Tetapi, untuk meminimalisir terjadinya celah yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab dan melakukan penafsiran sepihak akan merugikan banyak pihak. Maka, perlu keseriusan dalam membahas substansi dan kriteria implementasi UU ITE agar tidak menimbulkan kekecewaan masyarakat dalam hal kebebasan berekspresi. Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menghimbau masyarakat untuk aktif dalam mengkritik pemerintah bertolak belakang dengan realitas demokrasi yang ada saat ini. Dari diresmikannya UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 sudah banyak terjadi penyimpangan yang terjadi. Banyak masyarakat yang andil dalam mengutarakan pendapat di dunia maya menjadi korban dan mendapatkan hukuman kurungan penjara maupun denda. Dan juga UU ITE kurang berperan dalam memberikan payung hukum yang jelas kepada korban yang mencari keadilan dalam suatu kasus yang menimpa korban. Seharusnya, eksistensi UU ITE diajukan untuk mengacu ekonomi digital Indonesia.
      Untuk melakukan revisi UU ITE ini, Kementerian Hukum dan HAM dan kepolisian perlu membuat pedoman interpretasi terhadap pasal-pasal tertentu dalam UU ITE tersebut. Pasal yang sering dipermasalahkan adalah terkait ujaran kebencian. Hingga munculnya kritikan dari para aktivis HAM dimana implementasi dari pasal-pasal karet dalam UU ITE tersebut selalu digunakan dalam mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah.
      Maka, merujuk dari OHCR (Office of the High Commissioner for Human Rights) ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memberikan sanksi terhadap ujaran kebencian yakni konteks, status atau posisi, kesengajaan, konten dan bentuk, jangkauan, serta dampak yang akan ditimbulkan. Dari beberapa faktor tersebut, pemerintah perlu melakukan pendekatan lain untuk mencegahdan menyelesaikan kasus ujaran kebencian tanpa penyalahgunaan hukum pidana.Â
      Pemerintah juga perlu memikirkan pentingnya masukan dan kritikan dari masyarakat untuk pemerintah, mungkin perlu ditetapkan batasan yang perlu dihindari oleh masyarakat untuk mencegah adanya ujar kebencian atau pencemaran nama baik. Kita pasti ingin kehidupan berdemokrasi di Indonesia bisa berjalan dengan baik tanpa membatasi hak individu dan mengkriminalisasi segala kritikan yang ada.
Shafira Salsabila, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H