Mohon tunggu...
Shidqi Surya Haikal
Shidqi Surya Haikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Seorang Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Hikikomori: Ketika Isolasi Menjadi Pilihan dalam Masyarakat Modern

24 Juni 2024   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2024   08:25 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda membayangkan mengisolasi diri selama berbulan-bulan? Fenomena ini bukan disebabkan oleh lockdown seperti yang terjadi pada masa pandemi COVID-19. Perilaku isolasi ini nyata dan sering dijumpai di Jepang, yang dikenal dengan istilah "Hikikomori". Fenomena ini telah menjadi masalah sosial yang signifikan, mencerminkan kompleksitas tantangan psikologis dan sosial yang dihadapi oleh sebagian masyarakat Jepang modern.

Fenomena hikikomori merupakan peristiwa di mana seseorang menarik diri dari dunia luar. Istilah ini diciptakan oleh psikiater Jepang Tamaki Saito pada tahun 1990. Menurut Saito, hikikomori adalah seseorang yang telah mengisolasi diri di rumah selama lebih dari enam bulan. 

Para pelaku hikikomori umumnya hanya berinteraksi dengan keluarga inti mereka di dalam rumah. Bahkan, terdapat kasus di mana pelaku hikikomori tidak berinteraksi sosial sama sekali dan berdiam diri di dalam kamar. 

Para pelaku hikikomori biasanya menolak untuk pergi ke sekolah maupun bekerja. Mereka cenderung menghabiskan waktu dengan menuruti obsesinya terhadap hal-hal yang berbau otaku (sebutan bagi seseorang yang terobsesi dengan sesuatu), seperti game, anime, manga, atau idol. Fenomena ini telah menjadi masalah sosial yang perlu ditangani.

Menurut survei Kantor Kabinet (Naikaku-fu, kantor yang bertanggungjawab atas urusan sehari-hari) pada April 2023, terdapat 1,5 juta orang Jepang dengan rentang usia 15 - 38 tahun yang tergolong hikikomori. Kebanyakan dari mereka merupakan remaja hingga dewasa muda, khususnya kaum pria. Angka tersebut setara dengan 2% dari total penduduk Jepang saat ini.

Mengapa fenomena hikikomori ini bisa terjadi, terutama di Jepang? Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, tekanan sosial yang tinggi; kedua, sistem pendidikan yang kompetitif; ketiga, faktor pola asuh orang tua; dan keempat, kecanduan dengan internet dan gadget. 

Masyarakat Jepang terkenal dengan budaya kerja kerasnya, sehingga ekspektasi kesuksesan juga tinggi. Akibatnya, seseorang yang tidak mampu memenuhi standar ini cenderung melakukan isolasi sebagai bentuk pelarian.

Fenomena Hikikomori dapat berdampak bagi kesehatan. Para pelaku Hikikomori bisa mengalami depresi, kecemasan, skizofrenia, hingga gangguan mental lainnya. 

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi orang yang terisolasi, tetapi juga bisa berdampak luas pada keluarga. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan komprehensif dalam menangani masalah hikikomori, yang melibatkan aspek psikologis.

Dalam kasus hikikomori, berbagai upaya telah dilakukan, termasuk pembentukan organisasi non-profit seperti New Start. Organisasi ini mengoperasikan asrama yang berfungsi sebagai jembatan bagi hikikomori untuk kembali ke masyarakat. 

Di asrama ini, mereka belajar bersosialisasi dengan sesama hikikomori, diberi pekerjaan, dan diwajibkan mengadakan acara amal. Sejak 2001 hingga 2019, sekitar 2000 hikikomori telah tinggal di asrama ini, dengan 80% berhasil kembali ke masyarakat. 

Selain itu, terdapat sebuah program bernama "Rental Sister" yang dibentuk dengan tujuan membantu para hikikomori keluar dari kamar mereka dan kembali bergabung dengan masyarakat.

Kasus kenta yang menjadi bukti nyata dari efektivitas layanan "Rental Sister".  Kenta, yang mengisolasi dirinya akibat bullying di sekolah karena suaranya yang tinggi seperti wanita, memutuskan untuk menggunakan jasa "Rental Sister" dengan membayar ratusan hingga ribuan yen. 

