ikan asing berbendera Vietnam yang menangkap ikan secara ilegal menggunakan jaring trawl di kawasan perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau. Kapal Ikan Asing Vietnam tersebut memiliki muatan sebanyak 10 ton ikan campur dan kapal ini telah ditangkap oleh petugas patrol Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Meskipun Indonesia tidak termasuk sebagai negara pengklaim dalam sengketa Laut Cina Selatan, tetapi Indonesia tidak bisa mengabaikan permasalahan ini begitu saja, karena dampak dari sengketa Laut Cina Selatan tersebut dapat mengancam stabilitas kawasan dan kepentingan nasional Indonesia. Dalam bidang ekonomi, konflik tersebut akan mengancam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara yang berada di kawasan Asia Timur yang menjadi mitra penting ekonomi Indonesia. Dalam bidang pertahanan, hadirnya angkatan bersenjata di antara negara-negara yang bersengketa akan memicu ketegangan baru dan memberikan ancaman terhadap kawasan sekitar (Nainggolan et al., 2013).
Indonesia perlu mengambil peran terhadap penanganan konflik Laut Cina Selatan di forum ASEAN melalui jalur diplomasi agar sengketa tersebut tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Pemerintah pusat maupun koordinasi antar pemangku kepentingan juga perlu bertindak lebih tanggap dalam merespons setiap bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah kedaulatan Indonesia. Selain perlunya pendekatan diplomasi dan perhatian yang lebih dari pemerintah, Indonesia juga harus meningkatkan kekuatan pertahanannya, terutama terhadap potensi TNI Angkatan Laut secara optimal. Hal ini juga dapat dilakukan dengan cara modernisasi alutsista yang harus diimbangi dengan peningkatan keterampilan dan pengetahuan para prajurit dalam menggunakan alutsista tersebut dan dalam melaksanakan tugas.Â
Selain upaya dari pemerintah dalam menangani konflik Laut Cina Selatan, perlu adanya peran masyarakat Indonesia terutama masyarakat Kepulauan Natuna dalam menghadapi masalah tersebut. Masyarakat mesti membangun budaya maritim yang kuat untuk menunjang ketahanan maritim dan kedaulatan Indonesia (Sunoto et al., 2023). Masyarakat juga harus lebih peduli lagi terkait isu-isu yang dapat mengancam wilayah perairan Indonesia, terutama terkait eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan. Keterlibatan dari sejarawan maritim juga diperlukan dalam pengambilan suatu kebijakan dari sisi historis agar Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya berdasarkan catatan-catatan terdahulu yang dapat direkonstruksi oleh sejarawan.Â
Oleh karena itu, ketegangan di Laut Cina Selatan yang turut mengancam kedaulatan Indonesia harus menjadi perhatian bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus lebih optimal lagi dalam merespon dan bertindak dalam permasalahan kasus tersebut. Masyarakat juga perlu meningkatkan kepeduliannya terkait isu-isu yang mengancam kelautan Indonesia. Kerja sama yang maksimal antara pemerintah dan masyarakat tentunya dapat mempertahankan kedaulatan Indonesia dari berbagai ancaman yang ada. Â
Referensi:Â
KKP. (2024, 6 Mei). KKP Amankan Tiga Kapal Asing di Laut Natuna dan Selat Malaka. Diakses pada 20 Mei 2024, dari https://www.kkp.go.id/news/news-detail/kkp-amankan-3-kapal-asing-di-laut-natuna-dan-selat-malaka.html
Nainggolan, Poltak Partogi., et al. (2013). Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI.
Sunoto, Suyud Puguh., et al. (2023). Dampak Sekuritisasi Konflik Laut Cina Selatan terhadap Keamanan Maritim Indonesia. Journal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, 6(2), 1-14.
Usman, Asnani & Rizal Sukma. (1997). Konflik Laut Cina Selatan: Tantangan bagi ASEAN. Jakarta: CSIS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H