Budi kaget. Gorengan iseng yang ia niatkan untuk mengerjai orang-orang malah disukai. Gorengan yang asal saja ia bikin. Mendoan yang porsi tahinya lebih banyak dari tempe, tahu tipis yang isi tahinya lebih dominan. Kaget dan jijik, tapi Budi bisa tersenyum. Ia lega tak akan lagi makan nasi kecap sebagai pembuka hari, lanjutan ibadah tengah hari, dan makanan sesudah ibadah senja.
Kian hari pelahap gorengannya kian bertambah. Semua warung mi instan menyediakan gorengan campur tahi itu. Rasanya cocok di lidah pengunjung warung.
"Lebih gurih mas. Yang sebelumnya ndak enak. Makan itu bikin kepalaku pening. Peningnya mirip dulu waktu ujian matematika dan ilmu alam semasa sekolah," rata-rata begitulah komentar orang di warung.
Setiap kali ada debat antar calon paduka, Budi menyetor lebih banyak tahi goreng tulang lunak. Akhirnya Budi menemukan nama yang pas, walau tentu saja ia simpan untuk diri sendiri.
Kala lain Budi menyetor lebih banyak tahi goreng tulang lunak adalah saat ada berita miring salah satu calon paduka. Sekali waktu, salah satu calon paduka dikabarkan bersetubuh dengan kerbau. Budi tahu kabar itu bohong belaka karena ia tahu betul si calon paduka tak punya pentungan, sebab sudah rusak diinjak kerbau saat remaja dulu. Di masa-masa tayang kabar ngawur itulah tahi goreng tulang lunak laku mengagumkan.
Budi peduli anjing siapa pemenang sikut-sikutan itu. Selama ia tak lagi harus makan nasi kecap, Budi akan terus menjual tahi goreng tulang lunak.
“Bagiku jijikku, bagimu tahi buatanku,”.
©Shesar Andriawan
Jakarta, 12 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H