Selama masa isolasinya, Kenta kehilangan arah dan bahkan pernah melakukan kekerasan terhadap orang tuanya. Namun, berkat bantuan layanan ini, ia mulai mampu keluar dari kamarnya untuk makan dan jalan-jalan bersama.

Terdapat kasus lain yang melibatkan seorang ayah bernama Haruto, yang anaknya mengisolasi diri selama hampir 20 tahun. Awalnya, anaknya masih keluar untuk membeli buku atau komik, namun kemudian benar-benar mengisolasi diri dan bahkan pernah memukul ibunya hingga tulang rusuknya patah. Meskipun ibunya meninggal, anak tersebut tetap berdiam di dalam kamar. 

Haruto akhirnya mencoba menggunakan jasa "rental kakak perempuan", dengan seorang bernama Atsuko yang berpengalaman menangani hikikomori. Atsuko berusaha berkomunikasi dengan menulis surat yang dimasukkan ke kamar anak tersebut.  

Fenomena hikikomori tidak hanya terjadi di Jepang, tetapi juga di negara lain seperti Korea Selatan. Kasus Yoo Seung-gyu, seorang pria Korea Selatan berusia 30 tahun, yang pernah mengalami hikikomori selama lima tahun. 

Selama masa itu, ia bahkan menghindari pergi ke kamar mandi untuk menghindari pertemuan dengan keluarganya. Yoo pertama kali menarik diri dari masyarakat pada usia 19 tahun, kemudian kembali untuk menjalani wajib militer, lalu mengasingkan diri lagi selama dua tahun.

Penyebab utama isolasinya adalah perasaan gagal memenuhi harapan masyarakat dan keluarga, serta ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang tuanya tentang masalahnya. Yoo merasa terpaksa masuk universitas karena keinginan ayahnya, namun berhenti setelah satu bulan karena merasa tidak memiliki kebebasan memilih. 

Pada 2019, Yoo akhirnya keluar dari isolasi setelah bertemu dengan sesama mantan hikikomori melalui sebuah komunitas. Hal pertama yang ia mulai adalah dengan membersihkan apartemennya yang berantakan bersama saudaranya, kemudian pergi memancing ke laut. Pengalaman ini membuatnya merasa ada dan nyata kembali. 

Saat ini, Yoo telah berhasil keluar dari isolasi dan menjalankan perusahaan bernama "Not Scary" yang memberi dukungan kepada para pemuda pengurung diri lainnya.

Selain itu, saya juga pernah mengalami fase tersebut, sehingga saya bisa memahami mengapa banyak orang yang melakukan isolasi. Selama melakukan hal tesebut saya mendapatkan rasa aman dan nyaman ketika kita bisa menghindari tekanan dan ekspektasi sosial. 

Saya masih ingat pada masa itu saya lebih memilih menghabiskan waktu sendirian di kamar, menghindari bertemu dengan seseorang, dan merasa cemas setiap kali harus berinteraksi dengan orang lain. 

Seiring dengan waktu, saya menyadari bahwa isolasi ini justru memperparah kecemasan dan rasa tidak percaya diri saya. Pengalaman ini mengajarkan saya betapa pentingnya interaksi sosial bagi kesehatan mental dan perkembangan diri. Butuh keberanian dan dukungan dari orang-orang terdekat untuk perlahan-lahan membuka diri dan kembali terlibat dalam interaksi sosial.

Lalu bagaimana cara mengatasi fenomena tersebut? Di Jepang sendiri, Pemerintah telah mendirikan pusat-pusat konseling khusus untuk hikikomori. Selain dari pemerintahan, terdapat juga organisasi non-profit yaitu New Start, dan Ada juga program "Rental Sister" di mana relawan dilatih untuk mendekati dan membantu para hikikomori secara bertahap untuk kembali ke masyarakat.

Meski fenomena hikikomori belum menjadi masalah besar di Indonesia dan bahkan nyaris tidak terlihat. Kita setidaknya harus mengetahui langkah-langkah pencegahan yang perlu diambil sejak dini. 

Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain: pertama, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda; kedua, Memperkuat sistem dukungan sosial, baik di tingkat keluarga, sekolah, maupun masyarakat; ketiga, Menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan toleran terhadap perbedaan dan kegagalan; dan keempat, Mengembangkan program konseling dan pendampingan bagi individu yang menunjukkan gejala isolasi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun