Seumur hidup, aku tak pernah menulis dengan kata ganti lu-gue. Dalam waktu tertentu malah mengharamkannya. Tapi kali ini saja (duh Gusti ampuni hamba) aku ingin melanggarnya karena sudah muntab. Gue sudah lama menahan ini bertahun-tahun, tapi tetap tidak bisa menghilangkan rasa jijik kepada kaum kelas menengah ngehe.
Di mata gue, haqqul yaqin bahwa mereka itu memandang dunia itu diciptakan Tuhan untuk kaum kelas menengah ngehe. Yang lain? Ngontrak. Keyakinan ini semakin gue imani setelah melihat kasus demo brutal angkot di Bandung, menyerang keberadaan taksi/angkutan daring (online, jika kalian belum tahu ada padanan bahasa Indonesianya) yang dirasa menyerobot rejeki mereka. Tentu saja yang demikian ditentang kaum kelas menengah ngehe yang menikmati khusyuk naik angkutan daring.
Sudah sejak lama, puncaknya tahun lalu waktu ada demo serupa di Jakarta, memihak suara supir angkot. Gimana enggak, mereka orang yang lebih terjepit daripada para pemilik angkutan daring itu kok. Tapi, yang jadi poin utama gue di sini, di mata gue ini adalah benturan kelas. Tepatnya antara kelas bawah versus kelas menengah ngehe (sebetulnya ingin sekali mengganti kata ngehe dengan asu, tapi kemudian ingat sebentar lagi Jumatan bung).
Baik demo di Jakarta maupun di Bandung kamarin, yang gue lihat sama: amuk kelas bawah yang merasa makin terjepit. Mereka itu (supir angkot Bandung maupun supir taksi di Jakarta), buat bawa pulang duit Rp100.000 aja susah. Bandingkan dengan kelas menengah ngehe yang duit segitu diceh-ceh buat ngopi di kafe, makan mahal di restoran (yang ujung-ujungnya juga jadi tai, sama kaya makan di warteg), atau bayar valet karena malas repot parkir.
Angka segitu gue gak asal njeplak, plis deh. Semasa dua tahun jadi jurnalis, gue beberapa kali nongkrong di terminal, ngobrol sama supir angkot, metromini, juga kopaja. Bus kota busuk itu juga jadi kendaraan pilihan nomor dua (karena saat itu bus Transjakarta belum sebanyak sekarang). Sering gue ngobrol iseng sama supir juga kenek buat tahu berapa sih penghasilan mereka tiap hari.
Tebak berapa? Kadang dapat Rp50.000 aja udah syukur mereka. Emang mereka bisa dapat Rp100.000, tapi dibagi dua antara supir dan kenek. Kalau lagi rame sih emang bisa aja bawa Rp100.000 per orang, tapi lihat aja tuh jalanan Jakarta macam apa. Gara-gara macet, mereka sering tekor karena frekuensi pulang pergi gak bisa banyak. Kalian yang pernah menikmati jalanan Rasuna Said pas jam pulang kerja pasti paham. Gak paham? Modaro ae mas.
Duit segitu cukup gak buat hidup? Kalau bujangan sih masih nutup, tapi bung, kebanyakan mereka itu berkeluarga. Ada istri, ada anak. Cukup kah? Ya menurut ngana? Buat kaum kelas menengah ngehe sih duit segitu abis langsung buat sekali nyeruput kopi.
Emang, kelakuan supir angkot sama bus kota itu bikin minta ditabok, tapi gak ada api tanpa korek. Mereka ngetem karena ada sistem setoran. Kalau asal jalan gak ngangkut banyak penumpang, ya nombok bensin atau solar bung. Gue beberapa kali ngobrol juga sama mereka. Bahwa mereka mau tuh jadi supir Transjakarta, yang nyupirnya nyantai, gak usah mikir setoran, gaji aman. Mereka mau, tapi gak semuanya bisa. Intinya, kelakuan kampret mereka di jalanan bukan tanpa sebab.
Terus dengan penghasilan yang cuma segelas kopi kelas menengah ngehe itu, mereka masih harus disikat sama munculnya angkutan daring. Perkara ini, gue ngobrol sama beberapa supir taksi bandara. Tahu gak apa keberatan mereka? Angkutan daring itu gak punya izin usaha angkutan umum. Yap, itu dia masalahnya. Angkutan daring gak punya izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek (silakan cek Permenhub no 32 tahun 2016 di bab III pasal 21 ayat 1).
Gini bung, misal kalian beli mahal tiket pesawat ke Bangkok buat nonton Coldplay. Lalu ada kesalahan sistem, ada pesanan ganda, nomor kursi bentrok sama bapak-bapak pejabat yang gak beli tiket, digratisin sama perusahaan. Lalu, kalian kena gusur, gak jadi terbang padahal udah bayar. Adil gak? Gue jamin kalian ngomel-ngomel di situ, atau malah diangkat di medsos.
Supir angkot dan taksi (di Jakarta tahun kemarin) juga sama. Mereka merasa ada ketidakadilan, lha wong mereka ada izin angkutan lalu si angkutan dari tidak, tapi bisa bebas ngangkut penumpang. Wajar dong mereka ngamuk. Dan perhatiin, apa mereka ngamuk ke taksi plat kuning (yang mana resmi)? Gak kan?