Ketika mendengar kata media online, mungkin yang terbesit di dalam pikiran ialah kecepatan. Media online memang dikenal akan kecepatannya dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Cirinya yang bisa diakses di mana saja membuat media online menjadi sumber informasi bagi masyarakat saat ini, terlebih lagi bagi mereka yang tidak memiliki waktu untuk membaca koran atau menyaksikan berita di pagi hari. Media online bahkan bisa menjadi teman bagi beberapa orang yang hendak mengetahui informasi di saat sedang terjebak kemacetan. Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa 44% responden mereka memilih untuk menggunakan portal berita online paling tidak sekali dalam satu hari untuk mencari berita, dan 19% yang menggunakan surat kabar untuk kebutuhan sehari-hari (Allan, 2006:3). Media online menyediakan informasi dalam waktu singkat dengan referensi yang banyak. Pengguna hanya memilih link mana yang akan dia gunakan sebagai referensi kebutuhannya. Berbeda dengan dahulu, media online saat ini sudah bisa digunakan oleh siapa saja, bahkan masyarakat. Di dalam buku New Media : A critical Introducton dijelaskan lebih jauh bahwa media online juga merujuk pada kegiatan seperti : fotografi, periklanan, film, penyiaran (radio dan televisi) dan penerbitan (Lister, 2009:9).
Dalam perkembangannya, media online seperti yang dijelaskan di atas juga ikut mengalami perubahan, terlebih lagi ketika didorong dengan adanya era konvergesi media. Dari konvergensi media inilah kemudian muncul jurnalisme online yang produknya berupa berita namun dalam bentuk online, sehingga bisa diakses di mana saja. Kemunculan jurnalisme online ini juga ikut melahirkan sebuah produk jurnalistik warga atau citizen journalism. Pengertian singkat mengenai citizen journalism adalah di mana masyarakat membuat produk berita mereka sendiri dan akan diunggah ke dalam media online. Mereka juga yang akan bertanggung jawab atas berita yang sudah dibuat.
Pengertian dari jurnalistik online sendiri ialah proses penyampaian informasi melalui internet (Romli, 2012:12). Seperti yang sudah dijelaskan di atas, jurnalisme online merupakan berita namun dalam bentuk online sehingga bisa diakses di mana saja. Kelebihan dari jurnalisme online tidak hanya bisa diakses di mana saja, namun juga kecepatannya dalam memberitakan sebuah informasi bagi masyarakat. Tidak heran lagi, ketika sebagian besar masyarakat saat ini lebih senang mengakses portal berita online untuk mengetahui isu apa yang sedang terjadi. Dengan antusiasme yang tinggi ini kemudian setiap portal berita online saling bersaing untuk mendapatkan pengunjung di web mereka. Memberitakan semua informasi yang mereka dapatkan dengan secepat-cepatnya.
Namun dalam melakukan pekerjaan jurnalistik tersebut, tak jarang kualitas berita yang diberikan tidak sesuai dengan harapan. Mereka yang ingin mengabarkan informasi dengan cepat, akhirnya mereka tidak melihat sisi aktual dari sebuah berita yang seharusnya diangkat di dalam jurnalisme online. Dapat dikatakan, bahwa dengan kata lain tak jarang jurnalisme online melanggar kode etik jurnalistik yang sudah disepakati. Masyarakat yang kurang peka mungkin tidak mengetahui bahwa berita tersebut kualitasnya buruk, mereka tidak melakukan cross check dalam peliputannya atau beberapa hal lainnya. Hal ini bisa dikarenakan jurnalisme online yang dalam pemberitaannya tidak selengkap media cetak atau media penyiaran. Jika dalam media cetak, sebuah isu atau sebuah berita dapat ditulis dalam selembar penuh. Namun, dalam jurnalisme online biasanya hanya berupa potongan-potongan berita. Ini dikarenakan, jurnalis online ingin menjadi jurnalis pertama yang memberitakan hal tersebut. Ketika ia menemukan sebuah berita, ia akan membuat sebuah paragraf awal yang kemudian dikirimkan ke editor. Pihak editor membuat berita yang dikirimkan tadi menjadi layak. Lalu dengan jeda waktu yang singkat, paragraf selanjutnya dikirimkan untuk diteliti.
Melalui tempo.co, Dewan Pers mengatakan bahwa ada 30% media online yang melanggar kode etik jurnalistik. Dijelaskan juga bahwa rata-rata pelanggaran yang dilakukan adalah soal akurasi. Seperti contoh, ketika kasus Ahmad Dhani yang mengatakan bahwa ia akan memotong alat kelaminnya jika pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menang sebagai Presiden Republik Indonesia 2014. Berita seperti demikian sudah diberitakan di hampir belasan media online. Padahal, isu tersebut bersumber dari akun twitter palsu yang mengatasnamakan dirinya adalah Ahmad Dhani. Merasa berita tersebut sensasional, akhirnya berita yang tidak jelas sumbernya tersebut diberitakan di media online, tanpa melakukan verifikasi data terlebih dahulu. Dewan Pers sempat meminta pertanggungjawaban dari belasan media online yang memuat berita tersebut untuk mengembalikan nama Ahmad Dhani.
Masih dilansir dari m.tempo.co, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, jumlah pengaduan terkait pers dari seluruh Indonesia yang masuk ke Dewan Pers sepanjang 2012 mencapai lebih dari 500 kasus. Dari jumlah itu, 328 di antaranya merupakan kasus dari media cetak dan 98 pengaduan terkait media online alias media siber. Dari pengaduan yang terkait media online tersebut, 76% adalah pelanggaran kode etik jurnalistik. Dari pengaduan tersebut, ada 6 jenis pelanggaran kode etik jurnalistik. Pelanggaran pertama ialah tidak menguji informasi. Pelanggaran kedua ialah berita yang tidak akurat. Pelanggaran ketiga ialah mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi. Keempat ialah berita yang tidak berimbang. Kelima, tidak menyembunyikan identitas korban susila dan yang keenam ialah berita yang tidak jelas narasumbernya.
Kecepatan dalam memberitakan sebuah informasi adalah sebuah hal yang benar dalam kerja jurnalistik, apalagi ketika informasi tersebut bersifat mendesak dan menyangkut kebutuhan banyak orang. Namun, ketika kecepatan dalam memberitakan informasi tidak dibarengi dengan akurasi data yang baik, maka itu bukanlah sebuah contoh meia yang baik untuk dikonsumsi masyarakat. Terlebih untuk contoh kasus tersebut yang menyangkut nama baik dari seorang tokoh selebritas. Hal ini jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik Bab II Pasal 5, "wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimband dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya". Kasus tersebut juga melanggar Pasal 6 yang berbunyi, "wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum".
Kejadian seperti ini mungkin sudah sering diterima oleh Dewan Pers terutama untuk laporan mengenai media online yang melanggar. Semakin banyaknya pelanggran akan Kode Etik Jurnalistik ini bisa disebabkan oleh peraturan pers yang mungkin kurang tegas dalam memberikan sanksi ketika ada media online yang melanggar. Tidak hanya itu, jurnalis dari media online juga bisa disalahkan atas pelanggaran tersebut, karena mereka tidak mematuhi peraturan yang sudah ada dan sebaikya disepakati bersama. Bahkan Presiden Joko Widodo di dalam nasional.tempo.co juga mengatakan bahwa pada era saat ini, pemerintah tidak bisa menekan pers. Malah sebaliknya pers yang menekan pemerintah dan pers ditekan persaingan industri Media online yang bersaing dengan media online lainnya akan bersaing untuk mendapatkan rating agar pembaca membuka portal berita online mereka, sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk memenangkan kompetisi tersebut.
Pada dasarnya, jurnalisme online adalah salah satu inovasi media agar masyarakat dapat terus up to date dengan berita di sekitar mereka. Belum lagi dengan semua kelebihan yang dimiliki oleh jurnalisme online, seperti interactivity. Maksud dari interactivity ini ialah adanya interaksi dari masyarakat yang membaca berita tersebut. Mereka bisa memberikan komentar atau tanggapan terhadap berita yang baru saja diaksesnya. Sehingga, secara tidak langsung masyarakat yang mengaksesnya merasa ikut andil atas berita tersebut. Kelebihan lain yang dimiliki oleh jurnalisme online adalah adanya audio dan video yang disediakan di setiap portal berita online yang bertujuan untuk memperkaya informasi bagi masyarakat. Jika mereka hanya bisa melihat foto akan suatu kejadian dari media cetak, maka mereka akan mendapatkan sebuah video dari yang merupakan gambaran dari suatu kejadian yang sedang diberitakan beserta dengan audio yang jernih. Mereka juga dapat melihat referensi berita online dari luar negeri untuk mengetahui isu yang sedang hangat di luar negeri. Mereka juga tetap dapat untuk berkomentar mengenai isu yang sedang hangat di sana. Ini adalah beberapa kelebihan dari media online yang mungkin tidak didapatkan ketika menikmati media lainnya.
Namun persaingan yang keras dan tekanan dari perusahaan tempat jurnalis online bekerja juga memicu munculnya pelanggaran-pelanggaran atas media online seperti yang tadi sudah dipaparkan. Jurnalis online harus berpikir dua kali untuk mendapatkan berita yang sudah ditentukan oleh atasan mereka. Meskipun dikenal sebagai media baru, namun media online tetap harus mempertahankan citra sebuah media, sebagai pemberi informasi bagi masyarakat. Jika media online masih terus melakukan pelanggaran, bukan tidak mungkin jika suatu saat masyarakat akan mempertanyakan mengenai media mana yang kontennya akurat dan dapat dipercaya. Media memang meyakini adanya kebebasan pers, tapi tetap sebagai sebuah media harus mematuhi apa yang tertera di dalam Kode Etik Jurnalistik dalam peliputannya. Media kini sudah tidak tertekan lagi seperti pada masa pemerintahan Soeharto, namun karena tidak tertekan itu yang akhirnya membuat peraturan menjadi lebih longgar seakan media di Indonesia tidak memiliki regulasi. Inilah yag terjadi ketika semuanya bertujuan untuk mencari rating. Peraturan dilanggar, mengutamakan kecepatan dalam pemberitaan tapi menghilangkan esensi dari berita yang diangkat pada saat itu juga. Media online yang sifatnya fleksibel, sehingga bisa dilakukan koreksi atas berita yang sudah diunggah ke dalam portal berita online. Padahal, hal semacam itu secara tidak langsung telah mengaburkan informasi yang sampai ke masyarakat akan berita yang benar dan tidak benar.
Â
Â
Â
Sumber :
Allan, Stuart. (2006). Online News : Journalism and The Internet. London: Open University Press
Lister, J. Dovey, S. Giddings, I. Grant & K. Kelly. (2009). New Media  : A Critical Introduction. New York : Routledge
Romli, A. S. (2012). Jurnalistik Online : Panduan Mengelola Media Online. Bandung : Nuansa Cendikia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H